
Banjir Sentimen Pekan Ini, IHSG Bisa Tembus Level 7.100?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air bergerak beragam pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan melemah, sementara nilai tukar rupiah sukses menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Pada pekan ini, banyaknya rilis data ekonomi dari dalam negeri maupun luar negeri, yang patut dicermati investor, yang akan dibahas pada halaman 3.
Pada perdagangan Jumat (25/11), IHSG berakhir di zona merah, melemah 0,39% ke 7.053,15. Asing pun kembali melepas kepemilikan sahamnya di dalam negeri.
Asing net sell Rp 233 miliar. Namun, di sepanjang pekan lalu asing masih terpantau melakukan aksi beli (net buy) hampir Rp 1 triliun.
Dalam lima hari perdagangan terakhir, IHSG hanya menguat 2x dan sisanya mengalami koreksi. Indeks masih terjebak dalam pola sideways di rentang 7.000-7.100. IHSG terkoreksi 0,41% di sepanjang pekan lalu.
Rilis risalah pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengindikasikan berkurangnya magtitude kenaikan suku bunga acuan yang lebih kecil, tidak mampu menjadi motor penggerak IHSG ke atas 7.100.
Meski IHSG sideways sejak akhir Oktober 2022, tetapi kinerja pasar saham domestik masih tetap unggul dibandingkan dengan bursa saham negara lain. Sepanjang tahun ini, IHSG masih memberikan return sebesar 7,17% dan menjadi peringkat 1 di Asia Pasifik serta peringkat 4 di dunia.
Sebenarnya selain risiko pengetatan kebijakan moneter AS, dunia juga tengah menghadapi ancaman lain yaitu reflasi. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, adanya 5 hal yang mencirikan gejolak perekonomian tahun ini maupun tahun depan. Gejolak ini akan membuat kondisi ekonomi global masih dalam kondisi pemburukan.
Menurutnya, ada beberapa tanda mulai dari melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan bahkan ada risiko sejumlah negara resesi. Ekonomi dunia diperkirakannya tahun tahun ini tumbuh 3% dan akan turun menjadi 2,6% pada 2023.
Hal yang kedua adalah inflasi yang tinggi. Tahun ini inflasi dunia menurutnya akan menyentuh 9,2%. Di Amerika Serikat sudah mendekati 8,8%, Eropa 10% dan di Inggris sudah mendekati 11%.
Yang ketiga adalah hal yang disebutnya higher interest for longer. Artinya akan terjadi kondisi suku bunga yang tinggi dan akan berlangsung lama.
Adapun kondisi keempat adalah terus menguatnya mata uang dolar atau strong dolar. Beberapa hari terakhir indeks dolar terhadap mata uang utama atau dxy kata dia pernah mencapai 114. Secara tahun berjalan itu telah menguat hampir 25%.
Kondisi kelima adalah terjadinya fenomena cash is the king. Ini karena risiko investasi di portfolio sangat tinggi sehingga persepsi di investor saat ini adalah lebih baik menarik dana investasinya dari negara emerging market ke negara maju.
Dengan kondisi yang kurang kondusif, wajar bila pergerakan harga aset keuangan masih tertahan. Investor cenderung bermain aman ketimbang mengambil risiko.
Di luar Asia, mayoritas pasar ekuitas sukses melesat di sepanjang pekan lalu. Indeks acuan S&P 500 lompat 1,53% dan Nasdaq Composite naik 0,72%, kemudian FTSE 100 dan DAX Jerman masing-masing naik 1,37% dan 0,64%.
Berbeda nasib dengan IHSG, rupiah sukses menguat terhadap dolar AS di sepanjang pekan lalu. Melansir Refinitiv, Mata Uang Garuda terapresiasi tipis 0,1% ke Rp 15.670/US$. Dalam lima hari perdagangan, rupiah sukses menguat selama tiga hari beruntun.
Penguatan rupiah terjadi seiring dengan terkoreksinya indeks dolar AS di pasar spot sebanyak hampir 1%. Pelemahan indeks dolar AS menyusul rilis risalah rapat Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (FOMC) yang menyiratkan peningkatan suku bunga acuan yang lebih rendah ke depan.
Beberapa analis memprediksikan bahwa dolar AS akan melemah dalam waktu yang lama.
"Kami masih memiliki sentimen risiko positif hari ketiga berturut-turut... Saya pikir itu membuat dolar AS tetap lemah secara keseluruhan," kata Ray Attrill, kepala strategi FX di National Australia Bank dikutipReuters.
Hal serupa juga diungkapkan oleh analis UBS Paul Donovan bahwa dolar AS diprediksikan akan tertekan sedikit lebih lama.
Namun, adanya tekanan outflows di pasar keuangan masih menghantui rupiah, sehingga penguatannya pun terbatas pekan lalu.
Bank Indonesia (BI) mencatat sejak awal tahun ini, asing jual neto SBN sebesar Rp 166 triliun dan beli neto saham Rp 75 triliun.
Artinya secara neto, asing keluar dari pasar keuangan RI sebesar Rp 91 triliun. Dengan nilai yang fantastis tersebut wajar saja jika nilai tukar rupiah masih dibayangi oleh pelemahan sepanjang tahun ini.
Beralih ke AS, bursa saham Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu (25/11/2022) berakhir cenderung melemah. Kedua indeks utama Wall Street kompak terkoreksi, sedangkan Dow Jones sukses parkir di zona hijau.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) berakhir menguat 152 poin atau 0,45% dan sukses membukukan penguatan selama tiga hari beruntun. Sedangkan, indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite kompak melemah yang masing-masing 0,03% dan 0,52%.
Meski begitu, ketiga indeks Wall Street mencatatkan kenaikan di sepanjang pekan lalu. Indeks Dow Jones melesat 1,78%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq naik yang masing-masing sebesar 1,53% dan 0,72%.
Performa pasar ekuitas sempat tidak banyak bergeming karena investor global menantikan rilis risalah pertemuan Federal Reserve. Namun, setelah Fed merilis risalah yang menunjukkan potensi perlambatan pada laju kenaikan suku bunga acuan ke depan, memberikan dorongan pada pasar saham hingga akhir pekan, bahkan di tengah sesi berombak karena volume perdagangan yang lebih rendah.
"Sebagian besar peserta menilai bahwa perlambatan laju kenaikan kemungkinan akan segera terjadi," bunyi risalah tersebut dikutip CNBC International.
Sejumlah, musim rilis kinerja keuangan ritel yang solid menandakan beberapa kekuatan daya beli konsumen, bahkan di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi.
Selain itu, kekhawatiran akan penguncian yang berlanjut di China kembali mencuat, di mana awal pekan lalu China melaporkan kematian Covid pertamnya sejak Mei 2022. China meningkatkan kembali pembatasan Covid setelah melihat jumlah kasus yang meningkat dalam beberapa hari terakhir.
Pekan ini, investor akan melihat lebih banyak musim rilis kinerja keuangan dari Kroger dan Ulta Beauty. Di sisi lain, para pelaku pasar akan menantikan komentar lebih lanjut dari pejabat Fed, serta rilis laporan pengeluaran konsumsi pribadi pada Kamis waktu setempat, yang merupakan indikator inflasi pilihan Fed.
Sedangkan, rilis data pekerjaan per November 2022 akan dirilis pada Jumat waktu setempat.
Di awal perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, salah satunya yaitu bursa saham AS yang cenderung ditutup melemah pada perdagangan Jumat pekan lalu.
Terkoreksinya bursa Wall Street mengindikasikan bahwa investor perlu lebih waspada pekan ini. Selain itu, investor patut mencermati beberapa agenda penggerak pasar yang datang dari dalam maupun luar negeri.
Agenda terpenting pada akhir November adalah Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2022 yang akan digelar pada Rabu (30/11/2022). Pertemuan tahun ini akan bertajuk Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju.
Pertemuan yang dihadiri ratusan bankir dan pelaku industri keuangan tersebut memiliki dua agenda penting yakni mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, dan Gubernur BI Perry Warjiyo.
Presiden biasanya akan menyampaikan pernyataan dan pandangan ekonominya untuk tahun ini dan tahun depan. Menarik ditunggu apakah Presiden Jokowi akan menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan moneter BI yang agresif.
Pada pertemuan tersebut, Gubernur BI juga akan menyampaikan sejumlah target dan sasaran BI untuk tahun depan mulai dari pertumbuhan ekonomi, kredit, hingga laju inflasi.
BI juga akan memaparkan agenda terpenting mereka untuk setahun ke depan, baik kebijakan moneter maupun prudensial mereka.
Pada hari yang sama, Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell juga akan berpidato mengenai kebijakan moneter dan tenaga kerja di Hutchins Center.
Setelah risalah pertemuan The Fed dirilis pekan lalu dan mengisyaratkan pelonggaran moneter, publik kini menunggu pernyataan dari Powell secara langsung.
Pernyataan Powell pada acara tersebut hampir dipastikan akan mempengaruhi market mengingat besarnya pengaruh kebijakan The Fed di pasar keuangan global.
Selain itu, data Lowongan Kerja dan Survei Perputaran tenaga Kerja (JOLTS) untuk Oktober 2022 akan dirilis juga pada hari yang sama. Jika data tenaga kerja menunjukkan pelemahan, maka pelaku pasar kemungkinan akan semakin meyakini jika pelonggaran moneter The Fed semakin dekat.
Pada Kamis (1/12/2022), Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis data inflasi untuk November 2022.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu IV November 2022, inflasi November diperkirakan mencapai 0,18% (month to month). Kondisi ini berbanding terbalik dengan deflasi 0,11% pada Oktober.
Komoditas utama penyumbang inflasi adalah telur ayam ras, tomat, daging ayam ras, air kemasan, emas perhiasan, rokok kretek filter, beras, hingga minyak goreng.
Laju inflasi November akan menjadi perhatian pelaku pasar karena akan menjadi pertimbangan BI dalam menentukan suku bunga pada Desember mendatang.
Secara year on year (yoy), inflasi pada Oktober 2022 mencapai 5,71% atau melandai dibandingkan September yang tercatat 5,95%.
BI dalam pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini memperkirakan inflasi akan berada di kisaran 5,6% pada akhir tahun ini. Proyeksi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan perkiraan awal yakni 6,3%. Bila inflasi melandai maka ada harapan BI akan mengerem kebijakan moneter agresifnya.
Pada hari yang sama yakni Kamis, S&P Global juga akan merilis kondisi manufaktur dalam bentuk laporan Purchasing Manufacturing Index (PMI).
PMI Indonesia melambat ke 51,8 pada Oktober 2022 dari 53,7 pada bulan sebelumnya. Menarik ditunggu apakah PMI akan kembali melambat pada November sebagai sinyal perlambatan penerimaan atau kembali melonjak.
S&P Global juga akan merilis data PMI untuk benua Asia. Indeks PMI China akan menjadi sorotan utama. Caixin China General Manufacturing PMI sudah berada di bawah 50 atau fase non-ekspansif selama tiga bulan beruntun dari Agustus- Oktober 2022.
Indeks diperkirakan masih akan melambat karena melonjaknya kasus Covid-19 di China pada bulan ini. Perlambatan manufaktur China akan menjadi alarm bagi negara-negara yang menggantungkan ekspornya ke China, seperti Indonesia dan Korea Selatan.
Dari Benua Biru, laporan inflasi juga akan menghiasi hari Kamis ini (1/12) diantaranya dari Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol. Tingkat inflasi tahunan di kawasan Euro menjadi perhatian karena akan menentukan kebijakan moneter European Central Bank (ECB). Inflasi pada kawasan tersebut meningkat ke level tertingginya pada Oktober 2022 ke 10,6% (yoy).
Terakhir, investor juga perlu memantau perkembangan data tenaga kerja AS per November. AS akan merilis data tenaga kerja November pada Jumat (2/12).
Sebagai informasi, tingkat pengangguran AS meningkat ke 3,7% pada Oktober 2022 dari 3,5% pada September. Jika data tenaga kerja AS memburuk maka ekspektasi pelonggaran kebijakan The Fed akan semakin meningkat.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- Penjualan Ritel Australia per Oktober 2022 (07:30)
- Pidato Presiden ECB Christine Lagarde (09:00)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Pembagian dividen Rp 10/saham PT Avia Avian Tbk (AVIA)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q III-2022 YoY) | 5,72% |
Inflasi (Oktober 2022 YoY) | 5.71% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,75% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q III-2022) | 1,3% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | (US$ 1,3 miliar) |
Cadangan Devisa (Oktober 2022) | US$ 130,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/luc) Next Article Mayday, Mayday! Hantu Resesi AS Buat IHSG Kritis: Ada Peluang Rebound?