Macro Insight

Yuan Tenggelam Bersama Lesunya Ekonomi China

rev, CNBC Indonesia
11 July 2023 14:42
Mata uang Rupiah, Yuan, dan Won. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Mata uang Rupiah, Yuan, dan Won. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Yuan China (CNY) mengalami kemunduran yang signifikan sejak awal tahun ini hingga perdagangan kemarin, Senin (10/7/2023). Melandainya ekonomi Tiongkok serta kebijakan dovish bank sentral China menjadi salah satu penyebabnya.

Dilansir dari Refinitiv, yuan melemah hingga 4,24% terhadap dolar AS (USD) sepanjang tahun ini. Pelemahan tersebut membuat yuan menjadi salah satu mata uang terlemah di Asia sepanjang tahun ini.

Ambruknya yuan sejalan dengan berbagai data ekonomi yang mayoritas mengalami pelemahan.  Data Caixin China General Manufacturing PMI menunjukkan aktivitas manufaktur China melandai ke 50,5 pada Juni, dari 50,9 pada Mei tahun ini. 

Menanggapi hal tersebut, ahli statistik senior NBS, Zhao Qinghe mengatakan bahwa kurangnya permintaan pasar dan efek basis tinggi dari pemulihan manufaktur yang cepat di kuartal pertama menjadi alasan terjadinya kontraksi.

Secara sederhana, pelemahan PMI mengindikasikan bahwa negara belum menunjukkan aktivitas industri manufaktur atau pabrik-pabrik untuk bertumbuh. Penurunan PMI manufaktur ini juga mengindikasikan bahwa permintaan konsumen sedang melemah.

Sedangkan Non-manufacturing Purchasing Managers index China pada bulan Juni menunjukkan aktivitas bisnis 53,2% atau melemah dari periode sebelumnya yang berada di angka 54,5%.

Indeks komposit ini dihitung sebagai indikator kondisi ekonomi keseluruhan untuk sektor non-manufaktur. Angka di atas 50% menunjukkan bahwa di sektor non-manufaktur secara umum mengalami ekspansi.

Meskipun dalam teritori ekspansi (positif), namun tren penurunan telah terjadi sejak Maret 2023. Hal ini perlu menjadi perhatian China agar tren pelemahan ini tidak terus berlangsung. Sebab jika terus melemah, maka bukan tidak mungkin jika indikator ekonomi lainnya mengalami kemunduran pula.

Selain dari hal tersebut, inflasi dan suku bunga China pun perlu mendapat perhatian. 
Secara tahunan (year on year/yoy), Inflasi China bergerak stagnan atau 0% pada Juni Secara bulanan (month to month/mtm), China bahkan mengalami deflasi 0,2% pada Juni. Deflasi sudah berlangsung dalam lima bulan beruntun. Artinya adalah bahwa harga-harga barang tidak mengalami kenaikan dan ini menjadi salah satu ciri bahwa negara tidak bertumbuh.

China pun perlu menekan suku bunga agar masyarakat berminat untuk spend money dan mendorong pengeluaran. Hal ini dilakukan agar dapat terhindar dari kelemahan ekonomi.

Untuk mendorong belanja masyarakat, bank sentral China (PBoC) sebenarnya sudah bersikap longgar. 
Data terakhir menunjukkan Loan Prime Rate China pada Juni 2023 sebesar 3,55% yang telah mengalami penurunan dari Mei 2023 dari sebesar 3,65%. Melihat kondisi inflasi China saat ini, maka diproyeksikan bahwa China akan kembali menurunkan suku bunganya atau setidaknya menahan suku bunga.

Namun, kebijakan dovish bank sentral China pulalah yang menjadi salah satu faktor melemahnya yuan.
Di tengah ketatnya suku bunga global, keputusan pemangkasan bank sentral China adalah hal yang sebaliknya dan menentang arus.

Di samping indikator ekonomi yang kurang baik, namun laju pertumbuhan Gross Domestic Bruto (GDP) kuartal-I 2023 dinilai cukup baik dengan besar 2,2%.

Meskipun GDP mengalami peningkatan dibandingkan kuartal-IV 2022, namun pemulihan tetap tidak merata, dengan konsumsi, jasa, dan pengeluaran infrastruktur meningkat tetapi inflasi yang melambat dan tabungan bank yang melonjak menimbulkan keraguan tentang permintaan.
Dalam beberapa kuartal terakhir, penguatan jasa dan konsumsi membantu mengimbangi manufaktur dan ekspor yang lebih lemah.

Dengan data-data tersebut, Indonesia perlu waspada atas risiko dari China. Ekonom Senior sekaligus mantan Menteri Keuangan era Presiden SBY, Chatib Basri menjelaskan bahwa China memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi dunia khususnya Indonesia. Setiap 1% perlambatan di China maka akan menekan PDB Indonesia sebesar 0,3% - 0,5%. Hal ini berpotensi sebab China merupakan pembeli komoditas Indonesia.

Namun begitu, dia percaya bahwa Indonesia tidak akan tergelincir ke dalam resesi. Di balik China, lanjutnya, perbankan negara ini menjadi bom waktu.

Ada beberapa hal yang tidak pernah diketahui oleh masyarakat dunia tentang perbankan China, antara lain shadow banking, struktur perbankan, struktur BUMN dan pembiayaannya. Selain itu, China mengalihkan sebagian besar utangnya ke negara-negara di Asia dan Afrika Selatan melalui Belt and Road Initiative (BRI).

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation