
Pak Jokowi! Dolar Eksportir Sudah Pulang, Cadev RI Kok Turun?

- Cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan menjadi US$137,1 miliar
- Cadev Indonesia menurun akibat membayar Utang Luar Negeri dan menjaga kestabilan rupiah
- Bank Indonesia memastikan akan memberi imbal hasil yang menarik agar DHE berjalan dengan maksimal dan cadev meningkat
Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia turun pada Agustus 2023 dibandingkan periode sebelumnya di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) serta ekspor dalam beberapa bulan terakhir. Namun, masih banyaknya devisa hasil ekspor (DHE)
Dilansir dari Bank Indonesia (BI), posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2023 tercatat US$137,1 miliar, turun dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2023 sebesar US$137,7 miliar.
BI mengatakan bahwa penurunan cadev terjadi akibat pembayaran Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Melihat data BI, pembayaran ULM sebenarnya terus berkurang dalam beberapa bulan terakhir.
Posisi ULN pemerintah pada akhir kuartal-II 2023 tercatat sebesar US$192,5 miliar, turun dibandingkan dengan posisi kuartal sebelumnya sebesar US$194,0 miliar, atau secara tahunan tumbuh 2,8% (year on year/yoy). Penurunan posisi ULN pemerintah secara kuartalan disebabkan oleh pembayaran neto pinjaman luar negeri dan global bond yang jatuh tempo.
Alhasil posisi ULN Indonesia pada akhir kuartal-II 2023 pun turun menjadi sebesar US$396,3 miliar, dari posisi pada kuartal-I 2023 sebesar US$403,2 miliar.
Dengan perkembangan tersebut, ULN Indonesia secara tahunan mengalami kontraksi 1,4% (year on year/yoy). Koreksi ini melanjutkan kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 1,9% (yoy). Kontraksi ULN ini terutama bersumber dari penurunan ULN sektor swasta.
Tren penurunan ULN Indonesia ini terjadi secara berturut-turut sejak April 2023 yang sempat menyentuh US$403,46 miliar dan pada Mei 2023 tercatat kembali menurun menjadi US$398,97 miliar. Hingga akhirnya data terakhir menunjukkan angka ULN Indonesia di posisi US$396,26 miliar.
Rupiah Ambruk, Cadev Tergerus
BI juga menjelaskan jika penurunan cadev salah satunya untuk melakukan operasi moneter. Mata uang Garuda memang sangat tertekan sejak akhir Juli hingga September. Merujuk data Refinitiv, rupiah ambruk sejak Mei 2023 dalam empat bulan terakhir, termasuk dengan melemah sebesar 1% pada Agustus.
Di sisi lain, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun juga terus meningkat dari 6,25% pada Juni menjadi 6,38% pada Agustus hingga 6,56% pada September.
Kenaikan imbal hasil menunjukkan anjloknya harga SBN karena investor melepas SBN. Kepemilikan SBN oleh investor asing bahkan turun tajam dari 15,56% per Juli 2023 menjadi 15,37% per Agustus 2023.
BI pun harus melakukan operasi gandanya atau double intervention yakni menjaga rupiah sementara harus juga menjaga imbal hasil SBN dengan membelinya di pasar sekunder. Cdev pun ikut terkuras.
Ekspor Melemah Jadi Biang Keladi Cadev Turun?
Ekspor Indonesia bergerak dalam tren penurunan sejak awal 2023. Secara month to month (mtm), ekspor hanya naik pada Januari, Maret, dan Mei dan selebihnya turun.
Secara tahunan, pertumbuhan ekspor juga jauh lebih kecil karena melemahnya harga komoditas dan melambatnya ekonomi mitra dagang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor pada Januari-Juli 2023 sebesar US$ 21,38 miliar, turun 10,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dengan melemahnya ekspor maka penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) pun berkurang.
Aturan DHE Cukup efektif Bawa Pulang Dolar?
Jika melihat data BPS dan BI, kenaikan atau pelemahan ekspor sebenarnya sering tidak sejalan dengan cadev. Sebagai perbandingan, cadev pada Desember 2022 tercatat US$ 137,2 miliar.
Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 miliar maka pada 2022 cadev sudah terkuras US$ 7,7 miliar. Padahal, surplus neraca perdagangan pada 2022 menembus rekor US$ 54,46 miliar.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan periode 2019. Posisi cadev per Desember 2019 mencapai US$ 129,18 miliar atau naik US$ 8,48 miliar sepanjang tahun tersebut. Padahal, neraca perdagangan pada 2019 tercatat defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
Pergerakan cadev dan DHE yang tak sejalan disinyalir karena banyaknya DHE yang diparkir di luar negeri. Pemerintah sebenarnya sudah merevisi aturan DHE melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam dijamin tidak akan merugikan pengusaha.
Dalam aturan tersebut ada kewajiban eksportir untuk menahan DHE selama tiga bulan dengan jumlah minimum US5 250.000. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan rupiah dapat menguat terhadap dolar AS bahkan menuju level optimis di 2024 jika salah satunya yakni DHE bisa 100% terlaksana dengan baik.
Perry mengatakan bahwa DHE SDA sekitar US$9 miliar per bulan mulai Desember jadi setahun 9x12 bulan itu sekitar US$108 miliar, jika semua sukses terlaksana. Maka dari itu, penguatan terhadap nilai tukar rupiah dapat terjadi.
Hingga saat ini terdapat sekitar 64 eksportir yang sudah memarkir dolarnya ke sistem keuangan Indonesia melalui instrumen Term Deposit Valuta Asing atau TD Valas.
Adapun, nilai dolar hasil ekspor yang diparkirkan itu telah bertambah US$ 605 juta meskipun hal ini belum cukup efektif. Menurutnya, ini merupakan bagian dari kepatuhan para eksportir terhadap ketentuan penempatan DHE sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023.
Untuk semakin menarik DHE, Perry telah menjamin bunga TD valasnya akan lebih tinggi dari bunga deposito valas dalam negeri yang berkisar 1,75% dan 2,25%
BI pun menjanjikan bunga sekitar 5,51% bagi TD valas US$10 juta yang ditempatkan dalam waktu 3 bulan kepada perbankan. Dalam hal ini, perbankan hanya akan mendapatkan fee saja sebesar 0,125% dan perbankan akan memberikan bunga 5,385%.
Sebagai informasi, pada pertengahan bulan ini (14/8/2023) Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Arief Rachman mengatakan, sejak PP 36/2023 berlaku pada 1 Agustus 2023 sudah masuk sekitar US$444 juta ke instrumen TD Valas dengan total dana yang masuk mayoritas ditempatkan untuk tenor 3 dan 6 bulan.
Namun, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa tidak semua khususnya yang berlaku pada sektor industri sumber daya alam bisa kembali secara utuh ke Indonesia.
Bahlil menyebutkan bahwa DHE yang tersimpan dalam negeri nyatanya tidak bisa kembali secara utuh untuk Indonesia lantaran ada beberapa kewajiban dari pihak pengusaha yang harus membayar pinjaman dan kredit yang didapatkan melalui pihak asing.
Bahlil mengungkapkan bahwa paling banyak DHE yang bisa kembali ke Indonesia sebesar 30%. Hal itupun dikatakan oleh Bahlil bahwa pihak pengusaha pun belum sampai pada titik impas atau break-even point (BEP) dalam 5-6 tahun.
"Yang kembali ke kita palling tinggi 20%-30%. Itupun hanya untuk operasional karena profitnya berapa, 5-6 tahun kan belum terjadi break-even point. Jadi kalau kita mau untuk DHE CO2 nya kembali yang sering dibilang kalau Presiden berikan pidato ekspor nikel US$ 30 billion lebih hampir Rp 510 triliun gak balik ke kita itu bukan tidak kembali karena tidak mau dibawa, 30-40% bisa kembali tapi selebihnya dia harus bayar pokok tambah bunga," jelas Bahlil dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI, Jakarta, dikutip Selasa (5/9/2023).
Jika melihat kondisi saat ini, eksportir sendiri menyimpan DHE di Singapura salah satunya karena suku bunga simpanan valas yang lebih menarik di negara tersebut. Sebagai contoh untuk tenor 1 bulan, DBS menawarkan 5,06-5,16% untuk dolar AS. Sedangkan untuk tenor 12 tercatat imbal hasil yang lebih rendah yakni di kisaran 4,73-5,03%.
Imbal hasil ini jauh lebih besar dibandingkan bank domestik, sebagai contoh Bank Mandiri yang memiliki imbal hasil bahkan kurang dari 2% untuk tenor 1 bulan ataupun 12 bulan. Sedangkan BCA memberikan imbal hasil yang sedikit lebih tinggi dibandingkan Bank Mandiri yakni dikisaran 1,75-2,25% untuk tenor 1 bulan maupun 12 bulan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)