Perang Israel vs Hamas: 5 Skenario Buruk Ini Buat Dunia Kacau

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
20 October 2023 12:35
Sebuah video menampilkan detik-detik rumah sakit Gaza dibombardir Israel. (Tangkapan Layar Video Reuters)
Foto: Sebuah video menampilkan detik-detik rumah sakit Gaza dibombardir Israel. (Tangkapan Layar Video Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Israel versus Hamas makin tidak terkendali. Perang dikhawatirkan akan meluas dan berlangsung lama sehingga akan membawa dampak yang lebih berat terhadap ekonomi global.

Dalam perkembangan terbaru, Israel telah mengepung 2,3 juta penduduk Jalur Gaza dan membombardir daerah kantong tersebut dalam serangan yang telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal.

Konflik makin kian memanas, ketika Amerika Serikat (AS) berpihak terhadap kubu Israel. Presiden AS Joe Biden tiba di Israel pada Rabu (18/10/2023), menjanjikan solidaritas dengan Israel dalam perang melawan Hamas, dan mendukung pernyataan Israel bahwa militanlah yang menyebabkan ledakan di rumah sakit.

Palestina menyalahkan serangan udara Israel, namun Israel mengatakan hal itu disebabkan oleh kegagalan peluncuran roket oleh militan Palestina. Biden mendukung pernyataan Israel.

Kemudian, Biden akan menjual miliaran dolar kepada AS untuk Israel dan Ukraina dalam pidatonya kemarin. Biden akan mencoba meyakinkan warga AS mengenai perlunya mengeluarkan miliaran dolar lebih banyak untuk Israel dan Ukraina pada hari Kamis, bahkan ketika Dewan Perwakilan Rakyat AS, tanpa seorang pemimpin, tidak dapat menyetujui pengeluaran baru untuk kedua perang tersebut.

Gedung Putih mengatakan Biden akan mengumumkan permintaan pendanaan baru pada minggu ini yang diyakini berjumlah US$100 miliar atau setara Rp1,6 kuadriliun (Rp15.810/US$1). Jumlah tersebut mungkin mencakup US$60 miliar untuk Ukraina dan US$10 miliar untuk Israel, menurut beberapa sumber, serta miliaran dolar untuk keamanan perbatasan Asia dan AS.

Dari sisi Iran, negara tersebut menyerukan embargo minyak (larangan ekspor) terhadap Israel sehubungan dengan konflik di Gaza. Konflik antara Israel dan Hamas yang berkelanjutan berpotensi mengganggu perekonomian dunia, bahkan menyebabkan resesi jika lebih banyak negara yang ikut terlibat.

Terdapat beberapa skenario yang akan terjadi jika perang tersebut terus meluas.

1. Harga Minyak

Harga minyak mentah dapat melonjak tajam jika ketegangan di Timur Tengah terus meningkat, mengingat Timur Tengah adalah pemasok sepertiga pasokan minyak global.

Potensi Iran untuk lebih terlibat dan respons AS yang meningkatkan sanksi terhadap minyak Iran menjadi sorotan. Iran berencana melakukan embargo minyak (larangan ekspor) terhadap Israel. Penindasan keras terhadap ekspor minyak Iran dapat segera menghilangkan 1-2 juta barel per hari (juta barel per hari) dari pasar dalam sekejap.

Dari Oktober 1973 hingga Maret 1974, ketika perang Yom Kippur memicu embargo minyak terhadap pendukung Israel oleh negara-negara Arab, harga minyak melonjak lebih dari 300%.

Konflik regional tersebut akan mengganggu rute kapal tanker minyak di Mediterania, Laut Hitam dan sekitar Turki.

Konflik regional tersebut akan mengganggu rute kapal tanker minyak di Mediterania, Laut Hitam dan sekitar Turki.

2. Inflasi Melonjak

Ketika harga minyak mentah melonjak, ancaman inflasi yang tinggi kembali menghantui perekonomian global. Amerika Serikat, India, China, dan negara-negara besar lainnya merupakan importir minyak yang besar dan dapat mengalami inflasi impor yang tinggi jika harga minyak tetap tinggi.

Ketika harga minyak naik, biaya produksi berbagai industri dan biaya energi untuk dunia usaha dan rumah tangga juga meningkat sehingga mendorong inflasi lebih tinggi.

Lonjakan harga minyak, yang sempat mencapai US$139 per barel setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun lalu, dapat menghentikan penurunan inflasi. Ekspektasi pasar dalam jangka panjang terhadap ekspektasi inflasi AS dan kawasan euro menunjukkan inflasi tetap berada di atas target 2%.

3. Dollar Makin Perkasa

Permintaan terhadap safe-haven telah mendorong penguatan dolar. Indeks dolar telah mencapai level 106 dengan kenaikan 7% dari penurunan terendahnya sepanjang tahun 2023 pada pertengahan Juli di level 99.

Kenaikan dolar ini membuat mata uang banyak negara terpuruk, termasuk rupiah. Bank sentral sejumlah negara bahkan terpaksa mengerek suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Langkah ini diambil oleh Turki dan Indonesia.

4. Pasar Keuangan Tenggelam
Mata uang dan saham global langsung ambruk begitu perang Israel vs Hamas meletus pada 7 Oktober lalu. Perang meningkatkan ketidakpastian global sehingga investor cenderung menarik dana dari aset berisiko tinggi.

Mata uang, obligasi dan saham Israel telah terkena dampak dari krisis ini, seperti halnya yang terjadi di Mesir, Yordania dan Irak, serta Arab Saudi, Qatar dan Bahrain.
Mata uang Israel merupakan salah satu yang paling terpuruk tahun ini dengan pelemahan menembus 11,6%.

Sebagian besar negara berkembang mengabaikan ketegangan untuk saat ini. Morgan Stanley juga tidak memperkirakan adanya penularan krisis.

Namun Jeff Grills dari Aegon Asset Management memperingatkan eskalasi regional dapat dengan mudah menyebabkan harga minyak melonjak 20%, sehingga merugikan puluhan negara pengimpor minyak yang sudah miskin.

5. Jitter Teknologi

Apa yang baik bagi stok minyak bisa berdampak buruk bagi perusahaan teknologi besar.

Indeks MSCI untuk saham teknologi global bergerak berbanding terbalik dengan saham minyak dan gas pada tahun 2022 karena perang di Ukraina mendorong naiknya harga minyak, sehingga memicu kekhawatiran inflasi yang disebabkan oleh imbal hasil obligasi yang lebih tinggi.

Potensi gangguan terhadap infrastruktur juga merupakan sebuah risiko.

"Mesir adalah salah satu lokasi di mana banyak kabel antarbenua melintasi daratan di Terusan Suez digital," menurut Deutsche Bank. "Setidaknya 17% lalu lintas internet global melintasi rute ini."

Saham-saham maskapai penerbangan bisa menderita untuk sementara waktu, sebaliknya saham-saham pertahanan berkinerja lebih baik. Sejak serangan Hamas 7 Oktober di Israel, indeks saham maskapai penerbangan MSCI turun sekitar 5%. Pangsa kedirgantaraan dan pertahanan hampir 6% lebih tinggi.

CNBC Indonesia Research

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation