Kiamat Baru Muncul, Korbannya Negara Kaya AS-Jepang

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor properti menjadi yang paling lemah setelah recovery dari Covid-19. Sepanjang tahun 2023 permintaan properti makin menurun, hal ini terjadi di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, hingga Jepang.
Penjualan rumah di AS turun 2,2% dari bulan sebelumnya ke tingkat tahunan yang disesuaikan secara musiman sebesar 4,07 juta unit pada periode Juli 2023, tingkat terendah sejak Januari dan di bawah ekspektasi pasar sebesar 4,15 juta unit.
Suku bunga hipotek yang lebih tinggi dan persediaan rumah terbatas terus menjadi faktor utama dibalik penurunan penjualan rumah di Negeri Paman Sam. Penjualan rumah keluarga tunggal menurun sebesar 1,9% menjadi 3,65 juta, dan penjualan kondominium dan koperasi merosot 4,5% menjadi 0,42 juta. Penjualan melemah di Timur Laut, Barat Tengah, dan Selatan, namun tumbuh di Barat.
Dari tahun ke tahun, penjualan merosot 16,6%. Pada saat yang sama, persediaan rumah yang belum terjual meningkat 3,7% dari bulan sebelumnya menjadi 1,11 juta pada akhir bulan Juli, atau setara dengan pasokan 3,3 bulan pada laju penjualan bulanan saat ini, naik dari 3,2 bulan setahun yang lalu.
Dari segi biaya, median harga jual rumah yang sudah ada naik 1,9% dari satu tahun lalu menjadi US$406.700, yang keempat kalinya mencapai US$400.000.
![]() |
Harga rumah telah mencapai titik terendah setelah tertekan oleh kenaikan suku bunga agresif The Federal Reserve, namun kekurangan properti untuk dijual dapat membatasi rebound karena banyak calon pembeli yang terpaksa keluar dari pasar.
Kelangkaan rumah yang ada di pasar telah membantu meningkatkan pembangunan dan penjualan rumah baru dalam beberapa bulan terakhir. Namun, National Association Realtors (NAR) memperkirakan total penjualan kembali pada 2023 akan turun 12,9% dari 2022, sementara total penjualan rumah baru pada 2023 akan meningkat sebesar 12,3%.
INGGRIS
Eropa juga mengalami penurunan permintaan properti. Penjualan rumah di Inggris diperkirakan mencapai titik terendah sejak 2012 seiring anjloknya penjualan hipotek.
Jumlah rumah yang terjual di Inggris pada tahun ini diperkirakan mencapai angka terendah sejak 2012, menurut perusahaan real estate Zoopla dalam indeks harga rumah terbaru yang dirilis pada hari Rabu (30/8/2023).
Laporan tersebut menunjukkan perkiraan penurunan penjualan sebesar 21% yang berlangsung sepanjang 2023, dibandingkan tahun lalu, dengan satu juta transaksi diperkirakan akan selesai pada tahun ini. Jumlah tersebut setara dengan setiap rumah tangga yang berpindah tiap 23 tahun sekali, meningkat enam tahun dari 2021, menurut laporan bulanan Zoopla.
Permintaan rumah dalam empat minggu ke belakang turun 34% dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir, karena suku bunga hipotek yang lebih tinggi dan tekanan biaya hidup membebani pasar.
Penurunan penjualan terjadi karena pertumbuhan harga rumah terhenti, dengan kenaikan kecil sebesar 1,7% dalam 12 bulan hingga Juni, menurut data dari Kantor Statistik Nasional. Rata-rata harga rumah di Inggris adalah £288,000 (US$364,000) pada Juni, yaitu £5,000 lebih mahal dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tetapi £5,000 lebih rendah dari harga tertinggi terbaru pada November 2022.
Menurut direktur eksekutif di Zoopla, Richard Donnell, meskipun harga rumah mengalami sedikit kenaikan, angka penjualan paling terpukul oleh biaya pinjaman yang lebih tinggi.
Bank of England (BoE) menaikkan suku bunga untuk ke 14 kalinya berturut-turut pada 3 Agustus 2023, membawa angka yang mendasari sebagian besar suku bunga pinjaman hipotek ke level tertinggi dalam 15 tahun sebesar 5,25%.
Menurut Zoopla, pembeli sekarang cenderung menunggu sampai prospek suku bunga menjadi lebih baik, meskipun harga properti turun di beberapa wilayah Inggris.
Angka-angka baru yang dirilis oleh Bank of England pada hari Rabu menunjukkan bahwa persetujuan hipotek Inggris turun hampir 10% pada Juli karena calon pembeli merasa pemeriksaan keterjangkauan semakin menantang.
Indeks Harga Rumah untuk Agustus 2023 menunjukkan aktivitas pasar perumahan jauh di bawah tingkat tahun-tahun pandemi, meskipun sejalan dengan 2019.
Dalam 4 minggu terakhir, permintaan dari pembeli 34% lebih rendah dibandingkan rata-rata periode yang sama selama 5 tahun terakhir (2018-2022).
Jumlah penjualan properti yang disepakati turun 20%. Terdapat lebih banyak rumah yang dijual saat ini setelah pasokan yang rendah selama 2 tahun terakhir, yang telah mendukung angka ini sampai taraf tertentu.
![]() |
CHINA
Krisis ekonomi di China belum berakhir, nyatanya penjualan rumah di China juga menghujani krisis properti di negeri tirai bambu tersebut.
Turunnya penjualan rumah baru dan laporan pembatalan penempatan saham oleh pengembang properti terbesar Tiongkok pada hari Selasa kemarin menggaris bawahi betapa parahnya krisis real estate di negara tersebut.
Laporan bahwa Country Garden tiba-tiba membatalkan upayanya untuk mengumpulkan US$300 juta dengan menerbitkan saham baru di Hong Kong bertepatan dengan rilis data pada Senin malam yang menunjukkan penjualan rumah baru oleh 100 pengembang terbesar Tiongkok turun sebesar 33% pada Juli dibandingkan tahun lalu.
Penurunan penjualan rumah baru di Tiongkok merupakan penurunan bulanan paling tajam sejak Juli 2022. Selama tujuh bulan pertama tahun ini, penjualan rumah baru oleh 100 pengembang turun 4,7% dari tahun sebelumnya.
Industri properti Tiongkok yang sangat besar telah lama menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang penting, menyumbang sebesar 30% PDB negara tersebut. Para investor melihat kebangkitan sektor ini sebagai hal yang penting bagi pemulihan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut setelah tiga tahun melakukan isolasi mandiri akibat pandemi virus corona.
Empat kota terbesar di Tiongkok mengatakan mereka akan menerapkan langkah-langkah untuk meningkatkan pasar properti lokal, tanpa mengumumkan kebijakan baru yang spesifik.
Regulator perumahan Shanghai mengatakan pada Senin kemarin (28/8/2023) bahwa pihaknya akan melaksanakan janji para pembuat kebijakan utama. Guangzhou, Shenzhen, dan Beijing juga membuat pernyataan serupa pada akhir pekan.
Masyarakat di Tiongkok semakin enggan untuk membeli rumah baru, karena pembatasan Covid-19 yang sudah tidak ada lagi, turunnya harga rumah, dan meningkatnya pengangguran.
Serangkaian gagal bayar besar-besaran yang dilakukan oleh raksasa properti pada 2021 juga melemahkan kepercayaan terhadap sektor ini dan menyebabkan banyak pembeli rumah membayar apartemen yang tidak pernah mereka terima, sehingga memicu protes.
Akibatnya, industri properti Tiongkok terperosok dalam kemerosotan bersejarah dalam dua tahun terakhir.
Rata-rata harga rumah baru di 70 kota besar di China turun 0,1% tahun-ke-tahun pada Juli 2023 setelah angka yang datar pada Juni di tengah krisis properti yang berkepanjangan dan terhentinya pemulihan ekonomi.
Di antara kota-kota terbesar di China, harga lebih rendah di Shenzhen (-2,8% vs -2,4%) dan Guangzhou (-1,3% vs-0,8%). Sebaliknya, biaya terus meningkat di Beijing (3,5% vs 3,5%), Chongqing (0,5% vs 0,6%), Shanghai (4,5% vs 4,8%), dan Tianjin (0,5% vs 0,2%).
Secara bulanan, harga rumah baru turun 0,2%. Upaya-upaya dari Beijing untuk memperluas dukungan finansial bagi para pengembang dan insentif bagi para pembeli belum mampu memulihkan sektor yang sedang lesu karena belanja konsumen masih lemah.
JEPANG
Berlanjut ke wilayah Asia lainnya, harga properti residensial di Jepang terus meningkat, meskipun permintaan lemah dan proyeksi perlambatan ekonomi. Selama 2022, indeks harga properti residensial nasional naik sebesar 7,5% (3,4% disesuaikan dengan inflasi), percepatan dari kenaikan yoy sebesar 6,3% pada 2021, 3,1% pada tahun 2020, dan 0,6% pada 2019, menurut Land Institute of Japan .
Pertumbuhan harga rumah berlanjut awal tahun ini. Namun terdapat variasi harga yang luas dalam hal lokasi dan tipe properti.
Penjualan tanah menunjukkan hasil yang beragam. Di Tokyo, penjualan tanah turun 10,1% yoy menjadi 2.296 unit pada kuartal pertama 2023, menyusul penurunan tahunan sebesar 20,7% pada tahun lalu, menurut LIJ. Sebaliknya, di Osaka, penjualan tanah meningkat sebesar 9% menjadi 1,567 unit pada periode yang sama, setelah turun sebesar 15,5% sepanjang 2022.
Meskipun demikian, harga tanah perumahan kurang lebih stabil. Selama tahun 2022, indeks harga tanah perumahan perkotaan secara nasional naik sedikit sebesar 0,6%, menyusul sedikit penurunan sebesar 0,2% pada 2021 dan pertumbuhan yang sangat kecil sebesar 0,4% pada tahun 2020 dan 0,6% pada 2019, menurut Japan Real Estate Institute.
Di enam kota besar (Tokyo, Osaka, Yokohama, Nagoya, Kyoto, dan Kobe), harga tanah perumahan naik sebesar 0,7% pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, setelah turun sebesar 0,6% pada tahun 2021.
Untuk lahan perkotaan, kecuali 6 kota besar, harga lahan perumahan naik 0,6% pada tahun lalu, menyusul penurunan tipis sebesar 0,3% pada 2021.
![]() |
Adapun, jumlah total perumahan baru yang resmi di Jepang naik sedikit sebesar 0,6% menjadi 201,723 unit pada kuartal I 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, setelah meningkat sebesar 0,4% dalam setahun penuh pada awal 2022 dan 5% pada 2021, menurut MLIT.
Di wilayah Metropolitan Tokyo, jumlah perumahan baru meningkat hanya 1,2% yoy menjadi 75,067 unit pada kuartal I 2023, mengikuti pertumbuhan tahunan sebesar 2,8% pada 2022 dan 3,4% pada 2021.
Di wilayah Metropolitan Osaka, pembangunan perumahan baru meningkat pesat sebesar 20,7% yoy pada kuartal I 2023, menjadi 31,084 unit, sebuah akselerasi tajam dari kenaikan tahunan sebesar 0,5% pada 2022 dan 3,7% pada 2021.
Di wilayah Metropolitan Nagoya, perumahan baru mulai turun sebesar 13% yoy menjadi 14,907 unit pada kuartal I 2023, menyusul pertumbuhan nol pada tahun lalu dan peningkatan sebesar 7,2% pada 2021.
Di wilayah lain, pembangunan perumahan baru turun 3,3% yoy menjadi 80.665 unit pada kuartal pertama tahun 2023, menyusul penurunan tahunan sebesar 1,5% pada tahun lalu dan peningkatan sebesar 6,4% pada dua tahun lalu.
![]() |
Kemudian terdapat pula masalah populasi di Jepang. Salah satu masalah terbesar Jepang adalah penurunan populasi. Diperkirakan Jepang akan kehilangan sepertiga penduduknya dalam 50 tahun ke depan, dan jumlah penduduknya akan berkurang lebih dari setengahnya dari 126,8 juta pada tahun 2017 menjadi hanya 50,56 juta pada tahun 2115, menurut Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial. Selain itu, sekitar 40% populasi akan berusia di atas 65 tahun pada tahun 2060.
Pada tahun 2022, total populasi negara itu turun menjadi 124,49 juta jiwa, turun 556.000 jiwa dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data pemerintah. Penurunan ini merupakan yang ke 12 berturut-turut.
Populasi yang menyusut telah menghasilkan surplus unit rumah. Ada banyak penampakan rumah-rumah terbengkalai di Tokyo. Diperkirakan terdapat 8,49 juta rumah kosong di negara ini, mewakili hampir 14% dari seluruh tempat tinggal, dan meningkat lebih dari 24% dibandingkan satu dekade lalu, menurut MLIT.
Jumlah rumah terbengkalai diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 20 juta pada tahun 2033.
![]() |
CNBC Indonesia Research