CNBC Indonesia Research

Persaingan Ganjar, Anies, Prabowo Bikin Bank Ogah Kasih Utang

CNBC Indonesia Research, CNBC Indonesia
08 June 2023 13:46
Capres Prabowo, Ganjar dan Anies, Siapa Paling Kaya?
Foto: Infografis/ Capres Prabowo, Ganjar dan Anies, Siapa Paling Kaya?/ Aristya Rahadian
  • Pertumbuhan kredit terus melandai dalam empat bulan terakhir
  • Perlambatan ekonomi serta tahun politik membuat kredit tumbuh melambat
  • Suku bunga tinggi dan sikap hati-hati perbankan juga membuat pelaku usaha menahan diri

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan kredit perbankan terus melandai dalam empat bulan terakhir. Panasnya suhu politik, ekonomi yang melambat, serta tingginya suku bunga membuat pelaku usaha dan perbankan menahan diri.

Pertumbuhan kredit perbankan melandai dari 10,64% pada Januari 2023 menjadi 10,53% pada Februari, 9,93% pada Maret dan anjlok menjadi 8,08% pada April. Pertumbuhan kredit pada April tahun ini adalah yang terendah sejak Maret 2022 (6,4%) atau dalam setahun terakhir.

Kepala ekonom Bank Maybank Indonesia, Juniman, menjelaskan ada empat faktor yang membuat pertumbuhan kredit terus melambat. Di antaranya perlambatan ekonomi domestik dan global, dampak tingginya suku bunga, menurunnya dana pihak ketiga (DPK) serta tahun politik.

Seperti diketahui, Indonesia akan menggelar hajatan besar tahun ini dan tahun depan yakni rangkaian pemilihan umum legislative (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Kampanye pemilu akan mulai digelar pada November tahun ini sementara pemilu serentak dilakukan pada Februari 2024.

"Adanya momentum pilpres dan pileg yang tahapannya dimulai tahun ini membuat naiknyasuhu politik di dalam negeri. Dampaknya kalangan korporasi sangat berhati hati melakukan ekspansi usaha. Kondisi ini berdampak pada demand kredit melambat," tutur Juniman, kepada CNBC Indonesia.


Meskipun kampanye baru digelar November tetapi hawa politik sudah mulai panas. Sudah munculnya tiga calon presiden (capres) makin membuat suhu politik panas.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengakhiri jabatan pada tahun depan dan tidak bisa mencalonkan diri sehingga persaingan menjadi sangat terbuka.
Berbeda dengan 2009 dan 2019, capres yang ada tahun ini juga terbilang imbang dari sisi popularitas.
Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi sangat kuat menjelang pilpres 2009 dan 2019 sehingga pasar lebih mudah menebak hasil pemilu.

Kondisi inilah yang membuat pengusaha menahan diri. Terlebih, pengalaman menunjukkan jika kebijakan Indonesia kerap berganti dengan bergantinya presiden.
Ekonom dan pengamat perbankan, Aviliani
, menjelaskan ada perbedaan kebijakan korporasi besar di tahun pemilu yang juga mempengaruhi permintaan kredit.

"Kalau korporasi besar kalau investasi baru maka akan menunggu pemilu tetapi kalau untuk produk yang sudah ada biasanya tetap jalan," tutur Aviliani dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (Selasa, 06/06/2023).

Data CEIC menunjukkan pertumbuhan kredit menjelang pemilu biasanya akan melandai. Kredit bahkan akan turun cukup tajam di saat pilpres putaran pertama di mana biasanya persaingan masih terbuka.

Pada pilpres putaran pertama 2004, masa kampanye berlangsung pada Maret-April. Pilpres diikuti lima pasangan capres dan cawapres dan dilakukan dua putaran. Pilpres 2004 adalah kali pertama masyarakat Indonesia memilih presiden secara langsung.

Ketatnya persaingan membuat pelaku usaha menahan diri hingga membuat laju kredit turun tajam dari kisaran 20% pada 2003 menjadi 16-18% pada Januari- April 2004.
Kredit kembali ke kisaran 20% pada Mei atau setelah pemilu.

Pelemahan kredit secara tajam juga terjadi menjelang pilpres 2009 yang digelar pada Juli 2009. Rata-rata pertumbuhan kredit menembus 32% pada 2008 tetapi dengan cepat anjlok ke 18,9% pada Mei 2009 dan terjun menjadi 14,6% pada Juli 2009.
Berbeda dengan 2004, perlambatan kredit pada 2009 juga dipengaruhi oleh Krisis Finansial Global.

Pelemahan kredit kembali terjadi pada 2014 menjelang pilpres yang digelar pada Juli. Kredit masih tumbuh 21% pada Januari 2014 tetapi terus melambat hingga mencapai 15,4% pada Juli 2014.

Lagi-lagi, kredit melemah di tahun pemilu 2019. Kredit masih tumbuh 12% pada Februari 2019 tetapi terus anjlok dan menyentuh 11,06% pada Mei 2019.
Kredit double digit pada Mei 2019 sekaligus mengakhiri era pertumbuhan kredit double digit. Setelah periode itu, kredit selalu tumbuh single digit hingga Juni 2022.

Seperti diketahui, pilpres sendiri digelar pada Juli 2019 dan Jokowi memenangi pemilihan umum. Namun, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Pendukung Prabowo bahkan protes ke jalan hingga meledaklah kerusuhan pada Mei.

Ketidakpastian hukum membuat dunia usaha menahan diri.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan kredit modal kerja pada Juli 2019 melambat menjadi 9,5%. Padahal, pada awal tahun 2019 masih tercatat 12,9%.

Kredit juga Melambat karena Ekonomi Lesu dan Suku Bunga Tinggi

Selain tahun politik, kredit juga melambat karena ekonomi global dan domestik diproyeksi melemah pada tahun ini. Juniman memproyeksikan ekonomi Indonesia melambat pada tahun ini menjadi 5,05%, dari 5,31% pada tahun lalu.

Bank Dunia juga memproyeksi jika ekonomi domestik hanya akan tumbuh 4,9% pada tahun ini. Ekonomi Indonesia akan melambat sejalan dengan melemahnya perekonomian global serta turunnya harga komoditas.

Dengan ekonomi yang melambat maka permintaan kredit juga akan lesu.
Melambatnya ekonomi juga berdampak kepada pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Data BI mencatat pertumbuhan DPK terus melambat dari 9% (yoy) pada akhir tahun lalu menjadi 6,8% (yoy) pada April 2023.

Tingginya suku bunga juga ikut membuat pelaku usaha mengurangi ekspansi karena ongkos pinjaman makin mahal.
BI telah menaikkan suku bunga sebesar 275 bps menjadi 5,75% sejak Agustus 2022. Kebijakan BI ini tentu saja ikut mendongrak bunga pinjaman.


Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan suku bunga kredit korporasi sudah naik dari 7,9% pada Juli 2022 menjadi 8,42% per Maret 2023.

"Perlambatan kredit yang ada juga sejalan dengan perlambatan pertumbuhan DPK. Perbankan juga berhati-hati untuk menyalurkan kredit karena naiknya suku bunga, turunnya permintaan global maupun domestik akan mempengaruhi kemampuan korporasi membayar hutang," imbuh Juniman.

Senada, ekonom CORE Indonesia & Dosen Perbanas Institute  Piter Abdullah menjelaskan perlambatan pertumbuhan kredit karena pemulihan ekonomi tidak secepat harapan.
Pemulihan ekonomi juga tidak merata di semua sektor usaha.
"Dunia usaha masih perlu waktu untuk melakukan ekspansi. Bagaimanapun banyak perusahaan dan sektor usaha yang masih berjuang memperbaiki kinerja mereka," tutur Piter kepada CNBC Indonesia.

Dengan ekspansi yang masih minim maka perusahaan pun tidak membutuhkan banyak pinjaman untuk membiayai bisnis.
Piter menambahkan perbankan juga kini lebih memilih untuk menyalurkan kredit yang berkualitas. Artinya, kredit akan disalurkan kepada sektor-sektor yang memang memiliki kemampuan berkembang daripada menyalurkan kredit dalam jumlah besar tetapi risikonya tinggi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation