
Simak! Ini Alasan Harga CPO Bergerak Labil Kayak Anak SMA

- Harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) di Bursa Malaysia Exchange belakangan terpantau bergerak volatil.
- Meskipun berada dalam tren yang turun, pergerakannya cukup membingungkan.
- Memang ada banyak faktor yang mempengaruhi pergerakannya mulai dari faktor mata uang, ekspor, pasokan, hingga Rusia.
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) di Bursa Malaysia Exchange belakangan terpantau bergerak volatil. Meskipun berada dalam tren yang turun, pergerakannya cukup membingungkan meskipunĀ ada beberapa sentimen yang mendukungnya. Lantas apa penyebab harga CPO bergerak labil setahun belakangan ini?
Melihat data perdagangan, hingga penutupan perdagangan pekan , Jumat (11/8/2023) harga CPO berakhir terkoreksi 0,3% ke posisi MYR 3.717 per ton. Kini harganya berada di level 3.700 setelah sempat sukses bercokol di level 4.000 akhir Juli lalu.
Dengan ini, dalam sepekan terakhir harga CPO tercatat ambles 3,68%, secara bulanan jatuh 4,15%, dan ambrol 10,95% secara tahunan. Pergerakannya cenderung membukukan kinerja yang mengecewakan.
Lantas apa saja penyebab harga CPO bergerak volatil? Perlu diketahui, harga CPO tentu dipengaruhi oleh beberapa sentimen di mana snetimen ini akan tarik menarik setiap harinya yang kemudian akan mempengaruhi harga. Dalam setahun terakhir, ada banyak sekali pemicu harga CPO naik-turun. Simak ulasannya.
Ringgit Malaysia
Pergerakan mata uang Malaysia begitu berpengaruh pada harga CPO. Jika mata uang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) harga CPO menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang asing dan harga CPO menguat.
CPO Malaysia diperdagangkan menggunakan ringgit Malaysia, sehingga terkoreksinya mata uang Malaysia tersebut membuat CPO Malaysia menjadi lebih menarik. Wajar saja, jika permintaan pun naik di pasar nabati.
Seperti diketahui, Malaysia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia setelah Indonesia, di mana memproduksi sekitar 21 juta ton per tahunnya dan berkontribusi sebanyak 36% dari total produksi CPO dunia.
Namun, ketika ringgit Malaysia melemah, bukan hal yang tidak mungkin jika pangsa pasar CPO Indonesia dapat beralih ke CPO Malaysia karena harganya menjadi lebih murah bagi pembeli mata uang asing.
Melansir dari Refinitiv, mata uang Malaysia secara tahunan tercatat melemah 3,86% melawan dolar AS. Sementara dalam sepekan terakhir mata uang ringgit juga melemah 0,37%, dan ambrol 1,4% secara bulanan.
Faktor Ekspor
Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ekspor produk minyak sawit Malaysia untuk 1-10 Agustus naik 5,9% dari minggu yang sama di Juli, menurut surveyor kargo Intertek Testing Services. Surveyor kargo lainnya, AmSpec Agri Malaysia, mengatakan ekspor melonjak 17,5%.
Permintaan minyak sawit telah meningkat karena diskon untuk soyoil dan sunoil telah tumbuh, didorong oleh kenaikan harga minyak saingan baru-baru ini karena kekhawatiran produksi di AS dan gangguan pasokan dari wilayah Laut Hitam, kata pejabat industri.
Ini tentu menjadi sentimen positif bagi harga CPO. Lihat saja pada grafik tepatnya pada perdagangan awal Noveber 2022, sentimen ekspor berpengaruh pesat terhadap harga CPO. Pada perdagangan 7 November harga CPO melesat 1,51% ke posisi MYR 4.433 per ton.
Sebagai informasi, saat itu harganya naik didukung oleh permintaan yang kuat dari importir utama India, meskipun China masih menerapkan kebijakan zero-Covid untuk meminimalisir penyebaran kasus Covid-19.
Permintaan dari India dan negara-negara Asia Selatan sangat kuat. Minyak sawit jauh lebih murah daripada minyak kedelai dan minyak lainnya. Seperti diketahui, India merupakan salah satu importir terbesar CPO dunia, sehingga permintaan akan CPO yang meningkat tentu dapat mengerek harga CPO naik.
Faktor Produksi
Faktor produksi menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pergerakan harga. Jika produksi melambat harga CPO akan nanjak, namun sebaliknya jika produksi melesat harga CPO akan melemah. Lihat saja pada grafik tepatnya pada perdagangan akhir September 2022. Harganya terpantau anjlok.
Saat itu, para analis salah satunya dalam video presentasi yang ditayangkan akun Youtube Tefla'sEvents (Penyelenggara Globoil), 26 September 2022, Dorab mengatakan, harga CPO di Bursa Malaysia Derivatif akan terus turun ke MYR3.000 per ton di akhir September 2022.
Menurut Dorab, potensi anjloknya harga CPO tersebut dipicu oleh potensi meningkatnya pasokan CPO ke pasar global.
Di sisi lain, ujar dia, negara-negara pasar utama CPO dunia saat ini didominasi negara berkembang yang tengah menghadapi masalah besar.
"Produksi negara produsen saat ini pulih sangat kuat. Dan, kita sudah melihat pemangkasan permintaan akibat tingginya harga. Alasan saya begitu bearish juga karena resesi di negara-negara dengan ekonomi besar," kata Dorab.
Sebagai informasi, dalam catatan terakhir persediaan minyak sawit akhir Juli Malaysia meningkat 0,68% dari bulan sebelumnya ke level tertinggi lima bulan sebesar 1,73 juta metrik ton, menurut data Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB).
Namun, persediaan berada di bawah ekspektasi pasar karena ekspor melonjak dengan kecepatan yang lebih cepat.
Sementara dari sisi produksi melonjak 11,21% menjadi 1,61 juta ton, tertinggi sejak Januari, data MPOB menunjukkan. Ekspor naik 15,55% menjadi 1,35 juta ton, jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan.
Ekonomi Negeri Tirai Bambu
Sejak tahun 2022, China mengumumkan kasus infeksi Covid-19 tertinggi baru dalam enam bulan setelah pejabat Kementerian Kesehatan mengatakan mereka bertahan dengan pembatasan virus korona yang ketat, sehingga memadamkan harapan baru-baru ini untuk pelonggaran.
Sebab itu, tahun lalu harga CPO diselimuti kekhawatiran karena China. Awal tahun 2023 ekonomi China diharapkan bangkit, namun alih-alih bangkit ekonomi Negeri Tirai Bambu ini justru terus membukukan data ekonomi yang mengecewakan hingga kini.
Ekonomi China masih menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Alih-alih membukukan data ekonomi yang membaik, data ekonominya malah semakin tertekan dan meyakinkan para analis bahwa Balance Sheet Resession yang di alami Jepang juga akan terulang pada China.
Pekan ini saja, China melaporkan data inflasi untuk bulan Juli yang menunjukkan peningkatan moderat dari Juni. Indeks harga konsumen turun 0,3% pada Juli secara year-on year (yoy), tetapi naik 0,2% bila dibandingkan dengan Juni.
IHK tahun-ke-tahun untuk Juli sedikit lebih baik dari ekspektasi untuk penurunan 0,4%, menurut analis yang disurvei oleh Reuters. Itu masih penurunan tahun-ke-tahun pertama sejak awal 2021, menurut data resmi yang diakses melalui Wind Information.
Sementara, indeks harga produsen turun 4,4% di bulan Juli dari tahun lalu, lebih baik dari penurunan 5,4% di bulan Juni. Namun, pembacaan PPI secara yoy lebih buruk dari perkiraan 4,1% oleh jajak pendapat Reuters.
Selain itu, permintaan domestik yang lesu terus berlanjut sejak pandemi. Indeks harga konsumen China datar di bulan Juni dari tahun lalu. Data kuartal kedua mendorong beberapa ekonom untuk memperingatkan meningkatnya risiko deflasi penurunan harga yang terus-menerus dari waktu ke waktu.
Secara resmi, bank sentral China telah mendorong kembali ketakutan tersebut dan mengatakan pihaknya memperkirakan harga konsumen akan naik setelah penurunan pada bulan Juli.
Oxford Economics memperkirakan indeks harga konsumen China tumbuh sebesar 0,5% tahun ini dan indeks harga produsen turun sebesar 3,5%.
China melaporkan data perdagangan pekan ini juga menunjukkan penurunan tajam permintaan luar negeri dan domestik.
China mengumumkan nilai ekspor yang anjlok lebih lanjut pada Juli, jatuh pada laju tercepat sejak Februari 2020 dan menambah kekhawatiran atas perlambatan ekonomi.
Ekspor turun 14,5% pada Juli dari tahun lalu, sementara impor turun 12,4% dalam dolar AS - keduanya lebih buruk dari perkiraan analis. Penurunan tajam angka impor sebagian disebabkan oleh penurunan harga komoditas, tetapi perkiraan Loo menunjukkan impor turun dalam volume riil sekitar 0,4%.
Untuk diketahui, China merupakan konsumen CPO dunia terbesar setelah India. Bahkan, jika melansir data dari UN Comtrade, China merupakan konsumen terbesar kedua untuk CPO Indonesia pada periode 2016-2020, di mana kontribusi impornya sebanyak 14% dari total impor CPO Indonesia.
Maka dari itu,perbaikan ekonomi China membawa angin segar tentunya terhadap permintaan CPO dari dalam negeri.
Rusia Black Grain
Sejak bulan lalu, harga CPO sempat melesat ke level 4.000. Ini dipicu oleh penarikan Rusia dari kesepakatan biji-bijian Laut Hitam meningkatkan kekhawatiran atas pasokan minyak nabati dari wilayah tersebut.
Kontrak mengikuti momentum bullish di pasar yang bersaing di tengah meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Ukraina.
Rusia memperingatkan bahwa mulai Kamis setiap kapal yang berlayar ke pelabuhan Laut Hitam Ukraina akan dianggap berpotensi membawa kargo militer, karena Kyiv menuduh Moskow melakukan serangan semalam yang merusak infrastruktur ekspor biji-bijian.
Akibatnya, impor minyak bunga matahari India kemungkinan akan turun dalam beberapa bulan mendatang karena menjadi tidak kompetitif terhadap minyak saingan karena kenaikan harga setelah Rusia menarik diri dari kesepakatan biji-bijian Laut Hitam.
Tantangan Ketidakpastian Pasar
Hingga saat ini, pasar tengah menghadapi tantangan dari pasar ekuitas, hingga kebijakan The Fed yang masih saja menjadi momok bagi negara-negara di dunia. Sehingga, perbaikan harga komoditas tergantung dolar AS dan itu membutuhkan waktu.
Saat ini dari sisi permintaan minyak sawit dunia sedang tren melemah menyusul resesi ekonomi dunia yang sedang berlangsung dan berlanjut hingga saat ini.
Potensi Bank Sentral AS (The Fed) untuk bersikap dovish nampaknya masih cukup jauh. Kebijakan The Fed yang belum melunak akan membuat dolar AS semakin perkasa.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum)