
Dilema China Selamatkan Ekonomi, Siapa Tumbal Xi Jinping?

Jakarta, CNBC Indonesia - China tengah dihadapkan pada dilema terkait krisis properti dan upaya menjaga profitabilitas perbankan. Ini tampak jelas dari keputusan bank sentral China yang menahan suku bunga pinjaman utama pada Senin lalu (21/8/2023).
The People's Bank of China (PBOC) membuat riuh pasar dengan menahan suku bunga pinjaman 5-tahun (loan prime rate/LPR 5-year) di level 4,2%. Padahal, ekonom mengharapkan PBOC akan memangkas loan prime rate 5-year ke 4,05%.
// ]]> Selain itu, PBOC hanya memangkas loan prime rate 1-tahun sebesar 10 basis poin (bps) menjadi 3,45%, lebih kecil dari yang diharapkan pasar (menjadi 3,40%). Pemangkasan loan prime rate ini merupakan bagian dari upaya PBoC dan pemerintahan Presiden Xi Jinping mendongkrak ekonomi China yang tengah lesu. Banyak analis, seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Bank of America dan Union Bancaire Privee, menilai keputusan menahan suku bunga pinjaman 5-tahun sebagai usaha melindungi marjin bunga bersih (net interest margin/NIM) bank komersial China. Secara sederhana, NIM digunakan untuk mengukur perbedaan antara pendapatan bunga yang diterima bank dan bunga yang dibayarkan ke peminjam. NIM dipakai untuk menakar tingkat profitabilitas bank. Umumnya, NIM yang lebar mengindikasikan laba yang tinggi untuk bank. Di sisi lain, konsumen dan pengembang properti cenderung tak mendapatkan manfaat dari langkah PBOC tersebut. Ini karena pemilik rumah dengan kredit pemilikan rumah (KPR) yang mengacu pada suku bunga LPR 5-tahun tidak akan mengalami penurunan pembayaran bunga KPR. Sementara, pembeli potensial hanya akan memiliki sedikit insentif ketika mengambil pinjaman KPR baru. "Keyakinan tetap menjadi kunci untuk pemulihan ekonomi dan pemangkasan suku bunga LPR yang mengecewakan tidak akan membantu membangun kembali kepercayaan, dan bahkan dapat menjadi bumerang jika pelaku pasar menafsirkan langkah-langkah pelonggaran ini sebagai keengganan pembuat kebijakan untuk memberikan stimulus kebijakan yang moderat sekalipun," tulis analis Goldman Sachs, dikutip Nikkei Asia (22/8). PBOC memperingatkan dalam laporan triwulan terbaru pada minggu lalu bahwa NIM yang lebih rendah akan berisiko membuat bank memiliki sedikit penyangga keuangan (financial buffer) terhadap kredit macet dan lebih sedikit dana untuk disalurkan ke korporasi dalam bentuk kredit. Menurut laporan PBOC, NIM bank komersial China turun 23 poin menjadi 1,74% pada kuartal pertama. Ekonom Morgan Stanley menyebut, sangat penting bagi bank sentral untuk mencoba menjaga kesehatan sistem keuangan, mengingat potensi risiko yang akan datang. "Kami terus memperhatikan risiko sebenarnya adalah NIM yang terlalu rendah bagi industri perbankan dalam beberapa tahun," kata analis ekuitas Morgan Stanley dalam sebuah catatan. Analis tersebut menambahkan, penurunan lebih lanjut dalam imbal hasil aset akan menghambat kemampuan sistem keuangan untuk mencerna risiko dan menjaga pasokan kredit, sedangkan suku bunga yang lebih rendah tidak akan banyak mendorong permintaan kredit. "Penurunan NIM lebih lanjut dan berkurangnya kemampuan untuk mencerna risiko dapat menjadi tantangan sebenarnya dalam beberapa tahun ke depan karena kami memperkirakan siklus kredit bermasalah [non-performing loan/NPL] properti masih memerlukan waktu 2-3 tahun lagi untuk diselesaikan sementara siklus penurunan laba dan belanja modal (capex) industri baru saja dimulai tahun ini," kata para analis Morgan Stanley. Bank menengah China, Bank of Tianjin, sebelumnya memperingatkan "jumlah provisi penurunan nilai aset yang lebih besar" untuk semester I-2023 dalam hasil keuangan interimnya pada Jumat pekan lalu. Bank tersebut mengatakan laba bersihnya bisa turun sebanyak 75% dari 3 miliar yuan (US$410 juta) yang diperolehnya pada paruh pertama 2022. "Bank-bank mungkin telah menyuarakan kekhawatiran mengenai penurunan LPR [loan prime rate], karena hal ini akan semakin mengikis margin bunga bersih [NIM] mereka, karena tidak adanya penurunan suku bunga deposito lagi," Carlos Casanova, ekonom senior untuk Asia di UBP, pada Senin (21/8/2023). Hal ini, imbuh Carlos, akan membuat bank lebih ragu untuk menerapkan suku bunga yang lebih rendah kepada peminjam, sehingga membuat langkah tersebut menjadi kurang efektif, tambahnya. Penurunan pasar perumahan dan lesunya kinerja pasar saham telah membuat konsumen Tiongkok menjadi lebih banyak menabung. Total simpanan bank mencapai 278,6 triliun yuan pada akhir Juni, 20,1 triliun yuan lebih tinggi dibandingkan awal tahun, menurut laporan PBOC. BI Diprediksi Tahan Suku Bunga Sementara, di Tanah Air, Bank Indonesia (BI) diproyeksi akan kembali menahan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini untuk menjaga nilai tukar di tengah meningkatnya ketidakpastian global. BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu dan Kamis (23-24 Agustus 2023). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral RI akan menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, semuanya memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%. Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%. Suku bunga kemudian dipertahankan pada level tersebut dalam enam pertemuan terakhir. Kubu MH Thamrin diperkirakan masih akan menahan suku bunga meskipun inflasi jauh melandai. BI belum bisa memangkas suku bunga karena masih besarnya tekanan eksternal, terutama dari Amerika Serikat (AS). CNBC INDONESIA RESEARCH
Suku bunga sebesar 5,75% sudah berlaku sejak Januari tahun ini. BI mengerek suku bunga sebesar 225 bps dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.