Banyak Guncangan dari Eksternal Pekan Ini, Syukur IHSG Hijau

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
14 October 2023 17:10
Ilustrasi bearish market vs bullish market
Foto: Pixabay/gerd Altmann

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan kedua Oktober ini jadi pekan yang sangat sibuk dan banyak kabar buruk dari eksternal, hal ini membuat dana asing keluar dari Tanah Air. Imbasnya, rupiah babak belur hingga surat berharga negara (SBN) diobral. Namun, syukurnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berhasil tetap hijau.

Mulai dari eksternal terlebih dahulu, pada pekan ini banyak data dari Amerika Serikat (AS) yang dirilis, seperti inflasi, data pasar tenaga kerja, hingga risalah Federal Open Market Committee (FOMC) Minutes, termasuk beberapa pidato pejabat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang turut memberikan gambaran bagaimana kebijakan the Fed ke depan.

Ekonomi Negeri Paman Sam Masih Panas

Secara keseluruhan data ekonomi AS masih cukup panas, inflasi yang dirilis pekan ini untuk periode September 2023 di luar dugaan malah melaju kencang. Secara bulanan, inflasi tumbuh 0,4%, sementara secara tahunan tumbuh 3,7%. Angka tersebut meleset dari perkiraan yang proyeksi bisa tumbuh 0,3% mtm dan 3,6% yoy.

Sementara untuk inflasi inti terpantau tumbuh 0,2% mtm dan 4,1% mtm, masih jauh dari target the Fed di 2%. Artinya, target tersebut rasanya sudah tidak mungkin untuk dicapai tahun ini, mengingat banyaknya tekanan eksternal terutama masalah pasokan yang ketat dan harga minyak naik akibat mencuat kembali masalah perang di Timur Tengah.

Kondisi pasar tenaga AS juga terpantau masih cukup ketat, dimana data klaim pengangguran mingguan naik ke 209.000 pekan ini, lebih rendah dari ekspektasi yang proyeksi naik ke 210.000. Ditambah dengan data non farm payroll untuk September 2023 juga tak terduga naik ke 336.000, berbanding terbalik dari ekspektasi yang proyeksi turun ke 170.000, sementara tingkat pengangguran masih bertahan sama dari bulan sebelumnya sebesar 3,8%.

Di lain sisi, hasil risalah dari FOMC Minutes pekan ini menunjukkan ada kemungkinan the Fed tetap hawkish tetapi ada perubahan fokus dimana saat ini akan seberapa lama bank sentral AS tersebut menahan era suku bunga tinggi dibandingkan sebesar besar suku bunga akan naik lagi.

Akan tetapi, mayoritas pengambil kebijakan menilai bahwa masih ada potensi satu kali menaikkan lagi suku bunga The Fed pada pertemuan mendatang. Walaupun beberapa pemangku kebijakan juga menilai sudah tidak perlu menaikkan lebih lanjut.

Perangkat FedWatch Tool menunjukkan hanya 14,96% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada November mendatang. Angka ini turun dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai 9,1%.

Inflasi China Tumbuh Tipis, Tetapi Ekspor Impor Membaik

Beralih ke negara tirai bambu, China pada Jumat lalu merilis data terkait inflasi dan neraca dagang. Diketahui untuk inflasi secara basis tahunan tak bertumbuh atau 0%, masih meleset dari target yang proyeksi bisa tumbuh 0,2%. Sementara pada basis bulanan juga tumbuhnya 0,2%, lebih rendah dari proyeksi di 0,3%.

Kalau negeri paman Sam ingin inflasi melandai, beda dengan Tiongkok yang ingin inflasinya bertumbuh. Ini karena China ekonominya sedang lesu apalagi kondisi ekspor dan impornya selama beberapa bulan terakhir ini terus berkontraksi.

Perlu dicatat juga secara bulanan, China sempat mengalami deflasi pada Februari hingga Juni 2023. Deflasi diakibatkan oleh lambatnya rebound ekonomi China pasca lockdown untuk mengatasi penyebaran virus covid-19

Selain itu, perlambatan ekonomi China juga terjadi terdampak oleh adanya krisis properti yang menjadi penopang perekonomian. Terdapat beberapa perusahaan raksasa properti yang terancam bangkrut akibat masalah ini, seperti Evergrande dan Country Garden.

Negeri Tirai Bambu ini sempat mengucurkan stimulus dengan memangkas rasio cadangan perbankan 25 bps ke 7,4%. Pemangkasan rasio cadangan perbankan diperkirakan bakal melepas dana hingga US$ 69 miliar sebagai tambahan likuiditas bank.

Kemudian untuk data ekspor impor pada September 2023 walaupun masih berkontraksi, tetapi sudah mulai ada perbaikan dimana ekspor dan impor masing-masing turun -6,2%, masih lebih baik dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya sebesar -8,8% dan -7,3%. Dengan begitu, neraca dagang juga tumbuh surplus US$77,71 miliar, lebih tinggi dari sebelumnya sebesar US$ 68,36 miliar.

Tak Terduga, Perang Israel-Hamas Memanas

Sentimen yang mempengaruhi pasar pekan ini juga datang dari perang yang tak terduga memanas dari pasukan Israel dan kelompok Hamas. Perang antara kelompok Hamas Palestina dan pasukan Israel sejak akhir pekan pertama Oktober ini telah memakan korban jiwa ribuan orang di Israel, Jalur Gaza dan Tepi Barat (West Bank).

Perang dimulai sejak Sabtu saat Hamas menyerbu perbatasan Israel sebagai balasan tindakan diskriminatif negeri itu ke warga Gaza. Ini kemudian dibalas Tel Aviv dengan serangan udara serta pengepungan total di Jalur Gaza, bahkan memutus pasokan air, bahan bakar, listrik, dan makanan.

Data Kementerian Kesehatan Palestina memaparkan jumlah warga Palestina yang tewas di Gaza akibat serangan Israel. Terbaru, korban meninggal mencapai 1.354 orang di mana 6.049 orang luka-luka.

Secara keseluruhan dari global, ketidakpastian dari perang kemudian bank sentral AS akibat inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja yang masih panas masih bisa menahan laju pasar saham, obligasi, hingga nilai tukar Tanah Air. Akan tetapi perbaikan ekonomi China diharapkan bisa menjadi penopang dan angin segar ke depan.

Bersyukurnya untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan ini masih bertahan di posisi hijau, menguat 0,25% secara mingguan, tetapi untuk rupiah masih babak belur, melemah 0,48% terhadap dolar AS dan belum keluar dari zona merah selama 6 pekan beruntun. Senasib dengan rupiah, pada pasar obligasi juga masih terpantau di lego asing, bahkan terpantau sejak Juni 2023, secara bulanan tercatat selalu net outflow.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation