
Adaro Siap Buyback Rp 4 T, Kok Sahamnya Masih Terkapar?

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten pertambangan batu bara milik Garibaldi 'Boy' Thohir, Adaro Energy Indonesia (ADRO), kembali meneruskan pelemahan sejak awal tahun meskipun perusahaan telah mengumumkan aksi korporasi pembelian kembali (buyback) saham perusahaan.
Dalam pengungkapan di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Adaro menyebut akan menggelontorkan dana hingga Rp 4 triliun untuk aksi buyback kali ini yang berlangsung selama tiga bulan, di mulai sejak 15 Februari 2023.
Aksi korporasi ini dilakukan oleh Adaro salah satunya karena harga saham perusahaan yang telah tertekan dalam dan di sisi lain perusahaan juga memiliki likuiditas jumbo dengan posisi arus kas yang mumpuni.
Pasar sempat merespons positif pengumuman buyback saham Adaro, meski kemudian harganya kembali turun dalam beberapa hari perdagangan terakhir.
Hingga akhir perdagangan pekan lalu (17/2) saham ADRO telah kehilangan seperempat kapitalisasi pasarnya atau melemah hingga 25% sejak awal tahun 2023.
Pelemahan ini sejatinya terjadi secara luas nyaris di seluruh emiten batu bara, namun pelemahan terbesar terjadi di saham milik saudara Menteri BUMN RI tersebut. Adaro juga menjadi emiten utama yang membebani kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun ini, berada tepat di belakang Bayan Resources (BYAN) yang sejak awal tahun kapitalisasi pasarnya telah lenyap Rp 84,14 triliun.
Sebelumnya, ADRO juga telah melakukan aksi buyback pada akhir tahun 2021 lalu dan sempat diperpanjang sebanyak empat kali. Secara total selama periode pelaksanaan perusahaan berhasil membeli kembali 1 miliar saham atau mengurasi 3,13% saham beredar dari pasar.
Dalam pelaksanaan periode pertama buyback sebelumnya, saham ADRO tercatat menguat 47% selama periode 27 September hingga 26 Desember 2021. Penguatan ini salah satunya juga ikut ditopang oleh kondisi krisis energi yang mulai membayangi Eropa.
Hingga akhir pelaksanaan pada 16 Desember lalu, saham ADRO tercatat berada di harga Rp 3.900 per saham atau menguat 158% selama periode buyback yang berlangsung sekitar 15 bulan. Akan tetapi melesatnya harga saham ADRO sepanjang tahun 2022 secara lebih dominan disebabkan oleh melonjaknya harga batu bara global setelah meletusnya perang Ukraina-Rusia.
Pelemahan Harga Komoditas Jadi Ancaman
Lonjakan harga batu bara yang sempat menjadi berkah bagi emiten tambang kini berbalik menjadi ancaman dengan investor mulai membatasi paparan pada saham-saham di sektor energi.
Sejak awal tahun investor ramai-ramai melepas saham batu bara dan energi secara luas dan menyebabkan sektor energi menjadi sektor yang mengalami koreksi paling dalam atau ambles nyaris 9% tahun ini.
Saat ini kondisinya juga masih belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pembukaan ekonomi China yang diharapkan dapat memberikan dorongan atas peningkatan permintaan batu bara, masih belum terealisasi.
Permintaan dari China semula diperkirakan melambung setelah liburan Hari Raya Imlek urung terjadi karena pemulihan industri besi baja serta sektor konstruksi masih relatif lamban.
Di sisi lain, pasokan batu bara terus menggunung karena perusahaan tambang sebelumnya secara langsung telah meningkatkan produksi sebagai bentuk antisipasi.
Pasokan batu bara di delapan pelabuhan China bagian utara mencapai 35,96 juta ton pekan lalu. Level sebanyak itu adalah yang tertinggi sejak April 2020 atau pada awal pandemi Covid-19.
Selain itu, kondisi cerah dan hangat di Eropa juga ikut menjadi biang keladi. Dengan pasokan batu bara yang masih melimpah dan pasokan energi lain yang masih relatif aman, harga gas Eropa turun ke level terendah dalam 17 bulan ke bawah 50 euro/MWh.
Melansir data Refinitiv,pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (17/2/2023), harga gas alam ditutup di posisi 49,05 euro/MWh. Harganya anjlok 5,7% sehari dan 9,1% sepekan. Padahal, harga gas alam sempat menyentuh 339,20 euro/MWh pada 26 Agustus lalu.
Jika menghitung rekor tertingginya pada 26 Agustus 2022 lalu maka harga gas sudah ambruk 85,5%. Eropa diperkirakan akan mengakhiri musim dingin dengan pasokan gas rata-rata mencapai 53%. Stok yang melimpah ini menghapus kekhawatiran pelaku pasar akan ketatnya pasokan.
Kondisi yang sedang berlangsung di China dan Erpa ikut menyeret turun harga batu bara yang pada pekan lalu ditutup di harga US$ 183 dan menjadi yang terendah dalam 13 bulan terakhir.
Kondisi siklikal juga berpotensi menekan turun harga batu bara, khususnya apabila permintaan dari China tidak kunjung bertambah signifikan. Setiap tahunnya, permintaan batu bara mengikuti siklus di mana akan tinggi jelang dan sepanjang musim dingin dan permintaannya turun sepanjang musim panas, karena kebutuhan energi yang jauh lebih sedikit.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd)