Belum Merdeka, Sudah Satu Dekade Rupiah 'Dikutuk' di Agustus

rev, CNBC Indonesia
31 August 2023 06:25
uang rupiah ini tidak lagi berlaku
Foto: Arie Pratama
  • Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hampir selalu melemah setiap Agustus
  • Pelemahan terparah terjadi pada Agustus 2013 saat taper tantrum
  • Umumnya, pelemahan rupiah terjadi bersamaan dengan perlambatan ekonomi global

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagai bulan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), bulan Agustus seharusnya memberikan kabar baik bagi Indonesia. Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang hampir selalu mengalami pelemahan selama bulan Agustus.

Sejak 2013 hingga 2023, kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hampir selalu terjadi yakni sebanyak 10 kali. Sedangkan penguatan rupiah hanya terjadi satu kali yakni pada 2021 atau satu tahun pasca Covid-19 yang menguat sebesar 1,4%.

Tahun 2013

Pada 2013, kinerja ekonomi global menunjukkan risiko perlambatan pertumbuhan dan ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi. Bahkan Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2013 diperkirakan lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, dari 3,2% menjadi 3,1%. Revisi tersebut terjadi karena realisasi pertumbuhan negara China dan India yang lebih rendah serta harga komoditas yang cenderung menurun.

Sementara itu, ketidakpastian tapering off Quantitative Easing (QE) oleh Bank Sentral AS (The Fed) menyebabkan investor global melakukan reposisi kepemilikannya pada aset keuangan Emerging Market di Asia termasuk Indonesia.

Sebagai informasi, pada awal bulan Juli 2013, membaiknya sektor tenaga kerja AS menguatkan sentimen percepatan tapering off sehingga meningkatkan indikator risiko. Namun, pernyataan  Chairman bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) saat itu yakni Ben Bernanke bahwa perekonomian AS masih membutuhkan kebijakan moneter akomodatif mengoreksi turun faktor risiko di akhir bulan.

Berbagai dinamika ini tergambar pada indikator Credit Default Swap (CDS) obligasi Indonesia yang sempat melonjak tinggi di awal bulan, namun kembali turun di akhir bulan. Tarik ulur pengurangan laju pembelian obligasi oleh The Fed menjadi faktor dominan yang menimbulkan gejolak di pasar keuangan global selama Juli 2013.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Laporan Kementerian Keuangan bertajuk 'Pengaruh Quantitative Easing dan Tapering Off serta Indikator Makroekonomi terhadap Nilai Tukar Rupiah', disimpulkan bahwa kebijakan pengurangan QE yang dikeluarkan oleh The Fed pada 2013, terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.

Sedangkan dari sisi domestik, terjadi perlambatan ekonomi pada kuartal-II 2013 menjadi 5,8% (year on year/yoy) dari yang sebelumnya tercatat 6%. Selain itu, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal-II 2013 mengalami defisit meskipun lebih rendah daripada kuartal sebelumnya. Defisit transaksi berjalan pun masih terjadi bahkan relatif tinggi akibat menurunnya ekspor karena perlambatan ekonomi global dan penurunan tajam harga komoditi global.

Tahun 2015

Perlambatan ekonomi global terutama bersumber dari masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi khususnya China. Selain itu risiko pasar keuangan global juga semakin meningkat, seiring dengan kebijakan Bank Sentral China yang melakukan devaluasi yuan dan mengadopsi sistem nilai tukar yang lebih fleksibel.

Sumber tekanan terutama berasal dari dampak devaluasi yuan oleh Bank Sentral China serta kembali meningkatnya ketidakpastian mengenai rencana kenaikan suku bunga oleh The Fed. Sementara dari sisi domestik, tekanan terhadap Rupiah didorong oleh permintaan terhadap dolar AS, untuk pembayaran utang luar negeri.

Kebijakan devaluasi yuan mendongkrak kinerja ekspor yang terpuruk. Yuan yang lebih lemah memperkuat daya saing barang produksi China di pasar global dan memperkuat perekonomian mereka. Selain itu, devaluasi ini bertujuan untuk menunjukkan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa yuan dapat digunakan sebagai salah satu mata uang cadangan dunia.

Alhasil, kebijakan ini merangsang yuan terus menurun dan juga memberi dampak pada ekonomi global, termasuk di Indonesia. Devaluasi ini mempengaruhi perekonomian Indonesia diindikasikan karena adanya keterkaitan yang kuat antara China dan Indonesia melalui jalur perdagangan dan keuangan.

Riset yang dilakukan Badan Pusat Statistik dan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dalam Jurnal Kementerian Perdagangan (2018) menyimpulkan bahwa devaluasi yuan tersebut secara umum berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari adanya kenaikan inflasi, depresiasi nilai tukar yang disertai penurunan pendapatan nasional Indonesia. Gejolak ini ditransmisi secara signifikan melalui dua jalur, yakni jalur perdagangan dan jalur investasi.

Pada jalur perdagangan, tercatat Indonesia mengalami penurunan ekspor dan peningkatan impor yang disebabkan tingginya harga produk Indonesia dibandingkan produk China karena rupiah terdepresiasi lebih rendah dibandingkan yuan.

Tekanan terhadap rupiah pun datang dari indeks dolar AS yang mengalami penguatan sehingga harga barang impor semakin murah serta semakin rendahnya harga minyak dunia. Hal ini bertujuan pada perbaikan dari sisi konsumsi AS tercermin dari meningkatnya penjualan eceran yang utamanya ditopang oleh penjualan mobil.

Sektor ketenagakerjaan AS pun mengalami

perbaikan yang tergambar dari meningkatnya jumlah lowongan kerja serta terjaganya pertumbuhan gaji riil pada level yang tinggi. Peningkatan kinerja sektor perumahan pun terjadi yang diindikasikan naiknya harga rumah dengan tingkat suku bunga KPR berada dalam level yang rendah.

Tahun 2018

Ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi didorong dengan divergensi pertumbuhan ekonomi dunia yang melebar sehingga mendorong perlambatan pertumbuhan volume perdagangan dunia dan harga komoditas.

Untuk diketahui, menurunnya volume perdagangan akibat trade war AS-China dengan diberlakukannya tarif 10-25% terhadap US$200 miliar impor dari China dan retaliasi China terhadap US$60 miliar impor AS.

Selain itu, risiko ketidakpastian AS yang terus meningkat diikuti oleh kondisi likuiditas AS yang lebih ketat dan ketegangan antara AS-China perihal hubungan dagang yang masih cukup tinggi hingga memicu beberapa bank sentral menaikkan suku bunganya.

Akhirnya, aliran modal keluar dari emerging market, termasuk Indonesia dan berujung pada tekanan terhadap mata uang emerging market.

Tahun 2023

China sebagai negara terbesar di Asia dan mitra dagang utama Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah akibat keyakinan pelaku ekonomi yang melemah serta utang rumah tangga yang tinggi sehingga menurunkan konsumsi dan kinerja properti yang turun yang berdampak pada investasi.

Ekonomi Eropa juga melemah dipicu oleh dampak eskalasi ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) lebih baik dari prakiraan semula dipengaruhi konsumsi yang membaik ditopang kenaikan upah dan pemanfaatan tabungan yang tinggi (excess saving).

Sementara dari sisi inflasi di negara maju masih tergolong tinggi yang salah satunya dipengaruhi oleh pasar tenaga kerja yang ketat. Hal ini diprakirakan mendorong kenaikan suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk The Fed. Hingga akhirnya aliran modal ke negara berkembang lebih selektif dan memberi tekanan pada nilai tukar rupiah.

Bahkan tekanan ini diperparah dengan hasil Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal-II 2023 yang mengalami defisit serta transaksi berjalan yang mengalami defisit juga. Di saat yang bersamaan, harga komoditas global menurun dan ekonomi global melambat.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation