CNBC Indonesia Research
Kata Bos JPMorgan Suku Bunga The Fed Bisa 6%, BI Naik Berapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - CEO JPMorgan Jamie Dimon menyebut bahwa The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga ke level 6% untuk melawan inflasi, angka ini akan lebih tinggi dari yang diperkirakan kebanyakan ekonom dan analis tahun ini.
The Fed sejatinya telah menaikkan suku bunga acuan jangka pendeknya secara agresif sepanjang tahun lalu, dari semula mendekati nol pada awal tahun menjadi di kisaran 4,25% - 4,5% pada akhir tahun lalu. Para pejabat The Fed sebelumnya juga telah memberikan sinyal akan menaikkan suku bunga hingga di atas 5% tahun ini.
Dalam wawancara dengan Fox Business Selasa (10/1) pagi waktu New York, Dimon menyebut bahwa bank sentral harus menaikkan suku bunga ke tingkat 5% lalu kemudian mengambil jeda. Dia mengatakan jeda tersebut dilakukan untuk membiarkan para bankir dan ekonom melihat bagaimana ekonomi bereaksi dan apakah inflasi dapat mereda.
Dimon mengatakan jeda tersebut dapat mengungkapkan fakta dan data baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dalam memerangi inflasi tinggi di AS.
"Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang," katanya. "Tapi yang pasti akan turun sedikit."
Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut "mungkin saja 6%."
Suku Bunga Acuan BI Bakal Terbang Ke Angka Berapa?
Bank Indonesia sepanjang tahun lalau telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak lima kali siklus menjadi ke level 5,50% saat ini. Sebelum kenaikan beruntun dalam lima bulan terakhir tahun lalu, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sempat ditahan di level terendah sepanjang masa, 3,50%, selam satu setengah tahun demi menjaga ekonomi dapat tumbuh dan tidak tertekan.
Kenaikan suku bunga acuan BI sendiri lagging dari The Fed dan sejumlah bank sentral utama global lain. The Fed mulai menaikkan suku bunga sejak Maret tahun lalu, sedangkan dari dalam negeri baru dilakukan lima bulan kemudian di akhir Agustus. Keputusan tersebut memang memiliki justifikasi, mengingat kondisi inflasi RI tidak separah yang terjadi di AS.
Akan tetapi, tingginya suku bunga The Fed yang membuat indeks dolar menguat tajam pada akhirnya menjadi tekanan bagi rupiah. Alhasil investor asing ikut memilih untuk mengungsikan dananya ke pasar keuangan lain.
Selain itu, BI juga tidak seagresif The Fed yang telah menaikkan suku bunga hingga tujuh kali tahun lalu, bahkan dalam empat kali siklus sempat menaikkan hingga 75 basis poin (bps). BI kenaikan dalam setiap siklus relatif lebih moderat dengan kenaikan 25 bps atau 50 bps.
Secara total, The Fed telah menaikkan total bunga acuan secara kumulatif sebanyak 4,25% tahun lalu, sedangkan BI menaikkan total 2%.
Saat ini spread suku bunga acuan The Fed dan BI mulai menyempit menjadi 1,13%, dari sebelumnya mencapai 3,25% di zaman pandemi kala suku bunga rendah.
Apabila ramalan Dimon terjadi, BI tampaknya mau tidak mau terpaksa harus ikut mengerek suku bunga acuan ke level yang lebih tinggi demi menjaga stabilitas nilai tukar mata uang dan agar investor asing tidak kabur dari pasar keuangan domestik.
Secara historis, suku bunga acuan BI tidak pernah lebih rendah dari yang ditetapkan negara adidaya tersebut. Terakhir kali suku bunga acuan RI berada di atas 6% terjadi di awal tahun 2016 yang kala itu masih bernama BI Rate belum bertransformasi menjadi BI7DRR seperti yang dikenal saat ini.
Selanjutnya jika ramalan Dimon sampai terjadi, suku bunga acuan BI bisa naik setidaknya lebih dari 7% agar menjaga spread yang sama dengan level yang tercatat saat ini. Namun angka tersebut bisa jadi juga lebih tinggi lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Fakta! Di Dunia Cuma 3 Mata Uang Yang Menguat Lawan Dolar AS
(fsd/fsd)