
Awas! Saham Ini Bakal Boncos Jika Rupiah Terus Merana

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah masih terus melemah dan kini kembali ke kisaran Rp 15.300-an terhadap dolar Amerika Serikat (AS), di mana pada level ini terakhir pada pertengahan hingga akhir Agustus lalu.
Merujuk data dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,20% terhadap dolar AS di angka Rp 15.320/US$ pada perdagangan Kamis (7/9/2023) kemarin. Posisi ini melanjutkan tren pelemahannya sejak 1 September 2023 dan menjadi yang terlemah sejak 21 Agustus 2023.
Dalam sepekan terakhir, rupiah melemah 0,36%. Padahal pekan lalu, rupiah berhasil bangkit dan menguat 0,36% di hadapan The Greenback.
Sedangkan dalam sebulan terakhir, rupiah juga terkoreksi 0,43% di hadapan The Greenback. Adapun sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD), rupiah tercatat masih melesat 1,61%.
Koreksi rupiah kemarin terjadi setelah data cadangan devisa (cadev) dirilis. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa RI periode Agustus mencapai US$137,1 miliar. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2023 sebesar US$137,7 miliar.
"Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam siaran pers, Kamis (7/9/2023).
BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dibuktikan dengan setaranya cadev Indonesia dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Pelemahan ini memberikan dampak negatif terhadap rupiah karena kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan semakin berkurang dengan menurunnya angka cadev.
Sedangkan dari eksternal, terdapat sentimen positif maupun negatif yang berasal dari China dan AS.
Dari China, sebagai negara dengan tujuan ekspor terbesar Indonesia, tercatat angka ekspor dan impor mengalami kenaikan dibandingkan periode sebelumnya yakni masing-masing bernilai -8,8% (year-on-year/yoy) dan -7,3% yoy.
Di tengah kontraksi yang terjadi di China, namun hal ini cukup memberikan kabar baik mengingat angka tersebut di atas dari konsensus pasar.
Sedangkan dari AS, data rilis ekonomi AS yakni ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
Selain itu ISM Services Prices juga naik menjadi 58,9 pada Agustus dari 56,8 pada Juli. Artinya, ongkos biaya pada Agustus meningkat cukup signifikan.
Data ISM Service yang masih kencang bisa menjadi kabar buruk bagi pasar Indonesia. Dengan ekonomi AS yang masih kencang dan ekspektasi kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang hawkish maka investor asing bisa meninggalkan pasar keuangan Tanah Air sehingga menciptakan capital outflow, terutama di pasar mata uang dan SBN.
ISM Services yang menguat juga menandai ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan.
Kondisi ini membuat pelaku pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan sikap hawkishnya.
Namun, alasan utama rupiah masih terpuruk karena The Greenback, alias dolar AS masih cukup kuat. Indeks dolar DXY, yang mengukur mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama lainnya seperti euro, krona Swedia, franc Swiss, pound Inggris, dolar Kanada, dan yen Jepang kembali menguat 0,11% ke posisi 104,97 per pukul 23:19 WIB Kamis kemarin.
Dalam sepekan terakhir saja, indeks DXY masih melesat 1,3%.
Ketika dolar AS sedang perkasa, maka rupiah menjadi korbannya, sehingga rupiah pun kembali merana, meski ada sentimen cenderung positif dari dalam negeri sekalipun.
Rupiah Terus Melemah, Lalu Saham Apa yang Terdampak?
Pelemahan rupiah sejatinya juga menjadi sentimen negatif bagi pasar saham karena sangat mempengaruhi berbagai bisnis yang berhubungan dengan impor. Tekanan nilai tukar rupiah ini pun dinilai dapat menekan kinerja keuangan perusahaan.
Ada beberapa sektor atau emiten yang bakal terdampak dari masih lesunya rupiah.
Pertama yakni emiten farmasi. Emiten ini dinilai menjadi salah satu sektor yang paling rentan di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelemahan kurs rupiah akan begitu sensitif bagi emiten farmasi di mana lebih dari 50% bahan bakunya masih bergantung pada impor.
Mayoritas saham sektor farmasi kurang bergairah dan kurang likuid, oleh sebab itu mesti cermat dalam memilih saham-saham farmasi.
Meski begitu, emiten farmasi seharusnya cenderung positif, karena ditopang oleh sentimen dari polusi udara yang hingga saat ini masih menjadi topik pembahasan di publik.
Hal ini karena permintaan akan obat-obatan, terutama terkait dengan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) cenderung tinggi akibat polusi udara.
Kemudian yang kedua, emiten konsumer juga cukup sensitif dengan pergerakan nilai tukar. Porsi impor yang cukup besar menjadi beban perusahaan tersebut, apalagi gejolak di global hingga saat ini masih belum mereda.
Namun, beberapa emiten konsumer sepertinya tidak terlalu terdampak dari depresiasi rupiah, karena hal ini ditopang oleh ekspor yang cukup besar, sehingga risiko dari turunnya rupiah dapat direndam.
Contohnya saja PT Mayora Indah Tbk (MYOR), yang penjualan ekspornya cukup besar, sehingga beban biaya dalam dolar AS yang dikeluarkan bisa di offset-kan dengan pendapatan dolar AS yang dihasilkan.
Selain itu, emiten konsumer sejatinya juga cenderung positif pada tahun ini, mengingat secara historis, saham-saham konsumer cenderung menghijau ketika masa kampanye Pemilu dimulai.
Ketiga, emiten yang bergerak pada sektor bahan baku produsen besi dan baja juga akan terancam terkena dampak saat rupiah melemah.
Kokohnya baja tak menyebabkan para emitennya ikut kebal dari perlambatan ekonomi. Nilai tukar rupiah yang bergejolak belakangan ini turut menjebol kinerja emiten tersebut.
Terakhir, selain emiten yang berhubungan dengan impor, nilai kurs Rupiah yang terus bergerak melemah tentu menjadi sentimen negatif bagi para emiten yang memiliki eksposure besar terhadap nilai tukar.
Apalagi, emiten memiliki utang yang didominasi oleh mata uang dolar AS karena secara otomatis nilai pokok dan bunganya akan meningkat.
Untuk kriteria ini, ada tiga saham, yakni PT Erajaya Swasembada (ERAA), PT Mitra Adiperkasa (MAPI) dan PT Ace Hardware (ACES). Masalah yang dihadapi ketiga perusahaan ini hampir sama, kurang diuntungkan saat nilai tukar terdepreasiasi karena porsi impor yang cukup besar.
Ketiga emiten ini juga tidak memiliki banyak ruang untuk memotong opex (karena tingkat variable opex/revenue yg relatif kecil), kemampuan perusahan untuk menaikkan harga cukup terbatas, sehingga akan berpengaruh terhadap permintaan (jika harga dinaikan terlalu tinggi) atau margin perusahaan bila rupiah terus terdepresiasi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/ras)