
Jerman: Raksasa Eropa yang Kini Jadi Pesakitan

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Jerman dalam masalah. Motor ekonomi Eropa tersebut sedang macet bahkan disebut sebagai pesakitan.
Kini Jerman dipandang kurang dapat diandalkan dibandingkan sebelumnya. Negara yang beribukota di Berlin tersebut dipandang sebagai mitra yang kurang dapat diandalkan oleh Eropa dan Amerika Serikat dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam dua tahun terakhir, perekonomian Jerman seperti kehabisan tenaga. Pandemi Covid-19 serta puncaknya perang Rusia-Ukraina pada 2022 membawa Bavaria ke dalam masalah besar.
Perang membuat Jerman kehilangan salah satu pemasok energi terbesarnya, baik gas dan batu bara. Persoalan tersebut membuat negara yang kini dipimpin oleh Olaf Scholz tersebut pun berjuang dengan inflasi tinggi karena lonjakan harga bahan bakar.
Inflasi Jerman kemudian melambung 8% lebih pada kuartal II-2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Pada akhir 2022, perekonomian Jerman memasuki resesi dan diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga musim semi 2023 dan mungkin akan terus berlanjut. Gambaran jangka panjangnya lebih buruk di mana Jerman diprediksi akan menjadi satu-satunya anggota Uni Eropa yang perekonomiannya belum sepenuhnya pulih ke tingkat sebelum pandemi.
Faktanya, Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman mengalami stagnasi sejak 2019. Manufaktur Jerman adalah masalah utama dari melambatnya yakni output industri berada di bawah tingkat sebelum pandemi sebesar sekitar 5%. Manufaktur Jerman sangat mengandalkan sektor otomotif, mesin, kapal laut, kimia, alat kedokteran, dan pesawat untuk menggerakan ekonomi.
![]() |
Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman bernilai US$ 4,07 triliun pada 2022, menurut data resmi Bank Dunia. Nilai PDB Jerman mewakili 1,81% perekonomian dunia.
Komisi Eropa Memangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jerman
Komisi Uni Eropa memperkirakan ekonomi Jerman akan mengalami kontraksi 0,4% pada 2023. Komisi Uni Eropa juga memangkas pertumbuhan Jerman hanya mencapai 1,1% pada 2024, dari 1,4% pada proyeksi sebelumnya.
Perekonomian Jerman mengalami kesulitan setelah invasi Rusia ke Ukraina, dan Berlin harus segera mengakhiri ketergantungan energi pada Kremlin selama bertahun-tahun. Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada Juli bahwa Jerman kemungkinan akan mengalami kontraksi sebesar 0,3% tahun ini.
Ekonom bahkan menyebut Jerman yang selama ini menjadi kekuatan ekonomi tradisional tersebut sebagai "orang sakit di Eropa." Konsep ini diciptakan pada tahun 1998 ketika Jerman menghadapi tantangan ekonomi. Kekhawatiran tersebut kini muncul kembali ketika Berlin mencatatkan penurunan tajam dalam produksi.
Aktivitas manufaktur di Jerman mengalami penurunan sejak awal 2023, namun periode Agustus 2023 kemarin mengalami sedikit kenaikan dibandingkan periode Juli 2023.
![]() |
Berdasarkan data dari SP Global bahwa PMI Manufaktur Flash Jerman HCOB tercatat sebesar 39,1 pada Agustus, naik sedikit dari Juli sebesar 38,8. Kenaikan indeks terutama didorong oleh waktu pengiriman pemasok dan stok komponen pembelian.
PMI Manufaktur Flash Jerman HCOB merupakan ukuran kondisi bisnis manufaktur secara keseluruhan berdasarkan pesanan baru yang masuk, output, lapangan kerja, waktu pengiriman pemasok dan stok.
Sedangkan, Indeks Output PMI Komposit HCOB Flash Jerman tetap berada pada jalur menurun pada Agustus 2023, turun selama empat bulan berturut-turut. Turun dari 48,5 ke 44,7 pada Juli, indeks bergerak lebih dalam ke zona kontraksi di bawah 50 ke level terendah sejak Mei 2020.
Situasi Jerman saat ini sangat berbeda dengan krisis tahun 1995-2004. Pertama, Jerman memiliki rekor lapangan kerja yang tinggi, permintaan tenaga kerja yang tinggi, dan posisi fiskal yang paling nyaman di antara semua negara maju. Hal ini membuatnya lebih mudah untuk menyesuaikan diri terhadap guncangan.
Selain itu, harga energi yang tinggi bukan satu-satunya hambatan terhadap perekonomian Jerman, dan juga bukan hal baru. Harga listrik di Jerman telah jauh di atas rata-rata Eropa selama setidaknya satu dekade.
Alasan mengapa Jerman tidak lagi menjadi mesin pertumbuhan Eropa tidak semata karena harga energi melainkan karena perubahan situasi di pasar ekspor, tempat berkembangnya negara-negara industri terkemuka di negara tersebut.
Pada tahun 2000an, mantan Kanselir Gerhard Schröder memangkas tunjangan pengangguran dan menciptakan sektor berupah rendah untuk membantu eksportir Jerman meningkatkan pangsa pasar mereka di seluruh Eropa.
Sejak itu, banyak negara Eropa lainnya, termasuk Prancis dan Italia, telah melakukan reformasi untuk memangkas biaya tenaga kerja. Jerman menghadapi persaingan yang lebih ketat di pasar ekspor terbesarnya dan mengalami defisit perdagangan barang dengan anggota Uni Eropa lainnya sejak 2020.
Di luar Uni Eropa, barang-barang "buatan Jerman" kesulitan mendapatkan klien baru. Ekspor ke Tiongkok cenderung datar sejak pertengahan 2015 dan bahkan mungkin mulai menurun, seiring dengan pernyataan Presiden Xi Jinping yang menegaskan bahwa ia ingin menjadikan negaranya tidak terlalu bergantung pada industri Eropa.
![]() |
Ekspor mobil Jerman ke Tiongkok turun 24% dalam tiga bulan pertama 2023 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022.
Total Ekspor Jerman ke Tiongkok tercatat sebesar US$9.472 miliar pada Juni 2023, dibandingkan dengan US$9.471 miliar pada bulan Mei 2023. Data Total Ekspor Jerman ke Tiongkok diperbarui bulanan, dengan nilai rata-rata sebesar US$6.520 miliar.
Data ini mencapai angka tertinggi sebesar US$12.280 miliar pada Maret 2021 dan rekor terendah sebesar US$547.438 juta pada Januari 2000.
AS adalah pasar Jerman terbesar kedua setelah Uni Eropa, menyumbang 8,9% dari ekspor Jerman. Namun, Washington menjadi lebih proteksionis di bawah kepemimpinan Joe Biden yang membuat Jerman kesulitan. Undang-Undang Inflation Reduction Act, misalnya, mencakup subsidi pembelian kendaraan listrik yang terutama menguntungkan pembeli mobil yang diproduksi di Amerika Utara. Mobil produksi Jerman pun mendapat pesaing besar.
Jerman kini sedang berlomba memproduksi mobil listrik dan mendirikan pabrik baterai yang diperlukan untuk menggerakkan mobil tersebut.
Krisis energi telah mendorong negara-negara tersebut untuk bergerak lebih ramah lingkungan. Dan tentu saja, berada di UE merupakan sebuah keuntungan nyata. Hal ini membantu Jerman memenuhi tuntutan Tiongkok dan sikap keras kepala Amerika, membantu mengembangkan strategi industri pan-Eropa dan tentu saja menyediakan pasar terbesar bagi negara tersebut sejauh ini.
(saw/saw)