
Valuasi Mahal TCPI, Euforia Tak Sejalan dengan Laba yang Mini

- Kinerja keuangan TCPI kurang mengesankan hingga semester I-2023
- Valuasi TCPI tetap mahal dengan harga saham di kisaran Rp9.000
- TCPI, seperti emiten angkutan laut batu bara lainnya, masih perlu menunggu katalis lanjutan.
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja keuangan yang kurang solid dan valuasi yang mahal membuat saham emiten jasa angkutan laut PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI) kurang menarik untuk masuk ke dalam portofolio investasi.
Laba bersih TCPI hanya naik tipis 1,56% secara tahunan (year on year/YoY) dari Rp61,65 miliar pada semester I-2022 menjadi Rp62,61 miliar pada periode yang sama 2023.
Padahal, pendapatan bersih perusahaan turun 9,2% yoy menjadi Rp810,02 miliar selama 6 bulan pertama tahun ini.
Ini terutama berkat berkurangnya beban pokok pendapatan 12% yoy menjadi Rp598,43 miliar dari sebelumnya Rp682,17 miliar.
Namun, mirip kejadian sebelumnya, kinerja saham TCPI naik 13,52%, year to date (YtD) bahkan ketika laba terbilang stagnan hingga tengah tahun.
Kilas balik sejenak, saham emiten angkutan laut batu bara hingga nikel tersebut sempat menjadi pemuncak top gainers pada 2018 dengan kenaikan hingga 6.367%.
Kala itu, harga saham TCPI melonjak tinggi dari Rp138/saham saat penawaran saham perdana (IPO) pada 6 Juli 2018 menjadi Rp8.925/saham pada akhir 2018.
Sementara, harga penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) TCPI berada di Rp11.600/saham pada 8 Juni 2022, ketika harga batu bara memanas mendekati level US$400/ton.
Berkah batu bara sepanjang 2022 sebenarnya turut membawa cuan untuk TCPI.
Ini karena perusahaan tersebut memiliki dua pelanggan utama dari perusahaan Grup Salim dan Grup Bakrie, PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang memiliki kinerja positif selama tahun lalu.
Dua anak usaha raksasa batu bara RI PT Bumi Resources Tbk (BUMI) tersebut merupakan pelanggan yang menyumbang pendapatan sekitar 84,56% dari total pendapatan perusahaan sepanjang 2022.
Total pendapatan bersih TCPI mencapai Rp1,76 triliun dalam tahun penuh 2022 atau meningkat 5,23 persen secara tahunan (yoy). Arutmin menyumbang Rp1,05 triliun dan KPC sebesar Rp430,99 miliar.
Adapun, laba bersih TCPI meningkat 37,95% secara yoy menjadi Rp108,63 miliar hingga akhir Desember 2022, dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp78,74 miliar.
Beralih ke rasio keuangan. Dengan kinerja laba yang kurang ciamik, sejumlah rasio profitabilitas perusahaan kurang mengesankan dibandingkan perusahaan sejenis (peers).
Marjin laba kotor (GPM) TCPI hanya 26,12%, berada di bawah pesaing macam MBSS (28,19%), PSSI (39,56%), hingga RIGS (30,84%).
Demikian pula, marjin laba usaha (OPM) TCPI di bawah PSSI (32,13%), RIGS (19,11%), hingga MBSS (18,79%).
Apalagi jika melihat marjin laba bersih (NPM) TCPI yang cuma 7,73%, sangat kecil jika berhadapan dengan MBSS (34,77%), PSSI (56,36%), atau bahkan SMDR (13,01%).
Alhasil, metrik return on equity (ROE) dan return on assets (ROA) TCPI juga kurang apik, di bawah peers.
Valuasi Kemahalan
Harga saham yang kelewat membumbung tinggi, ternyata tidak diimbangi kinerja keuangan perusahaan.
Hasilnya, valuasi saham menjadi kemahalan alias overvalued.
Rasio price-to earnings (P/E, PER) TCPI mencapai 360,37 kali. Ini artinya, harga sahamnya dihargai 360 kali lebih tinggi dibandingkan laba perusahaan. Angka yang sangat tinggi dibandingkan aturan umum yang hanya di kisaran 10 - 15 kali.
Belum lagi apabila kita bandingkan dengan MBSS yang hanya 6,77 kali, PSSi 3,42 kali, hingga SMDR 3,81 kali.
Dari multiples populer lainnya, yakni rasio price-to book value (PBV), TCPI juga berada di ujung langit. Saham TCPI diperdagangkan 28 kali di atas nilai buku perusahaan. Tentu ini kontrak dengan peers yang rerata di bawah 1 kali.
Menggunakan rasio-rasio di atas, harga wajar TCPI berada di kisaran Rp410 atau ada downside risk hingga 95,5% dibandingkan harga saat ini.
Tentang TCPI
Transcoal berdiri pada 15 Januari 2007 sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran.
Perseroan menyediakan layanan solusi satu pintu untuk memenuhi berbagai kebutuhan pelanggan atas transportasi laut dan pengangkutan logistik barang curah, seperti batu bara dan nikel.
Wilayah operasional Transcoal mencakup Sangatta dan Bengalon (Kalimantan Timur), Asam-asam (Kalimantan Selatan), serta Morowali dan Morosi (Sulawesi).
Pada 2018, tepatnya tanggal 6 Juli 2018, perusahaan melakukan Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering/IPO) sebanyak 1.000.000.000 lembar saham dengan harga Rp138/lembar di BEI.
Pada akhir 2018, Transcoal melakukan akuisisi 99,92% saham PT Kanz Gemilang Utama dan menjadikan Transcoal sebagai pemegang saham mayoritas langsung dan tidak langsung pada dua perusahaan pelayaran, yaitu PT Sentra Makmur Lines (99%) dan PT Energy Transporter Indonesia (85,5%).
Kini, Transcoal mengoperasikan 254 tug & barges, 15 mother vessel, 5 unit floating crane, 5 assist tug, 5 sea truck, 18 unit alat berat penunjang kegiatan operasional, serta 42 fender.
Prospek Bisnis
Prospek TCPI, seperti sejumlah emiten angkutan laut batu bara lainnya, akan bergantung pada siklus komoditas. Apalagi, saat ini pelanggan utama TCPI berasal dari perusahaan batu bara.
Setelah menembus di atas US$400/ton pada akhir kuartal III 2022 di tengah perang Rusia-Ukraina, harga batu bara Newcastle mulai mendingin tahun ini, diperdagangkan di kisaran US$160-an/ton.
Kendati memang, posisi tersebut masih jauh di atas rekor tertinggi beberapa tahun silam yang di rentang US$130-an/ton.
Harga batu bara yang tampaknya sudah melewati puncak 2022 tersebut diproyeksikan akan cenderung melemah seiring meningkatnya produksi batu bara domestik di China dan India yang dikenal sebagai importir si batu hitam terbesar, sedangkan sisi permintaan cenderung melemah di belahan bumi utara seiring adanya musim semi.
Imbasnya, apabila tetap berfokus pada pengangkutan batu bara, kinerja keuangan TCPI berpotensi tidak akan sepositif tahun lalu. Ini artinya, jika saat commodities boom pertumbuhan laba perusahaan saja tidak mampu mengimbangi harga saham, bagaimana kalau boom tersebut pecah (burst).
Hal tersebut yang salah satunya perlu menjadi perhatian investor yang berusaha mengincar saham TCPI.
Singkatnya, dengan valuasi yang sangat mahal saat ini dan melihat siklus komoditas yang mulai mendingin, investor dengan horizon menengah-jangka panjang sebaiknya lebih memilih saham peers TCPI yang lebih murah atau bahkan saham emiten sektor lainnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(RCI/RCI)