Newsletter

China Lockdown hingga Rusia Mau Damai, IHSG Gamang?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
29 March 2022 06:20
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup cerah pada perdagangan Senin (28/3/2022) kemarin. Indeks merangkak naik nyaris menyentuh kembali rekor tertinggi.

Bursa saham Tanah Air tersebut ditutup menguat 0,67% ke level 7.049,6 meskipun awal perdagangan sesi I, IHSG sempat terkoreksi. Namun selang beberapa menit, IHSG terus menanjak hingga akhir perdagangan.

IHSG bahkan sempat nyaris membentuk level tertinggi barunya di menit-menit terakhir perdagangan, di mana level tertinggi intraday kemarin berada di level 7.051,54. Namun pada akhirnya, IHSG berakhir di level 7.049,6 atau sedikit di bawah rekor tertingginya pada Kamis lalu di level 7.049,69.

Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp 14 triliun. Investor asing tercatat masih melakukan pembelian bersih sebesar Rp 857,92 miliar di seluruh pasar, dengan perincian sebesar Rp 742,7 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 115,22 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Adapun saham yang paling banyak diborong investor asing adalah PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) sebesar Rp 453,7 miliar dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sebesar Rp 106,5 miliar. Sebaliknya, penjualan bersih dilakukan asing di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp 261,3 miliar dan di saham PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) sebesar Rp 18,3 miliar.

Cerahnya IHSG pada terjadi di tengah positifnya mayoritas bursa Asia-Pasifik pada hari ini, di mana indeks Hang Seng Hong Kong kembali memimpin penguatan setelah pada awal perdagangan hari ini sempat terkoreksi. Indeks Hang Seng melesat 1,31%.

Harga energi yang tetap tinggi masih membayangi prospek inflasi. Pekan lalu, harga minyak mentah kontrak futures Brent melonjak hampir 9%.

Kenaikan harga minyak juga membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) bertenor 10 tahun melesat mendekati 2,5% yang menjadi level tertingginya dalam dua tahun ini.

Kenaikan yield obligasi pemerintah AS merespons kemungkinan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya.

Pelaku pasar kini mulai memperkirakan bahwa the Fed bisa saja menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bp) pada pertemuan selanjutnya.

Rupiah melemah

Sementara itu, hari ini rupiah bersama mata uang Asia lainnya berguguran di depan dolar AS. Inversi yield obligasi di Amerika Serikat (AS) yang kembali muncul membuat rupiah tertekan pada perdagangan Senin (28/3) kemarin.

Meski demikian, di sisi lain inversi tersebut juga membuat dolar AS tidak terlalu perkasa meski bank sentralnya (The Fed) akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini.

Melansir data Refinitiv, rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.330/US$, tetapi tidak lama rupiah langsung masuk ke zona merah. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.362/US$, atau melemah 0,15%.

Tidak hanya rupiah hampir semua mata uang utama Asia rontok. Hingga pukul 15:03 WIB kemarin, hanya rupee India yang mampu menguat.

Inversi yield obligasi terjadi ketika yield tenor jangka pendek lebih tinggi ketimbang tenor jangka panjang.

Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Inversi yield Treasury terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Indeks saham utama AS berhasil ditutup lebih tinggi setelah sempat galau di tengah perdagangan, sedangkan imbal hasil obligasi tetap mendekati level tertinggi dalam tiga tahun karena investor bersiap menghadapi siklus kenaikan suku bunga dari Federal Reserve.

S&P 500 menambahkan 0,71% pada hari Senin. Saham discretionary konsumen dan real-estate terpantau menguat, dengan sektor energi yang sebelumnya menjadi juara malah memimpin penurunan.

Nasdaq Composite yang berfokus pada teknologi melonjak 1,31% sementara Dow Jones Industrial Average naik 0,27%. Pergerakan tersebut masih mengikuti rebound minggu lalu, setelah saham naik untuk minggu kedua berturut-turut.

Kinerja tiga indeks utama Wall StreetFoto: FactSet
Kinerja tiga indeks utama Wall Street

Pejabat Fed baru-baru ini mengisyaratkan keterbukaan atas potensi kenaikan suku bunga setengah poin persentase jika prospek ekonomi mengharuskan, daripada perubahan seperempat poin persentase yang lebih umum dilakukan. Hal ini menyebabkan para ekonom dan investor mengevaluasi kembali seberapa cepat mereka memperkirakan suku bunga akan naik.

Saham 'meme' melonjak, dengan GameStop naik 25% dan AMC Entertainment Holdings terapresiasi 45%. Saham lain yang juga menguat signifikan termasuk Tesla yang naik 8% setelah pembuat mobil listrik mengatakan akan meminta persetujuan pemegang saham pada pertemuan tahunannya terkait kemungkinan pemecahan saham.

Harga minyak turun setelah Shanghai memberlakukan pembatasan pandemi ketat yang dapat melemahkan permintaan energi di China. Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, turun 6,8%, menjadi US$ 112,48.

Kekhawatiran tentang situasi perang yang berkepanjangan akan mengganggu produksi energi telah menjaga harga minyak di level sekitar $100 per barel dalam beberapa pekan terakhir. Harga yang meningkat juga telah meningkatkan kekhawatiran bahwa konsumen dan masyarakat umum dapat terdampak dan akan memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan pada barang-barang yang tidak penting, sehingga membebani pertumbuhan.

Jatuhnya harga minyak menyebabkan sektor energi S&P 500 melemah, dengan perusahaan-perusahaan energi memangkas kenaikan besar yang sempat dibukukan dalam beberapa pekan sebelumnya. Meski demikian, sektor ini masih tercatat memiliki kinerja terbaik sejak awal tahun ini, tetapi analis memperingatkan bahwa prospek permintaan yang menyusut dapat mendinginkan reli.

Hari ini ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor, dengan mayoritas isu berasal dari luar negeri.

Pertama tentu saja terkait perang Ukraina-Rusia serta implikasinya bagi sektor ekonomi dan bisnis global. Hingga saat ini, perang yang sempat membebani pasar keuangan dunia tersebut masih jauh dari kata selesai, meskipun sudah ada tanda-tanda deeskalasi.

Hal ini terkait laporan pejabat Ukraina yang menyebut pasukan Rusia mulai menarik diri dari beberapa lokasi serangan, Senin (28/3/2022) pagi waktu setempat, termasuk dari ibu kota negara Kyiv.

Sementara itu, Rusia sendiri belum memberi keterangan resmi saat ini. Namun Sabtu lalu, Moskow memberi sinyal akan mengakhiri perang dan hanya berkonsentrasi di Ukraina Timur, Donbass, dengan mengurangi jumlah angkatan bersenjata mereka.

Terbaru, kabarnya kedua belah pihak akan melakukan pembicaraan damai secara tatap muka yang akan berlangsung di Turki hari ini (29/3/2022), ungkap Kremlin yang dilansir Reuters.

Rubel Rusia pun akhirnya terapresiasi di bawah 88 per US$, posisi paling tinggi dalam 4 minggu, dan kini hanya 10% lebih rendah dari dolar AS sejak invasi yang menandakan kontrol modal yang diberlakukan oleh bank sentral Rusia membuahkan hasil, sementara sanksi yang dijatuhkan oleh Barat masih terlalu lemah.

Selain itu, kekhawatiran terkait kemampuan Rusia untuk melaksanakan kewajiban atas utang negaranya telah mereda setelah Kementerian Keuangan mengindikasikan akan melakukan pembayaran kupon dan pokok obligasi negara 2024 senilai US$ 2 miliar.

Dari dunia kripto, bitcoin naik mendekati 6% ke level tertinggi salam lebih dari dua bulan di harga US$ 47.450 karena risk appetite investor yang menajam jelang pembicaraan baru antara Rusia dan Ukraina.

Sentimen utama lain adalah kabar buruk yang datang dari China. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut kembali akan melakukan karantina wilayah (lockdown) di ibu kota Shanghai.

Kenaikan kasus Covid-19 membuat pemerintah China melakukan lockdown dengan membagi Shanghai menjadi dua menggunakan patokan Sungai Huangpu. Distrik di sebelah timur sungai, dan beberapa di baratnya, akan dikunci dan diuji antara 28 Maret dan 1 April. Area yang tersisa akan dikunci dan diuji antara 1 dan 5 April.

Sebagai negara utama tujuan ekspor, lockdown yang dilakukan China tentunya bisa berdampak ke negara perdagangan Indonesia yang sudah membukukan surplus 22 bulan beruntun.

Selanjutnya investor juga perlu memperhatikan volatilitas harga komoditas, yang kian hari semakin sulit diprediksi. Setelah cenderung melemah selama dua pekan sebelumnya, pekan lalu komoditas tambang, energi dan perkebunan kompak menguat.

Akan tetapi lockdown di China dan prospek damai antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak dunia kembali jatuh nyaris 7% pada perdagangan Senin. Tidak hanya itu, komoditas tambang yakni nikel juga ambles 6% pada perdagangan kemarin di LME.

Dari negeri Paman Sam, investor juga akan mencermati mengikuti laporan terkait penggajian (payroll) AS dan data pengeluaran konsumsi pribadi sebagai proksi dan petunjuk seberapa cepat The Fed akan mengetatkan kebijakan moneter.

Baru-baru ini bank sentral AS tersebut telah resmi menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bp) selaras dengan harapan pasar. Meski demikian dari dalam negeri, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuannya, setidaknya sampai Rapat Dewan Gubernur Selanjutnya.

Analis keuangan dan ekonom banyak yang memprediksi bahwa RI setidaknya akan melakukan dua kali kenaikan suku bunga dan paling cepat dilakukan pada kuartal kedua tahun ini. Agresivitas dari The Fed tentu juga mempengaruhi seberapa cepat suku bunga dalam negeri akan naik.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, sekali lagi menegaskan suku bunga 3,50% akan dipertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental.

Sebelumnya, pimpinan tertinggi The Fed telah menyebut bahwa kedepannya mereka dapat saja menaikkan suku bunga secara agresif hingga 50 bps bila benar-benar diperlukan.

Terakhir dari dalam negeri, beredar kabar bahwa PPN 11% juga akan berdampak pada transaksi bursa. Sebelumnya, pemerintah juga baru melakukan pengenaan bea materai Rp 10.000 untuk setiap transaksi saham di atas Rp 10 juta sejak 1 Maret 2022 lalu.

Dalam sebuah surel kepada para nasabahnya yang dikutip CNBC Indonesia Senin (28/3), salah satu perusahaan sekuritas menyampaikan bahwa "berdasarkan peraturan undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Oktober 2021, kami akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 11% untuk transaksi saham."

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

Pidato pejabat bank sentral Eropa (00.30 WIB)

Data ketenagakerjaan dan pengangguran Jepang (06.30)

Indeks keyakinan konsumen Prancis Maret (13.45 WIB)

Buletin kuartalan bank sentral Inggris (18.00 WIB)

Pidato pejabat bank sentral Eropa (19.30 WIB)

Pidato pejabat bank sentral AS (20.00 WIB)

Hari ini setidaknya terdapat empat agenda korporasi yakni:

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Mitra Energi Persada Tbk (KOPI)

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Mulia Boga Raya Tbk (KEJU)

Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC)

Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Eastparc Hotel Tbk (EAST)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:


(fsd/fsd) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular