CNBC Indonesia Research

Dibalik Potensi Melimpah: Buruh Sawit Punya Masalah Serius!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
01 May 2023 16:35
Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
  • Namun, angka ini nyatanya tidak diikuti oleh kesejahteraan petani kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, masih ada riuh temuan eksploitasi anak sebagai buruh dalam industri kelapa sawit.
  • Inilah yang patut menjadi refleksi bagi kita semua bagaimana potensi sumberdaya alam yang baik juga turut seiring memberikan manfaat bagi masyarakat pedesaan utamanya buruh.

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,99 juta hektare (ha) pada 2022. Jumlah itu meningkat 2,49% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang seluas 14,62 juta ha.

Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan menjadi wilayah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia dari tahun ke tahun. Dengan begitu, penghasil kelapa sawit terbesar berada di Sumatra dan Kalimantan.

Namun, angka ini nyatanya tidak diikuti oleh kesejahteraan petani kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, masih ada riuh temuan eksploitasi anak sebagai buruh dalam industri kelapa sawit.

Berdasarkan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan pekerja anak dimungkinkan jika melakukan praktik kerja yang tidak tergolong pekerjaan berbahaya di bawah 3 jam per hari.

Ada pula beberapa laporan dari Lembaga Swadaya Masyarakat menunjukkan praktik pekerja anak di bawah umur dengan durasi waktu dan upah yang tidak wajar.

Badan PBB yang menangani isu anak-anak, UNICEF pada tahun 2016 menyebutkan setidaknya ada 5 juta anak di Indonesia hidup baik sebagai tanggungan pekerja kelapa sawit atau sebagai pekerja.

Dua tahun kemudian pada 2019, Koalisi Buruh Sawit merilis Lembar Fakta Buruh Sawit yang menemukan kembali adanya pekerja anak di perkebunan kelapa sawit.

Laporan tersebut menunjukkan, fenomena buruh anak ini terjadi karena ada anggapan keliru bahwa anak bekerja dan membantu orangtua merupakan bagian budaya Indonesia.

Anak-anak tersebut bekerja secara tidak langsung untuk perusahaan sebagai buruh kernet atau tukang pemungut brondol (biji dari satu tandan sawit) hingga pembantu perkebunan.

Ini juga dilengkapi dengan sebuah studi yang dilakukan oleh Dayang Haszellinna binti Abang Ali (University Malaysia of Sarawak) dan G. Reza Arabsheibani (London School of Economics di London, Inggris), para pekerja anak ini dibayar tunai, namun 84% dari penghasilan anak-anak diberikan kepada orang tua mereka.

Tugas mereka, umumnya, adalah memetik kelapa sawit, mengumpulkan brondol dan beberapa membantu pengangkutan rata-rata 10 kilogram dengan jarak 250 meter.

Serangkaian laporan ini memberikan gambaran kita semua bahwa buruh anak di sektor perkebunan masih merajalela.

Penyebabnya utama tentu saja berkaitan dengan kemiskinan di daerah pedesaan menjadi alasan para orangtua membuat anak-anak mereka ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Meskipun pada September 2022 tingkat kemiskinan perdesaan September 2022 sudah lebih rendah dibandingkan pada September 2019. Angkanya turun sebesar 0,24% poin yakni dari 12,60% menjadi 12,36%.

Namun, meskipun tingkat kemiskinan perdesaan sudah kembali normal di bawah angka sebelum pandemi, nilainya masih lebih tinggi dari tingkat kemiskinan di perkotaan.

Kendati demikian, jika dibandingkan dengan Maret 2022, baik tingkat perdesaan maupun perkotaan mengalami kenaikan tingkat kemiskinan. Dimana untuk tingkat kemiskinan perdesaan sebesar 12,36% dari sebelumnya 12,29% dan perkotaan 7,53% dari sebelumnya 7,50%.

Praktik buruh anak di perkebunan kelapa sawit, pada dasarnya, dipicuoleh rendahnya upah untuk buruh dewasa serta kewajiban untuk mencapai target kerja dan mendapatkan uang tambahan.

Dengan kewajiban tersebut, para buruh dewasa (orangtua) ini akhirnya mengizinkan anak-anak untuk ikut bekerja karena terbuai dalam cara hidup yang diatur oleh kapitalis.

Harapan mereka memasuki industri kelapa sawit adalah mendapatkan manfaat ekonomi, meningkatkan standar hidup seperti konsumsi gizi dan kualitas makanan. Namun, kenyataannya malah sebaliknya.

Inilah yang patut menjadi refleksi bagi kita semua bagaimana potensi sumberdaya alam yang baik juga turut seiring memberikan manfaat bagi masyarakat pedesaan utamanya buruh.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation