Newsletter

Tak Ada Kabar Baik dari China, Jepang Tambah Derita Dunia!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 December 2022 05:55
Ilustrasi Bendera Jepang.
Foto: Ilustrasi Bendera Jepang. (Getty Images/Kevin Dietsch)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik yang ditunggu dari China ternyata tidak terjadi, Jepang memperparah situasi yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk. Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah melemah pada perdagangan Selasa.

China dan Jepang yang membuat pasar finansial dunia kembali tertekan dan beberapa faktor lainnya akan dibahas pada halaman 3.

IHSG pada perdagangan kemarin tercatat melemah 0,17% ke 6.768,316, setelah sempat merosot nyaris 1%. Data pasar menunjukkan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 120 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi nyaris mencapai Rp 15 triliun.

Sementara itu rupiah melemah tipis 0,03% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.600/US$.

Dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) juga mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari imbal hasil (yield) yang naik.

Pergerakan harga SBN dengan yield berbanding terbalik. Ketika harga turun maka yield akan naik, begitu juga sebaliknya.

Baik rupiah maupun SBN kini menanti respon Bank Indonesia (BI) setelah The Fed (bank sentral AS) pada pekan lalu mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

The Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin, setelah sebelumnya mengerek 75 basis poin empat kali beruntun.

Sementara itu BI juga agresif dengan menaikkan 50 basis poin sebanyak empat kali. Sejauh ini, langkah BI tersebut sukses memicu aliran modal asing kembali ke pasar obligasi sekunder.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sejak November hingga 16 Agustus, terjadi capital inflow sebesar Rp 46,6 triliun.

Berbaliknya arah angin membuat total dana asing yang keluar sepanjang tahun ini berkurang menjadi Rp 131,5 triliun.

BI diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga Kamis besok. Hasil survei Reuters menunjukkan BI juga akan mengendur dengan menaikkan 25 basis poin menjadi 5,5%. Konsensus yang dihimpun Trading Economics pun sama.

Akan tetapi jika BI memberikan kejutan dengan menaikkan 50 basis poin, aliran modal asing tentunya bisa semakin deras masuk ke dalam negeri, dan bisa mendongkrak kinerja SBN hingga penguatan rupiah.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Akhirnya Menguat

Wall Street (bursa saham AS) akhirnya menguat, sekaligus menghentikan pelemahan 4 hari beruntun. Meski demikian di awal perdagangan kiblat bursa saham dunia ini sempat tertekan.

Indeks S&P 500 berakhir menguat 0,1% dan Nasdaq naik tipis 0,01%. Indeks Dow Jones penguatan paling besar 0,28%.

Kenaikan suku bunga The Fed yang masih akan berlanjut di awal tahun depan memberikan sentimen negatif ke pasar saham.

Tidak hanya The Fed, bank sentral lainnya juga melakukan hal yang sama.

"Lebih dari 90% bank sentral sudah menaikkan suku bunga di tahun ini, upaya (untuk menurunkan inflasi) ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Lawrence Gillum, fixed income strategist di LPL Financial.

Tetapi menurut Gillum, kabar baiknya periode kenaikan suku bunga tersebut sebentar lagi akan berakhir. Artinya, suku bunga tinggi akan segera mencapai puncaknya.

Semakin tinggi suku bunga, maka inflasi bisa diturunkan. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang dikorbankan.

Dengan banyaknya bank sentral mengerek suku bunga, maka dunia terancam mengalami resesi di tahun depan.

Resesi sepertinya hampir pasti terjadi, tetapi seberapa parah itu yang belum diketahui.

Inggris menjadi salah satu yang diprediksi mengalami resesi yang panjang. Tidak hanya itu, Confederation of British Industri (CBI) Inggris memperkirakan Inggris akan mengalami "dasawarsa yang hilang" atau "lost decade".

Jepang pernah mengalaminya, di mana pertumbuhan ekonominya sangat rendah hingga negatif pada periode 1991 - 2000.

"Kita akan melihat dasawarsa yang hilang jika tidak ada langkah yang diambil,"kata Tony Danker, Direktur Jenderal CBI sebagaimana dilansirCNN Business, Rabu (5/12/2022).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini



Selasa kemarin ada dua bank sentral utama yang mengumumkan kebijakan moneter. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang diharapkan memberikan kejutan, dan bank sentral Jepang (BoJ).

Dengan kondisi perekonomian yang melambat dan diperkirakan suram akibat pandemi Covid-19 yang masih melanda, PBoC diharapkan untuk menurunkan suku bunganya (loan prime rate/LPR) guna lebih memacu dunia usaha.

Sebelumnya di awal bulan ini, PBoC sudah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 25 basis poin guna menambah likuiditas ke perekonomian.

Kebijakan tersebut membuat perbankan bisa mengalirkan dana senilai US$ 70 miliar, dan dikatakan memberikan ruang untuk penurunan LPR tenor 5 tahun.

"Penurunan GWM pada Desember menciptakan ruang untuk pemangkasan LPR dalam waktu dekat, khususnya tenor 5 tahun. Kami pikir upaya untuk membantu perekonomian (khususnya pasar perumahan) harus dilakukan secepatnya ketimbang ditunda," kata analis Citi dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Senin (19/12/2022).

Analis Citi tersebut memperkirakan LPR tenor 5 tahun yang saat ini sebesar 4,3% akan dipangkas sebesar 10 basis poin. Sementara LPR tenor 1 tahun tetap sebesar 3,65%.

Citi menjadi salah satu analis dari 27 analis yang disurvei Reuters terkait suku bunga PboC. Dari semua analis tersebut, sebanyak 17 orang memprediksi PBoC masih akan mempertahankan LPR di semua tenor.

Sementara itu 8 analis memprediksi LPR tenor 5 tahun akan dipangkas, dan 2 analis melihat pemangkasan di semua tenor.

Namun nyatanya PBoC tetap mempertahankan LPR.

PBoC sebenarnya dalam dilema, pemangkasan LPR bisa memacu perekonomian, sebab suku bunga tersebut merupakan acuan perbankan menyalurkan kredit. Sementara jika LPR diturunkan, ada risiko nilai tukar yuan akan terdepresiasi lebih dalam lagi.

Sepanjang tahun ini, yuan tercatat melemah lebih dari 9%. Jika terdepresiasi lagi, dikhawatirkan akan memicu peningkatan inflasi.

Sementara itu kejutan justru datang dari BoJ. Bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda ini memutuskan kembali untuk tetap mempertahankan suku bunga rendahnya di minus (-) 0,1%, tetapi kebijakan yield curve control (YCC) diperlebar menjadi 50 basis poin dari sebelumnya 25 basis poin.

YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.

Pembelian tersebut artinya BoJ menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.

Kini dengan YCC diperlebar menjadi 50 basis poin, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.

"Ini diluar perkiraan, kami melihat mereka (BoJ) mulai menguji respon pasar dari exit strategi yang akan diambil," kata Bart Wakabayashi, branch manager di State Street Tokyo, sebagaimana dilansir Reuters.

Pasar sebenarnya melihat BoJ belum akan merubah kebijakannya hingga Maret 2023.

Jika benar BoJ akan bertindak agresif ke depannya, maka era suku bunga rendah resmi berakhir di Jepang. Sekali lagi semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi semakin besar. BoJ pun bakal menambah derita dunia yang diramal mengalami resesi tahun depan. Semua demi meredam inflasi.

Pasar saham pun merespon negatif, indeks Nikkei merosot lebih dari 2% yang menjadi indikasi memburuknya sentimen pelaku pasar. Hal ini masih bisa memberikan dampak negatif ke IHSG, rupiah hingga SBN

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Inflasi Kanada (20:30 WIB)
2. Tingkat keyakinan konsumen AS (22:00 WIB)
3. Rilis stok minyak mentah AS (22:30 WIB)


Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

Cash deviden distribution: PGLI, PPGL, TBLA, POWR
Cash deviden recording: XAFA, BYAN
Right issue distribution: BPTR
Public expose: PTIS, TCPI, UNIC, TOPS, CMPP
RUPS: PGUN, HITS, ATIC


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY)

5,72%

Inflasi (November 2022 YoY)

5,42%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2022)

5,25%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY)

US$ 1,3 miliar

Cadangan Devisa (November 2022)

US$ 134 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Maaf, Belum Ada Kabar Baik! Investor Mesti Waspada Hari Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular