
Harga Rp128/lembar IPO KOKA Masih Kemahalan

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten kontraktor pabrik-pabrik di Morowali, PT Koka Indonesia segera listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) Oktober ini dengan kode saham KOKA melalui aksi korporasi Initial Public Offering (IPO).
Rencana Initial Public Offering (IPO)
PT Koka Indonesia Tbk bakal mengeluarkan saham baru sebanyak-banyaknya 715,33 juta lembar atau setara 25% kepemilikan publik. Penambahan free float tersebut akan memberikan efek dilusi pada struktur mulai Ny Gao Jing sebagai pengendali porsi sahamnya akan menyusut dari 57% menjadi 42,75%, PT Kreatif Konstruksi Indonesia dari 33% menjadi 24,75%, kemudian Tn Pei Yaxing dari 7,20% menjadi 5,40%.
Adapun tanggal pelaksanaan IPO yang perlu dicermati pelaku pasar sebagai berikut :
- Penawaran Umum : 3 - 9 Oktober 2023
- Penjatahan : 9 Oktober 2023
- Distribusi : 10 Oktober 2023
- Tanggal Pencatatan Perdana di BEI : 11 Oktober 2023
Harga saham baru yang ditawarkan melalui IPO berada di Rp128 per lembar, ini merupakan harga batas bawah yang ditetapkan dari rentang harga yang ditawarkan ketika book building di Rp128 - 161 per lembar. Dari harga tersebut perusahaan potensi dapat dana segar senilai Rp91,56 miliar yang seluruhnya akan digunakan untuk ekspansi, dimana sekitar 88,45% dialokasikan untuk modal kerja, sementara sisanya digunakan untuk belanja modal, dengan rincian sebagai berikut :
Mengenal Bisnis Perusahaan & Prospeknya
PT Koka Indonesia Tbk (KOKA) menggeluti bisnis produk/jasa yang diklasifikasikan jadi dua segmen yaitu infrastruktur dan konstruksi. Pada segmen infrastruktur meliputi rekayasa kota dan geoteknik, sementara pada segmen konstruksi meliputi desain dekoratif, MEP, dan bidang lainnya
Sejak 2018 hingga kini perusahaan telah menyelesaikan 17 proyek yang mayoritas mengerjakan pabrik manufaktur pengolah komoditas di Morowali, Sulawesi Tengah dan saat ini di lokasi yang sama masih ada tiga proyek sedang berjalan dengan progress hingga tiga bulan pertama 2023 sudah mencapai lebih dari 93%.
Banyaknya proyek pengerjaan infrastruktur pabrik pengolah komoditas menjadikan segmen ini kontributor utama pendapatan senilai Rp68,1 miliar atau setara 98% dari total pendapatan hingga tiga bulan pertama 2023 yang sebesar Rp69,5 miliar.
Secara historis, profitabilitas KOKA terpantau tumbuh signifikan sejak 2020 - 2022 seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Dari sisi bottom line bahkan berhasil turnaround dari 2020 yang merugi Rp1,4 miliar menjadi untung Rp19,4 miliar pada 2022, laba masih berlanjut positif hingga akhir Maret 2023 sebesar Rp11,9 miliar.
Peningkatan paling pesat dari sisi top line terjadi pada 2021 disinyalir karena banyak proyek infrastruktur dan konstruksi baru pasca ekonomi nasional bangkit dari pandemi Covid-19 serta masifnya rencana hilirisasi mineral terutama untuk nikel.
Berdasarkan data Kementerian ESDM cadangan nikel terbesar dunia berada di Indonesia sebesar 72 juta ton yang potensi berkontribusi 52% dari cadangan nikel global. Cadangan nikel yang besar tersebut terkonsentrasi di daerah Sulawesi terutama di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.
Terkhusus di Sulawesi Tengah tepatnya di Morowali, pemerintah kini sedang mengembangkan kawasan industri berbasis nikel dengan target pengembangan tahap I seluas 4000 hektar.
Sejalan dengan adanya proyek pemerintah di Morowali serta banyak pelanggan perusahaan yang berada di daerah tersebut memunculkan peluang perusahaan untuk mendapatkan proyek baru yang potensi akan meningkatkan profitabilitas semakin solid ke depan.
Valuasi Gimana?
Prospek perusahaan mendapatkan profitabilitas lebih tinggi di masa depan memang menarik sejalan dengan program hilirisasi nikel di Sulawesi yang terus digencarkan, kendati begitu kita juga harus menilai valuasi dari harga saham yang ditawarkan di Rp128 per lembar apakah murah atau mahal.
Berdasarkan harga tersebut dengan jumlah saham setelah IPO mencapai 2,86 miliar lembar akan mengimplikasi kapitalisasi pasar sekitar Rp366 miliar. Nilai tersebut membuat KOKA masuk ke dalam kategori papan pengembangan.
Menggunakan asumsi nilai kas yang sudah ditambahkan dengan proceed IPO, akan menghasilkan nilai valuasi price to book value (PBV) sebesar 2,2 kali. Dari nilai tersebut apabila dibandingkan dengan beberapa kompetitor seperti tabel di bawah ini ternyata nilainya lebih tinggi, ini menunjukkan secara teoritis valuasi KOKA sudah overvalued atau mahal.
Kesimpulannya, prospek hilirisasi memang bisa meningkatkan peluang proyek baru yang potensi menggiring profitabilitas meningkat, tetapi valuasi yang sudah mahal akan menjadi penghambat laju harga saham, ditambah posisi sebagai pendatang baru cenderung membuat risiko volatilitas jadi lebih tinggi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)