Market Commentary
Minyak Mentah Dunia Loyo, 5 Saham Energi RI Ambles

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa saham emiten minyak bumi terpantau berjatuhan pada perdagangan sesi I Senin (6/2/2023), di tengah masih lesunya harga minyak mentah acuan dunia.
Berikut pergerakan saham emiten minyak bumi pada perdagangan sesi I hari ini.
Saham | Kode Saham | Harga Terakhir | Perubahan |
Energi Mega Persada | ENRG | 250 | -5,30% |
Medco Energi Internasional | MEDC | 1.230 | -2,38% |
AKR Corporindo | AKRA | 1.325 | -2,21% |
Elnusa | ELSA | 314 | -0,63% |
Astrindo Nusantara Infrastruktur | BIPI | 166 | -0,60% |
Sumber: RTI
Hingga pukul 11:16 WIB, saham pertambangan minyak Grup Bakrie yakni PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) memimpin koreksi yakni ambruk 5,3% ke posisi harga Rp 250/saham.
Selanjutnya di posisi kedua, terdapat saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang ambles 2,38% menjadi Rp 1.230/saham.
Terakhir, ada saham emiten infrastruktur pertambangan minyak bumi yakni PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (BIPI) yang melemah 0,6% menjadi Rp 166/saham.
Harga minyak mentah dunia jatuh hingga 8% lebih karena terseret isu resesi ekonomi global. Resesi memang bukan kabar gembira, tetapi jika harga minyak mentah terus menurun, maka harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri berpeluang turun.
Melansir data Refinitiv, minyak jenis Brent tercatat US$ 79,94 per barel pada perdagangan Jumat pekan lalu, anjlok 2,71% dari posisi sebelumnya. Sedangkan jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) longsor 3,28% menjadi US$ 73,39 per barel.
Sepanjang pekan lalu, harga minyak jenis Brent jeblok 7,8% dan WTI anjlok hingga 7,9%.
Semenjak inflasi memanas, bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) melawannya dengan menaikkan suku bunga acuan. Targetnya adalah membawa inflasi Paman Sam ke 2%. Tindakan agresif dilakukan oleh The Fed guna mengurangi peredaran uang di masyarakat.
Kebijakan ini akan memakan korban, yakni ekonomi AS yang ambruk. Tapi itulah "jalan ninja" The Fed untuk mendinginkan inflasi yang terlanjur panas.
Hasil dari program ini memang terlihat, di mana inflasi AS dari 9,1% (year-on-year/yoy) turun menjadi 6,5% saja dalam enam bulan.
Tapi anomali terjadi alih-alih ambruk, ekonomi AS malah bertahan disertai dengan pasar tenaga kerja yang masih cukup kuat.
Secara mengejutkan, perekonomian Negeri Paman Sam mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 517 ribu orang sepanjang Januari, jauh lebih tinggi di atas survei Reuters sebanyak 185 ribu orang.
Kemudian, tingkat pengangguran yang diprediksi naik menjadi 3,6% malah turun menjadi 3,4%. Rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% (yoy), lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Saat masyarakat mendapatkan pekerjaan, daya beli akan meningkat dan akan menciptakan konsumsi yang kuat. Hal ini akan membuat inflasi berpotensi kembali naik.
Alhasil The Fed bisa saja sewaktu-waktu kembali hawkish dalam urusan kenaikan suku bunga acuan. Targetnya sudah jelas, inflasi di level 2%.
Jika "mimpi buruk" para pelaku pasar jadi kenyataan, isu resesi akan kembali mencuat dan akan menyebabkan kekhawatiran baru mengenai harga minyak mentah dunia.
Perlambatan ekonomi akan membuat permintaan minyak surut. Apalagi jika itu terjadi AS yang notabene adalah konsumen minyak terbesar dunia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)[Gambas:Video CNBC]