Hari Pangan Sedunia

Soeharto, SBY & Jokowi Dongkrak Produksi Beras, Siapa Juara?

Aulia Mutiara, CNBC Indonesia
17 October 2023 14:50
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau jalannya panen raya padi di Kelurahan Baji Pamai, Kecamatan Maros Kota, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dok: Humas Kementan
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau jalannya panen raya padi di Kelurahan Baji Pamai, Kecamatan Maros Kota, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dok: Humas Kementan
  • Persoalan beras negeri ini memang tiada habisnya apalagi Indonesia menyandang gelar negeri agraris.
  • Produksi beras diharapkan meningkat dari 31,5 juta ton menjadi 35 juta ton
  • Pada 2023, luas panen padi diperkirakan sebesar10,20 juta hektaredengan produksi padi sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari Pangan Sedunia diperingati kemarin, 16 Oktober. Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini, dunia justru dihadapkan pada persoalan pangan yang berat karena dampak perubahan iklim yang sangat ekstrem. Seperti negara lain, Indonesia juga menghadapi persoalan berat tahun ini di sektor pangan, terutama karena lonjakan harga beras.

Persoalan beras negeri ini memang tiada habisnya apalagi Indonesia menyandang gelar negeri agraris. Sebab itu, pemerintah terus melakukan upaya untuk mendongkrak harga beras di dalam negeri. Lantas bagaimana upaya pemerintah saat ini? Apa bedanya dengan era kepemimpinan sebelumnya?

Sebagaimana diketahui Plt Menteri Pertanian (Mentan) Aref Prasetyo mendampingi presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengikuti kegiatan panen raya padi di Indramayu pada akhir pekan lalu. Usai agenda tersebut, pihak Kementan memberikan penegasan bahwa jajarannya siap untuk terus mendongkrak produksi beras nasional di tahun mendatang.

Produksi beras diharapkan meningkat dari 31,5 juta ton menjadi 35 juta ton. Hal ini sesuai pada saat penandatanganan pakta integritas di Kantor Kementerian Pertanian 12 September lalu.

Pada 2023, luas panen padi diperkirakan sebesar 10,20 juta hektare dengan produksi padi sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG).

Produksi padi di Indonesia sepanjang Januari−September 2023 diperkirakan sebesar 45,33 juta ton GKG atau mengalami penurunan sekitar 105,09 ribu ton GKG (0,23%) dibandingkan Januari−September 2022 yang sebesar 45,43 juta ton GKG.

Sementara itu, berdasarkan amatan fase tumbuh padi hasil Survei KSA September 2023, potensi produksi padi sepanjang Oktober−Desember 2023 ialah sebesar 8,30 juta ton GKG.

Dengan demikian, total produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 53,63 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebanyak 1,12 juta ton GKG atau 2,05% dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.

Produksi padi tertinggi pada 2022 dan 2023 terjadi pada Maret, sementara produksi padi terendah pada 2023 diperkirakan terjadi pada Desember. Produksi padi pada Maret 2023 sebesar 8,92 juta ton GKG, sedangkan produksi padi pada Desember 2023 diperkirakan sebesar 1,93 juta ton GKG

Namun sebagai catatan selalin meningkatkan produksi beras, pemerintah juga harus bekerja sama PT Perum Bulog untuk melakukan penyerapan beras sebagai cadangan pangan pemerintah yang nantinya juga dapat digunakan sebagai stabilitasi harga apalagi di tengah ancaman perubahan iklim dan El Nino yang kini menyeruak.

Upaya Peningkatan Produksi Padi Era Jokowi

Sudah suatu keharusan bawah memastikan penyerapan produksi pangan dalam negeri sebagai langkah utama untuk mencukupi stok pangan pemerintah termasuk beras.

Selain itu, pemerintah terus mendorong peningkatan produksi beras lokal sebagai upaya menekan impor beras di tengah ancaman krisis global. Lewat kolaborasi antara Kementerian/Lembaga, pemerintah memastikan keamanan air, pupuk hingga benih sehingga percepatan tanam padi bisa dilakukan.

Pada Maret 2023, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengumumkan, penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) untuk beras dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Kebijakan HPP ini dalam konteks perlindungan harga di petani, sedangkan HETjuga untuk melindungi konsumen agar harga tak naik tinggi.

Sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 24/2020 tentang Penetapan Harga Pembelian pemerintah untuk Gabah atau Beras ditetapkan, HPP untuk GKP di tingkat petani adalah Rp4.200 dan Rp4.250 per kg di penggilingan.

Sedangkan, HPP GKG dipatok Rp5.250 per kg di tingkat petani dan Rp5.300 per kg di penggilingan. Kemudian beras di gudang Bulog dengan derajat sosoh 95%, kadar air 14%, butir patah 20%, butir menir maksimum 2%, harganya Rp9.950.

Pada aturan sebelumnya, HPP beras di gudang Bulog adalah Rp8.300 per kg. HPPberas ini digunakan untuk Bulog dalam mengadakan beras cadangan pemerintah (CBP). Saat ini Presiden bersera jajarannya tengah berupaya untuk meningkatkan produksi di tengah ancaman El Nino.

Tapi di tengah upaya peningkatan produksi ini persoalan pupuk belum juga menemukan titik terang di Era Jokowi.

Subdisi Pupuk Era Jokowi

Subsidi pupuk kerap menjadi persoalan. Anggaran yang besar kerap tidak sejalan dengan output pertanian ataupun upaya pemerintah dalam mendukung pembangunan pertanian.

Kebijakan subsidi pupuk bertujuan untuk mencapai peningkatan akses petani untuk membeli pupuk dalam jumlah yang sesuai dengan dosis anjuran pemupukan dan meningkatkan produktivitas serta produksi pertanian. Semua itu dilakukan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Lantas bagaimana pergerakan anggaran subsidi pupuk selama ini?

Berdasarkan data di atas sejak presiden Jokowi menjabat pada Oktober 2014 anggaran subsidi pupuk langsung melesat. Lihat saja pada tahun 2015, anggarannya langsung naik Rp 31,3 triliun. Meski pergerakan tiap tahunnya fluktuatif namun angkanya masih berada di atas Rp 25 triliun. Pertanyaannya apakah subsidi ini ada di tangan yang tepat?

Bagi petani yang tak mendapatkan alokasi pupuk subsidi, petani harus membayar mahal pupuk non subsidi.

Namun, bagi dia, para petani saat ini mengutamakan pasokan ketimbang harga. Jelang masa tanam, otomatis permintaan pupuk meningkat dan harga dikhawatirkan melambung tinggi. Hal ini harus digali lagi permasalahannya di lapangan bagi stakeholder jika benar serius ingin meningkatkan produksi beras dalam negeri.

 

Lantas bagaimana dengan upaya peningkatan produksi beras Era Presiden sebelumnya?

Era Soeharto

Sudah tak diragukan lagi, program ketahanan pangan era Soeharto ini begitu dikenal dan terkenang hingga kini. Kebijakannya masa itu diakui oleh Menteri Pertanian periode 2004-2009 Anton Apriyanto dengan banyak mengadpsi program-program semasa Orde Baru. Saat itu, tugas Kementerian pertanian hanya menyatukan kembali puing-puing yang berserakan yang sudah dibangun Soeharto.

Soeharto mengawali masa pemerintahannya pada 1966, Ia memprioritaskan sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah ke revolusi pangan. Hal ini ditempuh karena kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi pemicu sekaligus pemantik munculnya krisis politik di Indonesia.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.

Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

Pada masa pemerintahannya, banyak dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnisnya, Bulog yang menampung hasil dari petani, institusi penelitian seperti BPTP yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian.

Salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), hingga berbagai bentuk kerjasama antar lembaga yang terkait penyediaan sarana prasaran yang mendukung pertanian seperti irigasi dan pembangunan pabrik pupuk.

Penyediaan sarana penunjang, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Para petani dimodali dengan kemudahan memperoleh kredit bank. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras.

Memanggakannya, saat itu budidaya padi di Indonesia merupakan yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.

Teknologi pertanian juga diperkenalkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto langsung.

Hampir tidak ada pembangunan waduk-waduk besar. Era Seharto juga membangun infrastruktur perbenihan, pengamatan, dan pengendalian hama. Banyak peninggalan Presiden Kedua Indonesia itu yang sangat bermanfaat bagi pembangunan pertanian selanjutnya.

Di era Soeharto, menempatkan upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok tanpa harus impor, sebagai fokus pembangunan di masa pemerintahannya."Waktu itu, ada tekad yang kuat dari pemerintah untuk berswasembada beras.

Seorang petani mengamati padi yang mengalami kekeringan di Desa Kramat, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu, (9/8/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)Foto: Seorang petani mengamati padi yang mengalami kekeringan di Desa Kramat, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu, (9/8/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Seorang petani mengamati padi yang mengalami kekeringan di Desa Kramat, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu, (9/8/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Selain tekad, kebijakan, program, dan organisisasi pelaksana dari pusat hingga ke daerah, Soeharto menyediakan sumber daya manusia, yang relatif lebih pintar dengan menghasilkan sarjana-sarjana pertanian yang akan diterjunkan melaksanakan dan mendukung program tersebut, baik di lapangan maupun di lembaga-lembaga penelitian dan kampu. Era Soeharto juga menyediakan sumber dana yang besar untuk menyukseskan program menuju swasembada pangan.

Di era ini pula, Soeharto dinilai suskes memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan produksi pertanian.

Saat itu pula, kita bisa dikatakan beruntung mendapatkan benih unggul melalui program revolusi hijau saat itu. Soeharto menangkap revolusi hijau dengan tekad, dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan dan program, dicetak melalui institusi, kemudian disediakan SDM dan dana serta mobilisasi masyarakat petani.

Program kerja pertanian Pak Harto berbuah prestasi. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri melalui swasembada beras pada 1984. Pada 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras, sementara pada 1984, bisa mencapai 25,8 juta ton beras.

Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture Organization) alias Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14 November 1985.

Mengutip dari pusat data Jenderal Besar HM Soeharto, Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2004-2009) juga menilai Presiden Soeharto berjasa besar di bidang pembangunan ekonomi dan pertanian karena mampu menurunkan tingkat inflasi dari 650% menjadi 12% dalam beberapa tahun pertama kepemimpinannya.

Selain itu, Pak Harto juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Bahkan sampai saat ini, kata Kalla, belum ada presiden yang mampu menandinginya.

Presiden Soeharto pernah mengatakan bahwa "Food is my last defence line". Kebijakan pangan pada masa ini sebenarnya sudah hampir mendekati kategori kemandirian pangan. Hanya saja, terdapat beberapa indikator yang belum terpenuhi secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebijakan pangan era Soeharto belum mampu mencapai kedaulatan pangan.

Apabila dilihat dari definisi ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan, posisi kebijakan pangan pada masa Soeharto berada pada posisi ketahanan, sesuai dengan definisi ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau.

Hal tersebut dilihat dari adanya kebijakan swasembada beras yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Era SBY

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjabat juga punya caranya tersendiri untuk tingatkan produksi beras. SBY saat ini menekankan upaya penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pangan dan mengurangi ketergantungan pada pembukaan lahan yang semakin berkurang jumlahnya.

Perlu diketahui, SBY saat itu sudah mewanti-wanti soal pembukaan lahan, alih fungsi lahan, hingga soal perubahan iklim. Oleh sebab itu, yang perlu didorong adalah denga teknologi dan manajemen sehingga output tetap tinggi.

Pada tahun 2012 harapan SBY saat itu pada 2017-2022 Indonesia akan memiliki kemandirian pangan. Dalam pidato pembukaan Seminar Jakarta Food Security Summit 2012 di Jakarta, Presiden Yudhoyono juga mengatakan akan mengupayakan perbaikan infrastruktur untuk melancarkan distribusi pangan guna menjamin ketersediaan pangan dengan harga terjangkau.

Setelah lahan di Jawa sulit dikembangkan, Kementerian Pertanian mengandalkan pembukaan lahan pertanian baru di luar Pulau Jawa untuk meningkatkan produksi beras dan menjaga ketahanan pangan.

Salah satu program yang tengah ditempuh adalah mengembangkan program Food Estate, program pemberdayaan lahan-lahan potensial di sejumlah daerah yang belum tergarap untuk dijadikan lahan produksi tanaman pangan.Pemerintah dalam mengembangkan program ini mengundang sejumlah investor untuk menggarap lahan pertanian yang ditanami bahan pangan ini.

Zaman SBY, untuk mencapai ketahanan pangan yang tinggi dan swasembada beras, menurut Presiden, pemerintah harus bekerja keras.Komunitas petani juga harus dapat bertani dengan cara-cara yang tepat. Baru kemudian dibantu dengan pihak lain seperti dunia usaha.

Impor Beras Bak 'Jalan Ninja' Pemerintah

Impor beras memang bukan suatu hal yang baru bagi Pemerintah. Berdasarkan catatan sejarah, impor beras terjadi kali pertama pada era pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1910.

Padahal, baru pada 14 Agustus 2022 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena berhasil menerapkan swasembada pangan dan sistem pertanian yang tangguh.

Melihat data 10 tahun terakhir, data impor beras cukup berfluktuatif. Di 2012, angka impor beras Indonesia ada di angka 1.810.372 ton atau US$ 945,6 juta. Selanjutnya, di 2013 impor beras Indonesia turun ke angka 472.664 ton atau senilai US$ 246 juta.

Selanjutnya, pada masa akhir kepemimpinan Presiden SBY dan memasuki awal periode Presiden Jokowi, di tahun 2014 impor beras Indonesia mencapai angka 844.163 ton atau senilai US$ 388,1 juta.

Di awal masa jabatan Presiden Jokowi, pada 2015 pemerintahan Jokowi mengimpor beras 861.601 ton atau senilai US$ 351,6 juta. Pada 2016, impor beras pemerintah melonjak menjadi 1.283.178 ton atau seharga US$ 531,8juta.

Setahun kemudian, di 2017 angka impor beras sempat menurun menjadi 305.274 ton atau setara US$ 143,6 juta. Namun penurunan tersebut tak terulang di tahun berikutnya, ketika Indonesia mengimpor beras 2.253.824 ton di tahun 2018. Jumlah tersebut setara dengan US$ 1,037 juta.

Usai naik drastis, jumlah beras yang diimpor pemerintah kembali menurun di tahun 2019, lagi-lagi memasuki masa Pemilu. Sepanjang 2019, Indonesia mengimpor beras sebanyak 444.508 ton atau setara dengan US$ 184,2 juta. Hingga 2022, impor beras era Presiden Jokowi bercokol di kisaran level 300-400 ton.

Melihat data terbaru BPS mencatat impor beras ke Indonesia mencapai 1,59 juta ton selama periode Januari-Agustus 2023. Untuk diketahui bahwa impor beras tersebut didominasi oleh golongan semi-milled atau wholly milled beras.

Sebagai informasi, dari rencana impor sebanyak 1,5 juta ton hingga akhir tahun, Plt Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi menyebut kemungkinan beras impor tambahan yang masuk sampai akhir tahun ini hanya 600 ribu ton.

"(Rencana impor beras) 1,5 juta ton itu kemungkinan besar yang masuk cuman 600 ribu ton. Nggak sampai (1,5 juta ton), tapi kita lagi cari sebaik mungkin untuk memenuhi," kata Arief saat ditemui di kompleks Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation