CNBC Indonesia Research

Kode BI Tak Kerek Suku Bunga Lagi, Negara Sudah Tak Genting?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 January 2023 16:10
Pengumuman Hasil RDG Bulanan Bulan januari 2023 dengan Cakupan Tahunan. (CNBC Indonesia/Cantika Dinda)
Foto: Pengumuman Hasil RDG Bulanan Bulan januari 2023 dengan Cakupan Tahunan. (CNBC Indonesia/Cantika Dinda)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) Kamis kemarin kembali menaikkan suku bunga acuannya. Tetapi yang menarik, Gubernur BI Perry Warjiyo memberikan kode suku bunga tidak akan dinaikkan lagi, posisi saat ini disebut sudah memadai untuk meredam inflasi.

Lantas apakah artinya kondisi genting sudah berlalu?

Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengingatkan agar semua pihak waspada atas ketidakpastian global ini.

Indonesia berisiko terdampak, meskipun ekonomi nasional masih mampu tumbuh positif setahun kemarin.

"Banyak yang belum memiliki perasaan yang sama. Bahwa kita sekarang ini berada dalam kegentingan global. Kita merasa normal-normal saja padahal keadaan semua negara, termasuk Indonesia itu, berada pada kegentingan global," ungkap Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Musyawarah Dewan Partai Partai Bulan Bintang di Kelapa Gading, Jakarta, dikutip Selasa (17/1/2023).

Salah satu kondisi genting yang dimaksud yakni inflasi yang tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi Desember yang juga menjadi satu tahun penuh 2022 tercatat sebesar 5,51%, tertinggi sejak 2014, atau saat akhir periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan awal Jokowi menjabat RI 1.

Meski demikian, inflasi tersebut sebenarnya menurun dari bulan September 2022 yang nyaris mencapai 6%.

Inflasi inti Desember dilaporkan tumbuh 3,36%, menjadi yang tertinggi sejak Februari 2017.

Meski cukup tinggi, tetapi inflasi tersebut bisa dikatakan terkendali. Apalagi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite pada September lalu, yang dikhawatirkan memicu lonjakan inflasi hingga 8% seperti pada 2013 dan 2014.

BI pun optimistis inflasi inti masih di bawah 4% di semester pertama tahun ini, sehingga memberikan kode suku bunga tidak dinaikkan setelah kemarin mengerek 25 basis poin menjadi 5,75%.

Sejak Agustus lalu, BI sudah menaikkan suku bunga sebesar 225 basis poin.

"Kenaikan 225 bps adalah yang terukur. Kenaikan secara akumulatif ini memadai untuk memastikan inflasi inti tidak akan lebih tinggi dari 3,7% pada Semester I-2023," tutur Perry, dalam konferensi pers pengumuman Hasil RDG Januari 2023,Kamis (19/1/2023).

Perry menambahkan jika tidak ada informasi yang extraordinary dan kondisi di luar perkirakan maka kenaikan suku bunga sebesar 225 bps sudah memadai.

Pernyataan Perry ini menjadi sinyal jika BI kemungkinan besar tidak akan menaikkan suku bunga lagi jika tidak ada kondisi yang luar biasa.

"Kalau tidak ada informasi yang extraordinary, yang kita tidak bisa kita lihat dan kondisi di luar perkiraan, maka kata memadai sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut," imbuh Perry menjawab pertanyaan apakah BI masih akan menaikkan suku bunga ke depan.

Dengan inflasi yang terkendali, maka daya beli masyarakat tentunya akan terjaga. Konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia tentunya masih akan kuat. Apalagi dengan suku bunga tidak terlalu tinggi.

Kondisi dalam negeri terlihat kondusif, kini tinggal melihat eksternal apakah adakan ada kejadian yang extraordinary atau tidak.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> China Bangkit, The Fed Diramal Pangkas Suku Bunga Tahun Ini

Kabar baik datang dari China. Setelah mengalami era tergelap sejak 1976 pada tahun lalu, akibat produk domestik bruto (PDB) yang hanya tumbuh 3%, kini Negeri Tiongkok diprediksi bangkit.

Sebab, pemerintah China mulai melonggarkan kebijakan zero Covid-19. Hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan PDB China diperkirakan akan tumbuh 4,9% tahun ini.

Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua, bangktinya China tentunya menjadi kabar baik.

Kemudian Amerika Serikat (AS), inflasi sudah mulai menurun. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Desember 2022 dilaporkan tumbuh 6,5% year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dari sebelumnya 7,1%. CPI tersebut juga menjadi yang terendah sejak Oktober 2021.

CPI inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan juga turun menjadi 5,7% dari sebelumnya 6%, dan berada di level terendah sejak Desember 2021.

Sebelumnya, Institute for Supply Management (ISM) awal bulan ini melaporkan sektor jasa Amerika Serikat mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam dua setengah tahun terakhir.

ISM melaporkan purchasing managers' index (PMI) jasa turun menjadi 49,6 jauh dari bulan sebelumnya 56,5. Angka di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.

Kontraksi tersebut menjadi tanda gelapnya perekonomian AS pada 2023, resesi sudah membayangi.

Untuk diketahui sektor jasa merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) AS berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya tidak pernah kurang dari 70%.

Dengan kondisi tersebut, pasar kini melihat The Fed akan kembali menaikkan suku bunga 25 basis poin pada Februari nanti, dan sekali lagi dengan besaran yang sama sebulan berselang. Sebabnya, inflasi yang terus menurun.

Ekspektasi tersebut lebih rendah dari proyeksi The Fed sebesar 75 basis poin, hingga menjadi 5% - 5,75%.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar juga melihat The Fed akan memangkas suku bunga di akhir 2023.

Kepala ekonom UBS, Arend Kapteyn, bahkan memprediksi The Fed akan memangkas suku bunga mulai bulan Juli nanti.

"Kami pikir mereka (The Fed) akan memangkas suku bunga tahun ini. Kami pikir yang pertama akan dilakukan pada bulan Juli" kata Kapteyn sebagaimana dilansir Market Insider, Selasa (10/1/2023).

Jika prediksi tersebut benar, suku bunga The Fed tidak lebih dari 5% dan ada peluang dipangkas tahun ini, perekonomian tentunya akan lebih baik, atau setidaknya tidak seburuk prediksi sebelumnya.


(pap/pap) Next Article Suku Bunga The Fed Bisa Sampai 6%, BI Gak Ngeri?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular