
Harga Minyak Menuju US$ 100, Ancaman Ini Makin Mendekat ke RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak pada perdagangan Selasa (19/9/2023) mencapai level tertingginya dalam 10 bulan, dimana minyak WTI menyentuh level tertinggi US$93,74 dan minyak brent menyentuh level tertinggi US$95,96 tertinggi sejak November 2022.
Harga minyak memang melandai kembali pada hari ini. Namun, harga emas hitam masih rawan dengan kenaikan terutama dengan adanya kemungkinan kelompok OPEC+ memangkas produksi ke depan serta berkurangnya pasokan minyak di Amerika Serikat (AS).
Jauh sebelum minyak menyentuh level US$90 per barel, Goldman Sachs sudah memprediksinya sejak awal tahun 2023. Goldman Sachs adalah bank investasi multinasional dan perusahaan jasa keuangan Amerika.
Minyak akan naik kembali di atas US$100 per barel tahun ini dan mungkin menghadapi masalah pasokan yang serius pada tahun 2024 karena kapasitas produksi cadangan akan habis, menurut Goldman Sachs Group Inc.
Dengan sanksi yang kemungkinan akan menyebabkan ekspor minyak Rusia turun dan permintaan Tiongkok diperkirakan akan pulih ketika negara tersebut mengakhiri kebijakan Nol Covid-19, harga akan naik di atas US$100, menurut Goldman Sachs Group Inc.
Kurangnya pengeluaran industri untuk produksi yang diperlukan untuk memenuhi permintaan juga akan menjadi pendorong kenaikan harga, dan kurangnya kapasitas ini mungkin menjadi masalah besar pada tahun 2024, ungkap analis Jeff Currie saat konferensi di Riyadh, Arab Saudi.
Harga minyak telah mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir, anjlok di bawah US$20 selama pandemi virus corona sebelum melonjak mendekati US$130 setelah invasi Rusia ke Ukraina mengganggu pasokan yang sudah tidak mampu memenuhi permintaan global. Biaya bahan bakar transportasi bahkan naik lebih tinggi karena kilang-kilang sudah memaksimalkan kapasitasnya, sebelum kembali turun karena negara-negara berupaya mencari alternatif lain.
Bos Chevron pun ikut buka suara mengenai lonjakan harga minyak saat ini.
CEO Chevron Corporation, Mike Wirth mengatakan kepada Bloomberg, sepertinya harga minyak akan segera melampaui angka US$100 untuk pertama kalinya sejak Juli tahun lalu.
Pasokan semakin menipis, persediaan semakin berkurang, trennya menunjukkan bahwa kita pasti sedang menuju ke arah yang benar, kita semakin dekat, imbuh Mike.
Menyusul pengurangan produksi berkelanjutan oleh negara-negara OPEC+ tahun ini, termasuk Arab Saudi, West Texas Intermediate (WTI) dan harga Minyak Mentah Brent terus meningkat sejak akhir Juni 2023.
Analis pasar OANDA Craig Erlam juga menjelaskan bahwa pengurangan produksi oleh OPEC+, yang menyumbang 40% dari pasokan global, kini berdampak signifikan pada harga.
Hal ini harus memaksa pemikiran ulang dalam beberapa bulan mendatang, tambahnya, mengingat tindakan tersebut kini berdampak pada inflasi harga.
Selain pengurangan produksi oleh OPEC+, ada hal baru lainnya yang dapat menunjang kenaikan harga minyak. Pemerintah Rusia sedang mempertimbangkan untuk mengenakan bea ekspor pada semua jenis produk minyak sebesar US$250 per metrik ton, jauh lebih tinggi dari biaya saat ini, mulai 1 Oktober hingga Juni 2024 untuk mengatasi kekurangan bahan bakar.
Produksi Minyak
![]() |
Produksi Minyak Mentah Arab Saudi turun menjadi 8.918 BBL/D/1K di bulan Agustus dari 9.013 BBL/D/1K di bulan Juli 2023.
![]() |
Produksi Minyak Mentah di Rusia turun menjadi 9.323 BBL/D/1K di bulan Mei dari 10.077 BBL/D/1K di bulan April 2023.
Harga Minyak Lain Melambung
Harga langsung minyak mentah Nigeria Qua Iboe melampaui US$100 per barel pada hari Senin kemarin, menurut data LSEG. Minyak mentah Tapis Malaysia mencapai US$101,30 minggu lalu, ucap Bjarne Schieldrop, analis di bank Swedia SEB, dalam sebuah laporan.
Minyak telah naik ke level tertinggi pada 2023 karena investor fokus pada prospek defisit pasokan pada kuartal keempat setelah Arab Saudi dan Rusia memperpanjang pengurangan pasokan. Keduanya adalah produsen terbesar di kelompok OPEC+, yang sebagian besar anggotanya juga membatasi produksi.
Qua Iboe, dan beberapa harga minyak mentah lainnya terhadap Brent, sudah berada di atas US$100 per barel karena didasarkan pada harga Brent ditambah selisih tunai atau premium, yang saat ini dinilai oleh LSEG sekitar US$4,25 per barel.
Harga Minyak Tinggi, RI Makin Pening
Lonjakan harga minyak pada tahun ini tentu saja menjadi kabar baik dan buruk bagi Indonesia. Di satu sisi, penerimaan negara bisa naik karena harga minyak yang menguat.
Namun, di sisi laiin, harga minyak bisa membuat Indonesia rugi dua kali yakni inflasi yang melambung serta membengkaknya beban subsidi.
Dalam buku Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023 disebutkan jika setiap kenaikan harga minyak Indonesia (ICP)US$1 per barel maka pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan sekitar Rp 3,3 triliun rupiah. Namun, di sisi lain, belanja pemerintah akan membengkak menjadi Rp 9,2 triliun. Artinya, ada defisit sekitar Rp 5,8 triliun.
,
Dalam APBN 2023, rata-rata harga ICP ditetapkan sebesar US$ 90 per barel. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, rata-rata harga ICP per Agustus sudah mencapai US$ 76,14 per barel.
Indonesia memang telah menjadi net importir alias pengimpor minyak maupun produk minyak (BBM) selama lebih dari satu dekade. Bahkan, impor minyak terus membubung setiap tahunnya.
Selama 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor minyak mentah RI tercatat mencapai 15,26 juta ton, melonjak 11% dibandingkan impor minyak mentah pada 2021 yang tercatat sebesar 13,78 juta ton.
Begitu pun dari sisi nilai, impor minyak mentah pada 2022 disebutkan mencapai US$ 11,45 miliar atau sekitar Rp 171,7 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$), melonjak 62% dibandingkan nilai impor pada 2021 yang sebesar US$ 7,05 miliar atau sekitar Rp 105,7 triliun.
Tingginya harga minyak dunia perlu diantisipasi sebab jika konsumsi meningkat didukung dengan mobilitas yang membaik, maka beban APBN untuk subsidi BBM juga akan kembali meningkat.
Belajar pada tahun sebelumnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, Pemerintah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi menjadi tiga kali lipat. Dalam hal ini, kenaikan subsidi untuk BBM dan LPG dari Rp77,5 triliun ke Rp149,4 triliun, serta untuk listrik dari Rp56,5 triliun naik ke Rp59,6 triliun.
Kemudian, kompensasi untuk BBM dari Rp18,5 triliun menjadi Rp252,5 triliun dan kompensasi untuk listrik dari semula Rp0 menjadi Rp41 triliun.
Total subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG, dan listrik itu mencapai Rp551 triliun pada 2022. Angka tersebut dihitung berdasarkan dari rata-rata ICP yang bisa mencapai US$105/barel dengan kurs Rp14.700/US$, serta volume Pertalite yang diperkirakan akan mencapai 29 juta kilo liter dan volume Solar bersubsidi yaitu 17,44 juta kilo liter.
Anggaran subsidi sendiri ditetapkan dengan menghitung ICP, kurs rupiah, serta volume. ICP pada tahun ini ditetapkan sebesar US$ 90 per barel sementara nilai tukar di angka Rp 14.800/US$1.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)
