
Sektor Teknologi Jadi Primadona Big Money, Ini Rahasianya

- Sektor teknologi kembali dilirik sejalan dengan ekspektasi pasar yang melihat pelonggaran kebijakan suku bunga
- Pengalaman masa lalu menunjukkan jika saham teknologi bergerak mendahului pasar yang bullish
- Big money atau pengelola dana besar akan cenderung berani menginvestasikan ke aset keuangan dengan risiko tinggi (risk on) seperti saham teknologi saat tekanan suku bunga berkurang.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Amerika Serikat (AS) tampak mengalami dejavu dengan melonjaknya nilai aset dengan risiko tinggi, seperti sektor teknologi, layaknya yang terjadi pada akhir 2021. Kenaikan ini selaras dengan teori siklus saham dan suku bunga AS yang sudah berada di titik tertingginya.
Inflasi AS mulai terkendali akibat kebijakan hawkish bank sentral AS Teh Federal Reserve (The Fed). Inflasi melandai dari 9,1% (year on year/yoy) pada Juni 2022 menjadi 3% (yoy) pada Juni tahun ini.
Menyusul lonjakan inflasi, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 500 bps menjadi 5,0-5,25%.
Dengan kenaikan suku bunga yang agresif ini maka potensi lonjakan suku bunga menjadi terbatas ke depan. Alhasil, suku bunga berpotensi dilonggarkan yang menjadi sinyal kenaikan aset berisiko tinggi, seperti saham sektor teknologi.
![]() Cycles-Economic Correlation |
Kebijakan pelonggaran keuangan (Quantitative Easing/QE) yang salah satunya melalui penurunan suku bunga menyebabkan nilai mata uang fiat kurang bernilai karena peredarannya yang tinggi. Big money atau pengelola dana besar akan cenderung berani menginvestasikan ke aset keuangan dengan risiko tinggi (risk on).
Tidak hanya itu, suku bunga yang lebih rendah mendorong semakin murahnya bunga kredit pinjaman. Hal ini akan membuat pelaku pasar dapat menggunakan leverage untuk berinvestasi dengan potensi keuntungan yang lebih besar.
Alhasil, pasar cenderung memasuki fase bullish yang ditopang dengan aset keuangan dengan risiko tinggi. Saham berbau masa depan, new economy, hingga kripto cenderung melesat pada fase ini seiring tingginya tingkat spekulasi.
Sensitivitas kebijakan keuangan bank sentral dan aset berisiko tinggi juga terlihat beberapa kali pada fase sebelumnya.
Tech bubble tahun 2000 diikuti dengan kebijakan QE akibat krisis sebelumnya, kenaikan tahun 2008 disebabkan oleh suku bunga rendah akibat krisis subprime mortgage, dan kenaikan sektor tech saat ini merupakan penurunan suku bunga untuk memperlancar perekonomian.
Histori Tech Cycle
Teori siklus saham dan perekonomian menunjukkan adanya hubungan, namun pasar saham cenderung bertindak mendahului dari perekonomian. Sikap pelaku pasar yang mendahului pergerakan ekonomi riil disebabkan oleh adanya perilaku spekulasi investor.
Sering kali, tingginya tingkat spekulasi menyebabkan pasar menjadi cenderung tidak rasional, aset keuangan dengan risiko tinggi memasuki valuasi yang terlalu mahal dan tidak wajar.
Masa ini sering kali berakhir dengan sebutan the greater fool yang artinya ketika pasar berada di fase kenaikan harga tinggi (bubble) ada investor yang mendapat keuntungan dan ada yang terjebak membeli aset yang terlalu mahal (overvalue). Maka dari itu, pelaku pasar perlu berhati-hati menghadapi potensi terjadinya fenomena ini.
![]() 2021vs2023 |
Fase bullish yang dialami bursa AS saat ini mirip seperti yang terjadi sebelumnya hingga akhir 2021. Pandemi Covid-19 memaksa bank sentral di seluruh dunia untuk jor-joran memberikan stimulus, termasuk pemangkasan suku bunga.
The Fed memangkas suku bunga hingga 150 bps pada 2020 serta membeli obligasi dalam jumlah besar-besaran untuk menggerakkan ekonomi AS.
Bursa AS memasuki fase bullish pasca pemulihan pasar saat pandemi pada tahun 2021 yang juga menerapkan Quantitative Easing. Indeks saham AS menunjukkan performanya dengan kenaikan S&P 500 26%, Nasdaq 21%, Dow Jones 21%.
Tak lama berselang, pasar melanjutkan dengan fase bearish terpanjang dalam beberapa dekade terakhir (2022).
Kenaikan saham pada aset berisiko siklus kali ini
Indikasi kenaikan harga pada aset berisiko tinggi juga berpotensi disebabkan prospek suku bunga rendah ke depan.
Seiring dengan terjadinya inflasi, The Fed mulai mengetatkan keuangan pada 2022. Dolar yang menjadi mahal dan biaya utang yang tinggi menjadikan investor lebih berhati-hati dengan berinvestasi pada aset berisiko rendah (risk-off), tech dan kripto masuk fase bearish.
Saat ini, pasar AS sedang cukup sumringah, pasalnya data inflasi AS bulan Juni menunjukkan perlambatan menjadi 3% secara tahunan (yoy).
Perekonomian AS saat ini juga tengah dihadapkan dengan fase terburuknya dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di bawah 3,5% dalam tiga kuartal terakhir dan hanya 2% pada kuartal-I 2023. Ini berpotensi menjadi titik terendah dari perekonomian AS. Sehingga, ini menjadi pertanda potensi suku bunga melandai ke depan.
Data ini menjadi sentimen positif untuk pelaku pasar, sebab The Fed akan berpotensi lebih dovish atau tidak agresif lagi menaikkan suku bunganya yang akan menjadi katalis fase bullish untuk sektor teknologi.
Pasar saham cenderung bergerak mendahului dari perekonomian riil. Tingkat inflasi terendah terjadi pada bulan Mei 2020, pasar sudah bereaksi terlebih dahulu dengan bottom-nya pada Maret 2020.
Rata-rata harga saham tech AS menyentuh harga pucuk terjadi pada November 2021, sedangkan inflasi baru menyentuh puncak pada Juni 2022.
Saat ini, saham tech AS sudah menyentuh bottom (Oktober 2022) dan sudah menunjukkan rebound. Sedangkan, tingkat inflasi berpotensi belum menyentuh nilai terendah.
Data tersebut dapat merepresentasikan dua hal. Pertama, pasar cenderung bereaksi mendahului dari perekonomian riil. Kedua, tingkat inflasi, yang dipengaruhi faktor suku bunga, dan sektor tech memiliki korelasi.
Berdasarkan hal tersebut, timing berinvestasi sektor teknologi AS saat ini cukup menarik, namun investor perlu berhati-hati sebab risiko penurunan saat terjadi bubble juga cukup besar.
Investor dapat kembali memperhatikan fundamental dan valuasi perusahaan teknologi untuk mendapatkan keamanan dari risiko ketidakpastian. Selain itu, indikator makro seperti kebijakan suku bunga juga perlu diperhatikan untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)