
Penyaluran Kredit Melambat, Tanda Bank Mulai Konservatif?

- Pertumbuhan kredit bank makin lesu, bahkan terendah sejak 15 bulan terakhir
- Perlambatan ekonomi global serta memasuki tahun politik membuat perbankan lebih konservatif menyalurkan kredit.
- Perbankan juga lebih menahan diri sebab suku bunga masih tinggi dan pelaku pasar masih cenderung wait and see dalam ekspansi
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Juni 2023 kredit perbankan Tanah Air hanya tumbuh 7,76% secara tahunan (year-on-year/yoy), angka tersebut merupakan yang terendah sejak 15 bulan terakhir. Padahal pada bulan sebelumnya kredit bisa tumbuh 9,5% yoy, pulih dari periode April 2023 yang hanya tumbuh 8,08% yoy.
Pemulihan tersebut harus pupus karena pertumbuhan kredit yang kembali melambat. Bila ditelisik lebih dalam faktor utamanya terjadi karena kredit korporasi yang turun 260 basis poin (bps) menjadi 6,4% yoy, padahal segmen ini menopang 51,28% atau setara Rp3.402,8 triliun.
Kredit korporasi yang turun disinyalir karena sikap yang lebih wait and see dalam merencanakan investasi atau ekspansi ke depan, serta banyak perusahaan yang cenderung mempercepat pelunasan mengantisipasi kondisi ekonomi domestik dan global yang melambat, serta suku bunga yang masih tinggi.
Menelisik lebih jauh kredit perorangan juga melambat karena kredit kendaraan bermotor dan kredit multiguna. Senada dengan sektor yang lain, pertumbuhan kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga melambat. Kredit UMKM tercatat tumbuh 7,1% yoy, turun 40 bps dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya. Kredit skala mikro melambat 80 bps, sedangkan kontraksi pada kredit kecil dan menengah semakin besar. Sementara untuk kredit kepemilikan rumah (KPR) menjadi satu-satunya yang menguat.
Sepakat dengan hal tersebut, kepala ekonom Bank Maybank Indonesia Juniman menjelaskan ada empat faktor yang membuat penyaluran kredit melambat yaitu perlambatan ekonomi domestik dan global, dampak suku bunga tinggi, dana pihak ketiga yang melambat. serta efek memasuki tahun politik.
Perlambatan ekonomi menjadi satu dampak domino akibat inflasi dan suku bunga tinggi. Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro juga menyatakan suku bunga tinggi akan dipertahankan BI hingga akhir tahun dan paling cepat pelonggaran kebijakan melalui penurunan suku bunga potensi terjadi pada kuartal IV-2024 mendatang.
Kemudian, terkait dengan politik seperti diketahui, Indonesia akan menggelar hajatan besar tahun ini dan tahun depan yakni rangkaian pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Kampanye pemilu akan mulai digelar pada November tahun ini sementara pemilu serentak dilakukan pada Februari 2024.
"Adanya momentum pilpres dan pileg yang tahapan-nya dimulai tahun ini membuat naiknya suhu politik di dalam negeri. Dampaknya kalangan korporasi sangat berhati hati melakukan ekspansi usaha. Kondisi ini berdampak pada demand kredit melambat," tutur Juniman, kepada CNBC Indonesia.
Kenaikan tensi politik membuat pelaku usaha cenderung menahan diri dalam ekspansi, dengan begitu bank jadi lebih konservatif dalam menyalurkan kredit. Bank Indonesia (BI) juga memangkas target pertumbuhan kredit dari sebelumnya sebesar 10% - 12% menjadi 9% - 11% pada 2023..
Sementara dari sisi dana pihak ketiga (DPK) pada Juni 2023 terpantau hanya tumbuh 5,97% yoy saja, nilai tersebut melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 6,55% yoy. Kendati demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan perlambatan pertumbuhan kredit dan DPK ini malah terjadi di tengah kondisi likuiditas bank yang melimpah.
Secara keseluruhan, kondisi perbankan nasional masih cukup solid dengan likuiditas tetap longgar terlihat dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) tetap tinggi yakni 27,52% pada Mei 2023, sejalan dengan stance kebijakan BI. Ketahanan sistem keuangan juag masih kuat terlihat dari rasio kredit terkendali dimana Non Performing Loan (NPL) rendah di 2,352 (bruto) dan 0,77 (neto) pada lima bulan pertama 2023, serta struktur permodalan masih kuat nampak dari Capital Adequacy Ratio (CAR) di 26,07% pada akhir Mei 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)