Senjata Makan Tuan! 2 Bukti Raksasa AS Ini Tak Baik-Baik Saja

rev, CNBC Indonesia
26 September 2023 08:50
U.S. Federal Reserve Chairman Jerome Powell holds a news conference following the two-day Federal Open Market Committee (FOMC) policy meeting in Washington, U.S., March 20, 2019. REUTERS/Jonathan Ernst
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) sebagai salah satu bank sentral terbesar di dunia menunjukkan tanda-tanda keterpurukan pasca suku bunga yang kian tinggi beberapa waktu terakhir.

Sebagai informasi, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 11 kali dengan total kenaikan sebesar 525 bps sejak Maret 2022. Suku bunga di level 5,25-5,50% saat ini adalah yang tertinggi sejak 2001 atau 22 tahun terakhir.

Ketua The Fed, Jerome Powell menegaskan bahwa hal ini dilakukan untuk menekan inflasi hingga mencapai targetnya yakni di level 2%. Sementara saat ini inflasi AS sebesar 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.

Hal tersebut berdampak pada guncangan yang terjadi di internal The Fed itu sendiri, seperti kerugian yang ditanggung hingga triliunan rupiah serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

The Fed Rugi Rp1.500 triliun

Lonjakan kerugian The Fed disinyalir akibat beban bunga yang harus mereka bayar lebih besar dibandingkan pendapatan dari bunga obligasi yang mereka simpan. Alhasil diperkirakan The Fed merugi hampir US$ 100 miliar atau sekitar Rp1.535 triliun dalam beberapa bulan terakhir.

Hal tersebut terjadi akibat operasi yang saat ini melibatkan pembayaran lebih banyak bunga kepada bank atas simpanan cadangan di The Fed dibandingkan dengan pendapatan bank sentral dari portofolio obligasi dan sekuritas berbasis hipotek senilai US$7,5 triliun.

William English, mantan staf bank sentral yang kini bekerja di Yale University, memperkirakan The Fed bakal boncos hingga US$200 miliar hingga 2025. Sementara itu, analis dari LH Meyer, Derek memperkirakan kerugian bisa mencapai US$150 - US$200 miliar pada tahun depan atau sekitar Rp 2.302-3.070 triliun.

The Fed sebenarnya jarang mengalami kerugian. Namun, mereka juga bisa merugi jika tidak ada keseimbangan dalam mengimplementasikan kebijakan moneter dan tujuan mereka.

Untuk diketahui, The Fed seperti bank sentral lain juga melakukan pembelian besar-besaran obligasi swasta dan pemerintah hingga sekuritas demi menyelamatkan ekonomi saat pandemi menghantam dunia pada 2020.

The Fed membeli obligasi jangka panjang di awal pandemi secara besar-besaran. Pembelian tersebut membuat harga obligasi naik sementara imbal hasil, sebaliknya, turun.

Imbal hasil US Treasury pada Maret 2020 ada di kisaran 0,7%. Sebagai catatan, suku bunga The Fed pada awal pandemi ada di kisaran 0,00-0,25%.

Persoalan datang setelah inflasi AS melonjak karena kenaikan harga energi dan pangan.

The Fed pun mau tak mau mengerek suku bunga dengan sangat agresif. Sejak Maret 2022 hingga Juli 2023, The Fed sudah mengerek suku bunga sebesar 525 bps menjadi 5,25-5,50%.

Lonjakan suku bunga ikut mengerek imbal hasil obligasi di mana US Treasury 10 tahun kini ada di kisaran 4,3%. Nilai market dari portofolio di neraca The Fed pun jatuh sehingga The Fed merugi.

The Fed menerima pendapatan bunga atas kepemilikan obligasi swasta dan US Treasury. Namun, di sisi lain, The Fed juga harus membayar bunga cadangan kepada bank dan lembaga keuangan lainnya yang menyimpan dana di The Fed.

Jika bunga dari US Treasury yang diterima The Fed lebih besar daripada bunga yang dibayarkan oleh The Fed untuk simpanan maka The Fed akan untung. Demikian juga sebaliknya.

Kondisi sebaliknya inilah yang kini terjadi. Akibat suku bunga yang sangat tinggi maka The Fed juga harus membayar bunga untuk simpanan bank sangat tinggi.

Kerugian The Fed diperkirakan akan berhenti jika The Fed terus menguras neraca mereka dengan menjual obligasi yang dulu mereka beli. Namun, dibutuhkan waktu lama untuk menghilangkan kerugian.
Pendapatan bunga mulai meningkat ketika obligasi tersebut jatuh tempo, dan The Fed berinvestasi kembali pada obligasi baru dengan suku bunga lebih tinggi.

The Fed PHK 300 Karyawan

The Fed merencanakan untuk melakukan PHK sebanyak ratusan karyawan pada tahun ini.

Juru bicara the Fed mengatakan kepada CNN International bahwa pihaknya akan memangkas sekitar 300 karyawan pada tahun ini. Pemangkasan karyawan ini akan menjadi yang pertama sejak 2010.

Adapun, sistem The Fed saat ini mempekerjakan sekitar 21.000 di 12 bank sentral regional dan sekitar 350 karyawan di Washington.

Juru bicara tersebut mengatakan pengurangan tersebut, yang sebelumnya dilaporkan oleh Reuters, mencakup kombinasi PHK, pensiun dini, dan memilih untuk tidak mengisi posisi yang kosong. The Fed menolak mengatakan secara rinci berapa banyak orang yang akan diberhentikan.

PHK sebagian besar akan fokus pada posisi pendukung, termasuk peran teknologi yang tidak lagi diperlukan.

Menurut laporan tahunan dan dokumen keuangan yang disiapkan oleh The Fed setiap tahunnya, jumlah staf yang dianggarkan untuk sistem tersebut, termasuk bank regional, Dewan Gubernur yang berbasis di Washington, dan tiga unit yang lebih kecil, akan berkurang lebih dari 500 posisi dari tahun 2022 hingga 2023, dari 24.428 menjadi 23.895.

Fed trimsFoto: Fed trims its staffing plans
Source: The Fed charted by Reuters

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation