
Amit-amit! Kalau Proyek Lumbung Pangan Gagal, Apa Dampaknya?

- Proyek lumbung pangan kerap di bangga-banggakan oleh Pejabat di Indonesia karena dianggap mampu dijadikan upaya untuk menjaga ketahanan pangan di Tanah Air. Tapi apakah faktanya begitu?
- Tentu saja proyek besar ini menuai pro dan kontra sebab data jelas dan terintegrasi belum disajikan dengan gamblang. Apakah berhasil atau tidak.
- Amit-amit! Kalau proyek ini gagal bagaimana dampaknya? Serta siapa yang akan bertanggung jawab?
Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek lumbung pangan kerap menjadi kebanggaan para pejabat negeri ini. Memang, pada dasarnya proyek ini membawa niat baik yakni merespon urgensi ancaman krisis pangan. Terlebih, kita memang belum sepenuhnya keluar dari masa pandemi Covid-19 serta tekanan ekonomi global yang sewaktu-waktu bisa saja menjadi bumerang bagi negara kita.
Apalagi, beberapa penelitian sudah mengungkapkan krisis pangan diperkirakan akan melanda dunia dalam 50 tahun ke depan. Hal ini disebabkan karena kondisi pasca pandemi Covid-19 serta perubahan iklim.
Menurut laporan yang dirilis Global Network Against Food Crisis (GRFC) dan Food and Agriculture Organization (FAO) pada akhir 2019 lalu, setidaknya ada 135 juta orang di 55 negara mengalami krisis pangan akut.
Peringatan FAO akan ancaman krisis pangan di tahun-tahun mendatang mendapat perhatian yang cukup besar dari Indonesia. Sebagai negara dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, Indonesia pun tidak terlepas dari ancaman krisis pangan global.
Hal ini disebabkan karena semakin tingginya jumlah penduduk, semakin tinggi tingkat kebutuhan konsumsi pangannya terutama bahan pokok seperti beras, singkong, dan sorgum.
Selain sebagai negara tropis, Indonesia juga dihadapkan dengan ancaman perubahan iklim seperti musim kemarau yang panjang. Kedua kondisi ini dihadapkan dengan wabah pandemi Covid-19 yang tidak menentu sehingga mendorong nasib sektor pertanian tidak terkendali.
Oleh karena itu, negara dituntut untuk melakukan tindakan nyata guna mempertahankan ketahanan pangannya di tengah kondisi ketidakpastian ini
Diketahui, dalam acara Global Food Security Forum akhir tahun lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto unjuk gigi bahwa Indonesia memenuhi suplai pangan 8 miliar penduduk melalui program lumbungan pangan nasional atau food estate.
Sebelum beranjak lebih jauh, kalau bicara ketahanan pangan Indonesia berdasarkan skor Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) Indonesia tercatat sebesar 60,2 poin pada 2022.
Skor indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia pada 2022 dalam kategori moderat (skor 55-69,9 poin). Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara. Masih terbilang moderat dan tak boleh lengah.
Memang salah satu langkahnya adalah mengubah sekitar delapan juta hektare hutan yang terdegradasi untuk menjadi lahan produksi komoditas pangan, misalnya singkong.
Ketika kita bicara proyek besar, tentu kita berbicara keberhasilan. Tak melulu soal yang baiknya saja agar menjadi bahan evaluasi dan renungan bersama.
Secara umum, tak ada data pasti yang terinterintegrasi memperlihatkan berapa luas lahan dan produktivitas per daerah dari food estate ini. Kita memang harus mencari data satu per satu berdasarkan daerah jika ingin tahu perkembangan proyek lumbung pangan ini.
Belakangan sempat heboh food estate yang dicap gagal. Kendati demikian dalam catatan CNBC Indonesia Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membantah keras tudingan atas gagalnya proyek lumbung pangan atau food estate yang tengah digencarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski dinilai tidak berhasil di beberapa daerah, namun Prabowo menegaskan bahwa proyek ini masih dilanjutkan.
Berdasarkan cuitan para aktivis lingkungan di twitter ini menganggap gagalnya food estate dengan menyuguhkan hamparan kebun singkong yang layu serta menganggap produksi masal versi pemerintah di Kalteng justru gagal.
Ya, namanya proyek besar yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia serta datanya juga tersebar dimana mana tentu saja menuai pro dan kontra. Kalau mau dikatakan berhasil, ya pemerintah membetulkan data yang ada dengan menyuguhkan keberhasilan seperti yang diungkapkan.
Namun kita tak perlu begitu membahas terkait berhasil atau tidaknya maupun pro dan kontranya, cukup itu menjadi renungan bagi pemerintah dan perbaikan secara masif agar proyek ini terus berjalan dengan maksimal.
Ada satu pertanyaan besar yang harus dijawab. Kalau seandainyaproyek ini gagal, bagaimana dampaknya?
Berdasarkan informasi yang tersedia di publik, ada dua dasar hukum penggunaan kawasan hutan yang untuk proyekfood estate: Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
IPPKH digunakan dalam pelaksanaan program lumbungn pangan oleh pemerintah di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Kala itu, ketentuan izin telah dimuat dalam Permen LHK No. 7 Tahun 2019 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Dalam beleid tersebut memperbolehkan lembaga pemerintahan mengajukan izi pakai kawasan hutan untuk sektor pangan dengan masa berlaku maksimal 20 tahun.
Selain itu, aturan juga mewajibkan pemegang izin melakukan penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, melaksanakan pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan dan lahan, hingga melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar areal.
Setiap enam bulan, pemegang izin juga wajib membuat laporan mengenai penggunaan kawasan hutan yang dipinjam.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum memiliki pengaturan yang jelas seputar pihak mana yang bertanggung jawab atas pemulihan hutan bekas proyek food estate apabila terjadi kegagalan.
Sebagai catatan penting, melalui proses pemantauan dan evaluasi oleh Kementerian Lingkungan maupun gubernur terhadapfood estatedi dalam kawasan hutan. Tanpa adanya pengawasan dan evaluasi, maka akan sulit ditemukan adanya penyelewengan hingga dugaan pelanggaran.
Hal ini penting mengingat izin yang diberikan tidak mengubah fungsi kawasan hutan yang diusahakan. Jika areal tersebut tercemar ataupun rusak, maka pemegang izin harus memulihkannya seperti sedia kala.
Sebab jika tidak dipulihkan maka akan berdampak buruk bagi lingkungan. Pakar Manajemen Risiko Iklim IPB, Rizal Boer mengatakan bahwa proyek lumbung pangan bisa mengancam komitmen Indonesia untuk mengatasi krisis iklim yang bisa dicapai dengan penurunan luas deforestasi dan perbaikan pengelolaan lahan gambut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)