
Selamatkan Rupiah, Muncul Suara Suku Bunga BI Harus Naik

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar mulai terbelah dalam memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Mayoritas lembaga memang masih memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini. Namun, proyeksi jika BI akan mengerek suku bunga sudah mulai muncul.
BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pada Rabu dan Kamis pekan ini (18-19 Oktober 2023).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral RI akan menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 13 instansi/lembaga memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%. Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Satu lembaga memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,0%.
Suku bunga sebesar 5,75% sudah berlaku sejak Januari tahun ini. BI mengerek suku bunga sebesar 225 bps dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.
Bank Indonesia diperkirakan masih akan menahan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ambruknya mata uang Garuda serta derasnya capital outflow.
Nilai tukar rupiah jeblok 1,75% sepanjang Oktober ini, jauh lebih besar dibandingkan pada September 2023 yang tercatat 1,48% dan Agustus yang mencapai 1%.
Mata uang Garuda jeblok karena meningkatnya ekspektasi pasar mengenai kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed), ketegangan geopolitik di Timur Tengah, serta suhu politik dalam negeri yang mulai memanas. Kondisi ini membuat investor melepas aset berdenominasi rupiah, termasuk rupiah.
Berdasarkan catatan BI merujuk pada data transaksi 9-12 Oktober 2023, investor asing mencatat net sell sebesar Rp 4,32 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pekan sebelumnya (2-5 Oktober 2023) sebesar net sell Rp 2,5 triliun.
Net sell sudah terjadi sejak September 2023 dan membuat rupiah tembus level ke Rp 15.700, terendah sejak 28 Desember 2022 atau 10 bulan terakhir.
Pelaku pasar melihat The Fed masih belum akan melonggarkan suku bunga dalam waktu dekat. Terlebih, inflasi AS tetap tinggi yakni 3,7% (year on year/yoy) pada September 2023. Laju inflasi jauh di atas target The Fed yakni di kisaran 2%.
Perangkat FedWatch Tool menunjukkan 11,5% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada November mendatang. Angka ini naik dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai 6,8%.
Ekspektasi membuat indeks dolar AS menguat ke 106,25 kemarin dari hari sebelumnya yang tercatat 106,24. Ekspektasi juga melambungkan imbal hasil US Treasury melonjak menjadi 4,85% dari posisi sebelumnya di 4,71%.
Imbal hasil US Treasury sudah menembus level tertinggi dalam 16 tahun terakhir. The Fed baru akan menggelar Federal Open Market Committee (FOMC) pada 1-2 November 2023 atau dua pekan setelah BI menggelar RDG pekan ini.
Artinya, BI harus sudah harus menghitung kebijakan apa yang akan diambil The Fed serta dampaknya ke ekonomi Indonesia.
Terlebih, suku bunga acuan BI saat ini hampir mendekati The Fed Fund Rate (FFR) di 5,25-5,50%.
Bila BI menahan suku bunga sementara The Fed menaikkan 25 bps maka untuk pertama kalinya dalam sejarah suku bunga acuan BI dan The Fed akan sama.
Dengan situasi seperti ini, ekonom Tri Megah Sekuritas Fakhrul Fulvian mengatakan BI kemungkinan akan menyampaikan pandangan yang hawkish meskipun masih mempertahankan suku bunga.
"BI rate stay di 5,75% dengan BI setelah ini akan ada hawkish comment," tutur Fakhrul, kepada CNBC Indonesia.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro memperkirakan BI akan mengerek suku bunga acuan pada bulan ini untuk menopang kinerja rupiah.
Menurutnya, BI perlu instrumen suku bunga dan tidak bisa mengandalkan intervensi untuk menahan jatuhnya rupiah. Terlebih, cadangan devisa (cadev) sudah terkuras sekitar US$ 10,3 miliar dalam enam bulan dari US$ 145,2 miliar pada Maret 2023 menjadi US$ 134,9 miliar pada September 2023.
"Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga sebesar 25-50 bps tidak akan terlalu berimbas negatif kepada ekonomi," tutur Satria, kepada CNBC Indonesia.
Menurutnya, ekonomi Indonesia lebih ditopang oleh kebijakan fiskal. Dengan rasio kredit kepada Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 41% maka ekonomi Indonesia relatif aman dari kebijakan moneter yang diperketat.
Ekonom CNBC Indonesia, Anggito Abimanyu, mengatakan BI sudah saatnya menaikkan suku bunga untuk memukul spekulan dan menegaskan kehadiran mereka di pasar keuangan Indonesia.
Menurutnya, salah satu penyebab dari melemahnya rupiah saat ini adalah banyaknya spekulan yang mengambil keuntungan dari ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Mereka ramai-ramai menjual rupiah sehingga mata uang Garuda tertekan,
"Sebagai bank sentral BI harus berani mengambil tindakan termasuk dengan menaikkan suku bunga. Saya kira saatnya BI memukul spekulan," ujar Anggito dalam dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Senin, 16/10/2023).
Anggito mengingatkan ekonomi Indonesia lebih menggantungkan ekonominya pada konsumsi sehingga kenaikan suku bunga sebesar 25 bps tidak akan terlalu berdampak kepada ekonomi.
Anggito mengakui BI memang sudah mengeluarkan sejumlah amunisi untuk mengangkat mata uang Garuda, seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan memperbaharui aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Manusia. Namun, langkah tersebut belum cukup.
"Gak cukup bold. Saya kira saatnya BI menaikkan suku bunga. Secara psikologis membuat para investor portofolio berpikir dua kali dan berpikir Indonesia bisa juga loh. Jangan sampai kita didikte," imbuh Anggito.
Rupiah menjadi perhatian besar BI setelah mata uang terus tertekan. Inflasi yang menjadi fokus lain BI juga sudah jauh melandai sehingga tidak membebani BI.
Inflasi Indonesia melandai dengan cepat dari 5,95% (yoy) pada September 2022 menjadi 2,28% (yoy) pada September 2023. Inflasi inti juga sudah melandai dari 3,36% (yoy) pada Desember 2022 menjadi 2,00% (yoy) pada September 2023.
Padahal, BI sebelumnya memproyeksi inflasi baru akan bergerak di angka 3% pada September 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)