
Saham NETV All Time Low! Modal Minus dan Terancam Bangkrut

- Harga saham PT Net Visi Media Tbk (NETV) anjlok 84,9% dari titik tertinggi sepanjang masa berada di terendah sepanjang masa Rp 125 per saham (28/8).
- Perusahaan terus merugi sejak IPO, seiring industri televisi yang semakin sulit akibat transisi Analog Switch Off (ASO).
- Akumulasi kerugian semakin parah yang menyebabkan ekuitas perseroan menjadi negatif dan terancam default jika tidak terdapat perbaikan kinerja, penambahan utang, atau peningkatan modal.
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham PT Net Visi Media Tbk (NETV) terbenam berada di bawah harga IPO, bahkan menyentuh titik terendah sepanjang masa. Jatuhnya harga saham media Net TV terjadi seiring dengan transisi televisi Free to Air (FTA) atau biasa disebut Analog Switch Off (ASO). Hal ini menyebabkan kerugian semakin parah yang berdampak saldo laba dan modal negatif sehingga terancam bangkrut atau default.
Harga saham Net TV yang menyentuh titik terendah sepanjang masa berada di Rp 125 per saham pada penutupan hari Senin (28/8/2023). Nilai ini anjlok 84,9% dari harga tertingginya Rp 830 per saham yang terjadi pada 15 Februari 2022. Sejak mencatatkan sahamnya di bursa (Initial Public Offering/IPO) saham NETV telah terkoreksi 36,2% dari Rp 196 per saham pada 26 Januari 2022.
Tekanan Industri Televisi Akibat Transisi ASO
Industri televisi saat ini cukup tertekan yang diawali dengan keberadaan media digital, diperparah dengan televisi yang di-digitalisasi atau biasa disebut Analog Switch Off (ASO). Melansir analisis Stockbit Sekuritas, transisi ASO menyebabkan penurunan margin bisnis TV (Free to Air/FTA).
Sebagai informasi, pelaksanaan ASO atau penghentian siaran TV analog telah dimulai sejak 2 November 2022. Saat ini, masyarakat hanya akan menikmati suguhan siaran TV digital.
Penerapan ASO akan memberikan ketidakpastian terhadap pengiklan, sebab ini akan mengubah perhitungan audience share atau perhitungan pasar dari penonton. Adanya sistem baru tersebut menyebabkan perhitungan audience share dipangkas tiap bulannya dari 50%, 25%, dan menjadi normal pada bulan ketiga.
![]() Audience Share NETV Berada di Peringkat 14 |
Melansir data Nielsen yang diambil dari laporan Stockbit Sekuritas, audience share NET berada di 1,6% pada kuartal-I 2023 turun dibanding setahun sebelumnya yang sebesar 2,6%. Rendahnya nilai tersebut menyebabkan channel Net TV berada di peringkat 14 dibanding stasiun televisi lainnya.
Selain itu, perusahaan televisi perlu memberikan bantuan dengan Set Top Box (STB) untuk mempercepat transisi masyarakat ke TV digital. Hal ini juga menyebabkan adanya peningkatan beban untuk menyesuaikan hal tersebut. Tidak hanya itu, jumlah penonton akan mengalami penurunan akibat keterlambatan adopsi dari STB.
Kerugian NETV mengakibatkan saldo rugi menumpuk dan modal negatif
Penurunan harga saham dari NETV ternyata juga diiringi dengan kinerja keuangan yang buruk. Pendapatan NETV tercatat berada di tingkat terendah selama perseroan melantai di bursa berada di Rp 56 miliar.
Penurunan kinerja top line berdampak sampai bottom line perusahaan yang mengindikasikan tidak adanya efisiensi yang signifikan pula. Saking parahnya, laba kotor NETV tercatat negatif Rp 2 miliar.
Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan perusahaan sangat kecil jika dibandingkan dengan beban pokok produksi (Cost of Goods Sold/COGS) perseroan.
Rendahnya audience share, transisi media digital, dan pemangkasan nilai audience share akibat transisi ASO menyebabkan kinerja perseroan anjlok. Bahkan, penurunan kinerja bottom line atau dari segi rugi bersih juga menjadi yang terburuk sepanjang perusahaan melantai berada di negatif Rp 80 miliar.
Kerugian ini merupakan yang terburuk sepanjang perusahaan melantai. Hal ini turut menjadi penyebab struktur permodalan perseroan sangat buruk. Saldo laba NETV tercatat berada di negatif Rp 3,1 triliun dan modalnya berada di negatif Rp 238 miliar.
Valuasi
Kinerja yang buruk perseroan menyebabkan posisi NETV menjadi yang terburuk di industri serupa. Perhitungan valuasi menjadi tidak relevan akibat perusahaan merugi dan modal negatif. Secara profitabilitas dan efektivitas pun, NETV juga merupakan yang terburuk dibandingkan kompetitornya, SCMA dann MNCN.
NETV juga memiliki kesehatan keuangan yang buruk dengan modal yang negatif. Current ratio atau kemampuan membayar utang jangka pendek dengan aset lancarnya juga merupakan yang terburuk.
Bahkan, perseroan ini terancam tidak mampu membayar utang jangka pendeknya, jika melihat dari sisi kas. Hal tersebut terlihat dari kasnya yang tidak sampai setengah dari utang yang harus dibayar dalam setahun.
NETV yang terancam tidak mampu membayar utang akan terancam pailit. Kas tipis dan arus kas operasi negatif pada kuartal-II 2023 menjadikan perseroan tidak memiliki harapan dari kinerja operasional. Alhasil, ini akan menjadi ancaman perseroan gagal bayar utang default, terutama jika tidak ada perbaikan kinerja, penambahan utang, atau penambahan modal.
Layakkah Investasi?
Saham NETV yang telah anjlok 84,9% dari titik tertingginya terjadi bukan sebab. Fundamental bisnis perusahaan yang tidak sehat yang tercermin dari penurunan pendapatan, hingga laba kotornya saja sudah rugi menjadikan emiten ini dijauhi investor.
Permasalahan ini berdampak pada modal perseroan yang menunjukkan nilai negatif Rp 2 miliar yang diakibatkan saldo akumulasi kerugian telah mencapai negatif Rp 3,1 triliun. Hancurnya kinerja juga diikuti oleh industri televisi yang tertekan akibat transisi televisi analog ke digital.
Hal ini menyebabkan masyarakat harus memiliki STB untuk menikmati layanan TV FTA. Perusahaan televisi juga perlu memberikan STB untuk penonton, sehingga dapat mengakses TV digital yang berdampak pada peningkatan beban. Dan lagi, audience share yang kecil, berada di peringkat 14, harus dipangkas yang menyebabkan nilai iklan menurun.
Transisi yang juga memerlukan waktu diperkirakan menyebabkan adanya penurunan penonton televisi dalam proses normalisasi. Berdasarkan hal tersebut, berinvestasi di saham NETV akan cukup berisiko, khususnya jika belum ada perubahan kinerja dari perseroan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(mza/ras)