
Perang Israel-Hamas: Anda Rugi Kalau Punya Saham Ini!

- Perang antara kelompok Hamas dan pasukan Israel makin memanas potensi memicu masalah rantai pasokan global dan mengganggu jalur pengiriman yang berimbas ke sektor ekspor-impor
- Sektor berorentasi impor cenderung tidak diuntungkan jika perang meluas, alhasil saham-saham yang bergantung dengan impor seperti farmasi dan konsumer non-primer juga akan terdampak.
- Selain sektor farmasi dan konsumer non-primer, saham teknologi juga akan berdampak karena saham sektor ini terkenal rentan akan krisis.
Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik di Timur Tengah akibat serangan militan Palestina Hamas ke Israel menambah daftar konflik yang berkepanjangan di kedua negara tersebut dan tentunya di kawasan Timur Tengah.
Konflik Israel-Hamas pun membuat ketidakpastian di global kembali meningkat. Padahal saat ini, pasar sedang dilanda ketidakpastian akibat era suku bunga tinggi, inflasi yang masih membandel di beberapa negara, dan belum berakhirnya perang Rusia-Ukraina berserta dampak-dampaknya.
Timur Tengah memang memiliki sejarah panjang konflik dan ketegangan, yang seringkali memberikan dampak pada pasar global. Namun, penting untuk dicatat bahwa peristiwa geopolitik terbaru, seperti perang Rusia ke Ukraina sebelumnya, telah menunjukkan bahwa pasar keuangan dapat tetap kokoh meskipun adanya gangguan global yang signifikan.
Ketahanan ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa para investor lebih memprioritaskan faktor lainnya, seperti laju pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19, kebijakan moneter bank sentral negara utama, daripada konflik geopolitik.
Meski begitu, jika perang di Timur Tengah meluas, maka tentunya juga akan berdampak kepada perekonomian dan sosial, terutama di Timur Tengah yang lebih dahulu akan terkena dampaknya, kemudian negara-negara lain yang bermitra dengan Timur Tengah.
Dalam sejarah sebelum era modern setelah pandemi Covid-19, perang memang membuat sengsara banyak orang. Mulai dari melonjaknya harga pangan karena adanya embargo-embargo, harga energi yang membuat harga bahan bakar juga melonjak, dan angka kematian akibat perang yang cukup besar.
Saat perang terjadi bahkan diprediksi meluas, maka akan cenderung berimbas negatif ke pasar saham. Memang dengan adanya konflik di Timur Tengah, ini menjadi sentimen positif bagi saham-saham energi, tetapi hal tersebut hanya bersifat sementara dan investor cenderung bermain aman dengan memburu aset safe haven.
Ketika investor cenderung bermain aman, maka beberapa saham akan dihindari dan hal tersebut akan membuat saham tersebut terkoreksi parah serta akan mempengaruhi kinerjanya.
Secara sektoral, sektor yang berorientasi impor akan mengalami dampak yang lebih besar jika perang meluas. Hal ini karena ketika adanya perang, maka jalur pengiriman cenderung akan terganggu.
Apalagi, jalur pengiriman tersebut melewati kawasan konflik, sehingga mau tidak mau harus memutar melewati daerah yang tidak terjadi konflik. Ketika hal ini terjadi, maka biaya pengiriman akan membengkak karena beberapa barang ekspor-impor tidak cukup lama bertahan seperti barang pangan.
Ketika sektor berorientasi impor terganggu akibat perang, maka saham-saham yang akan terdampak pada hal ini tentunya seperti saham farmasi yang sebagian besar bahan bakunya masih impor.
Mayoritas saham sektor farmasi kurang bergairah dan kurang likuid, oleh sebab itu mesti cermat dalam memilih saham-saham farmasi. Adapun untuk contoh saham farmasi yakni mulai dari PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC), dan lain-lainya.
Selain saham farmasi, saham konsumer non-primer, terutama di barang makanan dan minuman juga berpotensi terdampak dari masalah impor. Hal ini karena beberapa saham konsumer juga menggunakan bahan baku impor sehingga jika rantai impor terganggu juga akan mempengaruhi kinerjanya.
Adapun untuk saham konsumer yang produknya masih bergantung impor yakni Grup Indofood seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
Untuk ICBP sendiri, karena bahan baku gandum untuk produksi Indomie masih impor, maka jika perang meluas dan membuat harga gandum kembali naik, maka potensi dampaknya pun cukup besar mulai dari naiknya harga Indomie hingga hal-hal lainnya.
Kemudian, saham yang bergerak pada sektor bahan baku produsen besi dan baja juga akan terancam karena bahan baku dari produk mineral tersebut juga tidak semuanya ada di Indonesia, alias tetap harus impor.
Selain saham-saham yang berhubungan dengan impor, ada saham lainnya yang berpotensi terdampak dari meluasnya perang, meski dampaknya tidak langsung, yakni saham teknologi.
Saham teknologi juga rentan dengan adanya krisis termasuk akibat dari meluasnya perang. Hal ini karena ketika perang meluas hingga terindikasi menyebabkan krisis, maka investor cenderung bermain aman dan menghindari saham-saham teknologi yang terkenal akan tingginya volatilitas.
Meski di pandemi Covid-19 saham teknologi justru unjuk gigi, tetapi nyatanya setelahnya malah kinerjanya mulai melambat.
Di tahun 2022 saja, saat invasi Rusia ke Ukraina dimulai, startup mengalami tahun yang suram nyaris di seluruh metrik, mulai dari investasi yang anjlok hingga banyaknya perusahaan yang gagal melakukan pencatatan publik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)