
Eropa Selidiki EV China, Mobil Listrik RI Bisa Kena Juga?

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri kendaraan listrik (EV) menjadi primadona seluruh dunia, mengingat komitmen dunia untuk bebas emisi pada 2050 melalui Paris Agreement. Industri yang semakin memanas menimbulkan kompetisi antar negara mengambil peluang tersebut untuk memenuhi tingginya permintaan, sampai-sampai Eropa menginvestigasi terkait kebijakan anti-subsidi. Pertanyaannya adalah, "Mungkinkah industri EV Indonesia akan mengalami persoalan serupa?"
Kabar terbaru menunjukkan bahwa Komisi Uni Eropa akan menyelidiki potensi penerapan kebijakan pengetatan kendaraan listrik dari China melalui anti-subsidi pada Rabu (13/9/2023).
Von der Leyen, Presiden Komisi Eropa menyatakan dalam pidato tahunannya di Strasbourg, Perancis "Eropa terbuka untuk persaingan tetapi tidak untuk perlombaan kebijakan deregulasi [anti-subsidi]."
Pernyataan fenomenal ini menandai kembali adanya benturan kepentingan antara Uni Eropa (UE) dan China. Sebelumnya, AS dan Eropa juga telah sepakat sejak Mei untuk mengurangi ketergantungan mereka pada Beijing - dibandingkan memutuskan hubungan sepenuhnya.
Keputusan tersebut didasari oleh pertimbangan Eropa yang dibanjiri kendaraan listrik dari China akibat harganya yang murah akibat besarnya subsidi.
Menghadapi tantangan ini, CEO Volkswagen, Oliver Blume mengatakan perusahaannya telah menetapkan strategi baru untuk memenuhi pasar Tiongkok tahun ini dengan berfokus pada pengembangan teknologi.
![]() Penjualan EV berdasarkan produsen manufaktur 2022 |
Melansir EV Volumes, Raja kendaraan listrik dengan ragam baterai (BEV) dan hybrid (PHEV) masih dikuasai oleh BYD yang berkantor pusat di China.
BYD tercatat mengalami lonjakan penjualan signifikan sebesar 211% pada 2022. Sedangkan, tipe BEV dikuasai oleh Tesla yang berbasis di Amerika Serikat. VW berada di peringkat ketiga untuk penjualan tipe BEV dan PHEV dan posisi ke-4 adalah Wuling yang terpusat di China.
Prestasi Kendaraan Listrik Indonesia
Indonesia turut berperan dalam pengembangan industri kendaraan listrik, baik dari hulu hingga hilir. Baru-baru ini, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) meluncurkan ekspor perdana Toyota Innova Zenix berbasis kendaraan listrik hybrid buatan Indonesia, sebagai capaian yang bersejarah pada sekitar kuartal I-2023.
Innova Zenix ini tahap pertama akan diekspor ke Timur Tengah dan Amerika Selatan. Di 2023, TMMIN menargetkan ekspor Kijang Innova Zenix sebanyak lebih dari 8.000 unit dengan komposisi 30% tipe HEV dan 70% tipe internal combustion engine (ICE) ke negara-negara di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Diharapkan, ekspor Innova Zenix ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan target 17,000 unit di 2025 untuk tipe hybrid dan konvensional.
Pada semester-I 2023, ekspor mobil RI naik 25,1% dibandingkan tahun lalu. Tercatat ekspor CBU mencapai 248.004 unit atau kenaikan hampir 50 ribu unit pada periode Januari-Juni.
Dari angka tersebut, Toyota menjual 139.581 unit kendaraan atau lebih dari setengah total ekspor mobil RI. Termasuk di dalamnya kendaraan elektrifikasi Hybrid Electric Vehicle (HEV) Kijang Innova Zenix dan Yaris Cross. Angka ini melampaui kinerja ekspor Toyota pada periode yang sama di tahun sebelumnya (Januari - Juni 2022) sebesar 2,6% yaitu di angka 136.045 unit.
Hal ini menjadi kesempatan untuk Indonesia dapat menjadi produsen kendaraan listrik independen dan pemasok kendaraan listrik di beberapa negara. CNBC Indonesia mencatat terdapat beberapa insentif kendaraan listrik,
- tax holiday hingga 20 tahun sesuai dengan nilai investasinya
- super tax deduction hingga 300% untuk biaya penelitian tenaga listrik baterai.
- PPN dibebaskan atas barang tambang, termasuk bijih nikel
- PPN dibebaskan atas impor dan perolehan barang modal berupa mesin dan bahan pabrik untuk kendaraan bermotor
- PPnBM untuk mobil listrik dalam negeri, termasuk program Kemenperin, dengan tarif 0% dibandingkan kendaraan lainnya 5% - 15%.
- bea masuk 0% MKD melalui beberapa kerja sama FTE dan CEPA, termasuk Korea Selatan dan China.
- biaya balik nama dan pajak kendaraan bermotor sebesar 90%.
Potensi Tantangan Serupa Industri EV Indonesia dari Thailand
Namun, produk kendaraan listrik dalam negeri ini berpotensi terancam dengan adanya persaingan dengan Thailand yang memiliki kebijakan insentif lebih besar sehingga menghasilkan penjualan jumbo.
Data IESR menunjukkan bahwa insentif pada mobil listrik Indonesia masih lebih murah dibanding Singapore, India, dan Thailand.
Investigasi Eropa terhadap mobil buatan China bisa membuat Thailand melakukan hal yang sama kepada produk mobil listrik Indonesia. Mereka bisa saja mempermasalahkan besaran insentif pajak pemerintah Indonesia yang diberikan kepada pabrikan Indonesia sehingga harga mobilnya bisa murah.
Insentif mobil listrik Thailand yang lebih tinggi dan perbedaan harga yang cukup signifikan dengan kendaraan listrik di Indonesia juga sempat menjadi perbincangan panas. Melansir CNN Indonesia, mobil listrik Wuling Air EV tercatat lebih murah di Thailand dibandingkan Indonesia. Padahal, kendaraan tersebut merupakan buatan Indonesia.
Hal ini ditanggapi oleh Direktur Pemasaran SGMW Motor Indonesia dikutip dari CNN Indonesia yang menyatakan perbedaan harga disebabkan perbedaan skema pajak dan insentif antara Indonesia dan Thailand. Besarnya insentif Thailand menjadikan negara ini mendominasi adopsi kendaraan listrik dari China.
Melansir Counterpoint Research, Thailand tercatat menjadi pengadopsi kendaraan listrik tipe BEV terbesar di Asia Tenggara (SEA) dengan penjualan berkontribusi melebihi 75% dari keseluruhan di kawasan ini.
Besarnya pasar Thailand dengan tingkat adopsi yang tinggi serta dukungan penuh pemerintah melalui insentif berpotensi mendatangkan investasi pabrik kendaraan listrik ke Thailand untuk dapat memproduksi secara lokal.
Melansir Bangkok Post, produsen kendaraan listrik China telah berkomitmen untuk investasi setidaknya US$ 1,44 miliar atau setara Rp22,1 triliun (kurs: Rp15.380/US$) untuk fasilitas produksi di Thailand.
Persoalan ini berpotensi menyebabkan investasi asing pada sektor kendaraan listrik akan lebih terpenetrasi ke Thailand dibanding Indonesia. Tidak hanya itu, tindakan Eropa juga memiliki kemungkinan juga di terapkan Thailand dengan menghilangkan insentif produk kendaraan listrik dari Indonesia.
Alhasil, produk ekspor kendaraan listrik Indonesia menjadi lebih mahal, sehingga tidak terserap ke Thailand yang sudah mampu memproduksi sendiri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)