
Inflasi AS Masih Kencang, RI Harus Tanggung Penderitaan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Amerika Serikat (AS) pada September lebih tinggi dari perkiraan. Kondisi ini turut meningkatkan prospek bahwa bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga menyusul data terbaru yang sama kuatnya mengenai kekuatan pasar tenaga kerja.
Menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) tercatat 3,7% (year on year/yoy) pada September 2023, laju yang sama seperti bulan sebelumnya. Angka ini sedikit lebih tinggi daripada proyeksi ekonom yang sebesar 3,6%.
Secara bulanan (month to month/mtm), inflasi melambat dari 0,6% pada Agustus 2023 menjadi 0,4 % pada Agustus 2023, sebagian disebabkan oleh rendahnya tekanan dari harga energi. Namun, inflasi inti, yang tidak memperhitungkan volatilitas harga energi dan pangan, tetap stabil di angka 0,3% (mtm). Inflasi inti turun tipis dari 4,3% menjadi 4,1% pada basis tahunan (yoy).
Sesuai dengan tren terkini, biaya hunian merupakan faktor utama kenaikan inflasi September.
Indeks untuk tempat tinggal, yang menyumbang sekitar sepertiga dari bobot CPI, meningkat 0,6% pada bulan ini dan 7,2% dari tahun lalu. Secara bulanan, tempat tinggal menyumbang lebih dari separuh kenaikan CPI.
Melansir Financial Times, Kamis (12/10/2023), Alisher Khussainov, kepala inflasi di Citadel Securities, mengatakan laporan itu adalah "sebuah peringatan bagi The Fed".
"Data yang kami terima - pertumbuhan, gaji, inflasi - semuanya mengarah ke arah yang sama, dan ini menunjukkan perekonomian sedang mengalami percepatan dibandingkan dengan resesi yang akan segera terjadi. . . kewaspadaan yang lebih tinggi akan diperlukan dari sudut pandang [bank sentral]," imbuh Khussainov.
Data pekerjaan AS yang lebih kuat dari perkiraan pada minggu lalu telah memicu kekhawatiran bahwa inflasi mungkin akan tertahan di atas target The Fed sebesar 2%.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS atau US Treasury naik setelah data CPI dirilis, meskipun masih di bawah puncak 16 tahun setelah rilis data pekerjaan minggu lalu.
Yield obligasi tenor dua tahun, yang sangat sensitif terhadap ekspektasi suku bunga, naik 0,07 poin persentase menjadi 5,08%. Asal tahu saja, harga obligasi turun seiring kenaikan imbal hasil.
Laporan inflasi CPI dirilis ketika para pejabat The Fed sedang mempertimbangkan langkah kebijakan selanjutnya.
Risalah pertemuan The Fed untuk September, yang dirilis pada Rabu, mencerminkan perpecahan dalam Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC).
Pertemuan tersebut diakhiri dengan komite memilih untuk tidak menaikkan suku bunga, tetapi risalah rapat menunjukkan kekhawatiran yang masih ada mengenai inflasi dan kekhawatiran akan risiko kenaikan yang masih ada.
Suku bunga The Fed (fed funds rate/FFR) telah melonjak dari level mendekati nol pada Maret 2022 menjadi kisaran 5,25-5,5%. Pelaku pasar sekarang hanya memperkirakan kemungkinan kecil bank sentral akan memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebelum akhir tahun.
Perkiraan pasar lebih lanjut menunjukkan bahwa The Fed akan memangkas sekitar 0,75 poin persentase dari suku bunga pinjaman utamanya sebelum akhir 2024.
Dampak ke Pasar Indonesia
Inflasi di Amerika Serikat (AS) adalah salah satu faktor yang memiliki dampak signifikan pada pasar keuangan global, termasuk di Indonesia.
Salah satu dampak utama dari inflasi AS terhadap pasar keuangan Indonesia adalah melalui perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketika inflasi AS meningkat, yang diikuti dengan (ekspektasi) kenaikan suku bunga oleh The Fed, dolar AS menjadi lebih kuat, dan rupiah cenderung melemah.
Hal ini dapat berdampak pada sektor ekspor-impor dan harga barang impor di Indonesia. Pelemahan rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan berpotensi meningkatkan inflasi dalam negeri.
Selain itu, kenaikan suku bunga AS dapat mempengaruhi arus modal ke Indonesia, baik di pasar surat utang (obligasi) maupun pasar saham.
Sejak awal 2022 hingga saat ini, rupiah mengalami penurunan signifikan, hingga 10%, terhadap dolar AS, terutama sebagai respons dari kenaikan suku bunga oleh The Fed untuk menangani inflasi tinggi AS.
Ketika inflasi AS meningkat, tekanan juga meningkat pada Bank Indonesia, Bank Indonesia (BI), untuk mengelola suku bunga dan kebijakan moneternya.
Untuk mengendalikan inflasi, BI telah menaikkan suku bunga acuan dari 3,5% menjadi 5,75% selama periode Agustus 2022 hingga Januari 2023. BI kemudian mempertahankan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate (BI-7DRRR) di level 5,75% selama sembilan bulan beruntun.
Jika inflasi AS tetap terkendali, seperti terlihat dalam beberapa bulan ini, tekanan untuk menaikkan suku bunga dalam negeri mungkin tidak sekuat jika inflasi AS melonjak dengan cepat.
Beberapa ekonom Indonesia memproyeksikan bahwa BI mungkin baru akan meredam tingkat bunga acuannya pada pertengahan hingga akhir 2024 setelah The Fed menurunkan suku bunganya.
BI sejatinya masih meyakini tren inflasi Indonesia ke depan turun, tercermin dari target inflasi yang tahun ini di kisaran 3% plus minus 1% menjadi 2,5% plus minus 1%. Bahkan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga telah memperkirakan inflasi tahun depan bergerak di kisaran 2,8% meski tekanan inflasi global berkepanjangan.
BI Hadapi Dilema
Namun, BI akan menghadapi dilema yang kuat seiring menunggu arah kebijakan suku bunga The Fed pada awal November 2023 mendatang.
Branko Windoe SEVP Treasury and International Banking BCA Program Power Lunch CNBC Indonesia, Senin (09/10/2023) mengatakan, jika The Fed dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) itu memutuskan kebijakan suku bunga AS kembali naik menjadi setara suku bunga BI-7 day reverse repo, maka opsi BI cuma menjadi dua, menaikkan suku bunga kebijakan atau kembali mempertahankan.
Namun, Branko mengingatkan kedua opsi itu hasilnya akan sama, yakni rupiah akan terus tertekan. Di satu sisi, dia mengatakan ini karena semakin tipisnya selisih imbal hasil atau yield aset antara di AS dan Indonesia yang menyebabkan aliran modal asing keluar dan likuiditas valas mengering.
Di sisi lain, bila kebijakan suku bunga dilakukan kenaikan merespons kenaikan di AS, maka akan menekan laju pertumbuhan negara-negara ekonomi berkembang seperti Indonesia di tengah tren inflasi yang rendah, tidak seperti di AS.
"Jadi kalau sekarang di US tingkat suku bunganya naik, di Indonesia punya dua pilihan, satu pilihan suku bunga ikut naik atau tidak naik therefore mata uang rupiah bisa tertekan," kata Branko dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (10/10/2023).
Dengan kondisi ini, Branko mengatakan, Bank Indonesia tentu akan terus menggencarkan intervensi di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder demi menjaga supaya pelemahan rupiah tidak ambruk terlalu dalam.
"Biasanya kita akan melihat akan terjadi smoothening ya, jadi kalau misal terjadi pelemahan di Indonesia kita lihat central bank melalui triple interventionnya akan menjaga koridor pergerakan mata uang rupiah supaya pergerakannya tidak terlalu liar," tuturnya.
"Karena kalau di Indonesia ketika tingkat suku bunga acuannya mengalami adjustment, tentunya kembali ke equilibrium, jadi nothing happened, tentu rupiah itu harus melemah ke level-level yang lebih lemah lagi," ucap Branko.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, selain triple intervention BI memerlukan langkah ekstra untuk menjaga likuiditas dolar AS di dalam negeri. Dengan begitu, ketika dolar AS terus menguat dan rupiah tertekan, dari sisi pasokan masih akan tersedia untuk menjaga stabilitas nilai tukarnya.
"Tentu saja dengan pressure permintaan dari USD yang semakin tinggi, dengan adanya capital outflow satu bulan terakhir, dan supply USD yang juga relatif semakin turun karena neraca perdagangan kita dibanding tahun lalu semakin turun, kemudian BI keluarkan beberapa kebijakan untuk tetap jaga likuiditas valas," kata Andry.
Kebijakan yang saat ini bisa ditempuh untuk menjaga pasokan dolar itu menurut Andry sudah ada dikeluarkan BI dan pemerintah, di antaranya adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) serta kebijakan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) yang harus semakin diperkuat.
"Saya rasa kata kuncinya bagaimana kita tetap meningkatkan supply atau likuiditas valas di dalam negeri ini, kemudian BI bisa smoothing dari volatilitas nilai tukar rupiah karena adanya pressure dari USD terhadap mata uang regional," ungkapnya.
Singkatnya, keputusan BI terkait suku bunga akan sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri dan mengendalikan inflasi. Dalam kondisi di mana inflasi global meningkat, BI harus melakukan keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas harga.
Penting untuk diingat bahwa pasar keuangan Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam negeri, termasuk kebijakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi domestik, dan stabilitas politik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(trp/trp)