
Semua Mata Tertuju ke BI & The Fed, IHSG Perkasa Hari Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri pekan lalu dengan melemah tipis. Berbeda, rupiah sukses mencatat penguatan cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG melemah tipis 0,08% ke 6.922,602 selama sepekan lalu. Di pasar reguler, investor asing masih melakukan beli bersih atawa net buy sebesar Rp 1,3 triliun selama sepekan.
Tetapi di pasar nego dan tunai terjadi net sell nyaris Rp 12 triliun. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 108 triliun.
Perang Rusia dan Ukraina masih menjadi penekan bursa saham global minggu lalu. Pasukan Rusia yang dilaporkan semakin mendekati ibu kota Ukraina, Kyiv, membuat sentimen pelaku pasar memburuk sejak Kamis malam yang membuat bursa saham Eropa dan Amerika Serikat (AS) jeblok, bursa Asia pun menyusul kemarin.
Sementara, sepanjang pekan lalu, rupiah mencatat penguatan 0,59% ke Rp 14.300/US$. Di Asia, rupiah menjadi satunya yang menguat di pekan lalu. Bahkan, mata uang Garuda tersebut sempat menyentuh Rp 14.240/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 3 Januari 2022.
Sentimen terhadap rupiah sebenarnya memang sedang bagus, terutama sebelum perang Rusia dengan Ukraina di mulai. Sebab, rupiah didukung fundamental dari dalam negeri yang semakin membaik.
Ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021.
Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Di tahun ini, Bank Indonesia (BI) memprediksi transaksi berjalan akan kembali defisit, tetapi sekitar 1,1% - 1,9% dari PDB. Proyeksi tersebut lebih rendah dari rata-rata defisit pada periode 2012 - 2020 sebesar 2,3% dari PDB.
BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar. Pekan lalu, BI melaporkan cadangan devisa sebesar US$ 141,4 miliar di akhir Februari, naik US$ 100 juta dari bulan sebelumnya.
Sebagai perbandingan, saat terjadi taper tantrum akibat rencana normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed) di tahun 2013, cadangan devisa Indonesia berada di kisaran US$ 105 miliar. Artinya, BI punya lebih banyak "amunisi" untuk menstabilkan rupiah.
Sayangnya, perang Rusia - Ukraina membuat sentimen pelaku pasar memburuk. Perang tersebut juga membuat pelaku pasar kembali "membuang" mata uang utama Asia, meski rupiah masih mampu menguat di minggu lalu.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street kembali merosot selama sepekan lalu. Perang Rusia dengan Ukraina terus memberikan sentimen negatif ke pasar saham global, khususnya Wall Street dan Eropa.
Melansir data Refinitiv, indeks Dow Jones melemah 0,7% ke 32.944,19 pada Jumat (11/3). Selama seminggu Dow Jones jeblok lebih dari 1,3%.
Indeks S&P 500 pada Jumat merosot 1,3% ke 4.204,31, Nasdaq paling parah anjlok 2,18% ke 12.843,81. Dalam seminggu kedua indeks tersebut minus 1,8% dan 3,5%.
Perang Rusia dengan Ukraina yang dimulai sejak 24 Februari lalu terus membuat Wall Street terpuruk, meski ada sedikit kabar baik.
Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Jumat waktu setempat mengatakan ada "arah positif di beberapa bagian" dalam pembicaraan dengan Ukraina. Sementara itu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy mengatakan perang dengan Rusia sudah mencapai "titik balik strategis".
Meski demikian, perundingan kedua negara tidak membahas mengenai gencatan senjata.
"Bursa saham kembali merah di minggu ini, sebab harapan adanya gencatan senjata berakhir mengecewakan, dan menambah lebih banyak ketidakpastian," kata Ryan Detrick dari LPL Financial sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (11/3).
Selain itu, University of Michigan melaporkan indeks keyakinan konsumen Amerika Serikat jeblok menjadi 59,7 di bulan Maret dari bulan sebelumnya 62,8. Angka indeks tersebut menjadi yang terendah sejak September 2011.
"Kabar mengenai jebloknya indeks keyakinan konsumen menunjukkan rumah tangga cemas akan tingginya inflasi dan bisa berdampak pada perlambatan ekonomi yang serius bahkan mungkin resesi," kata Jim Paulson, kepala investasi strategis di Leuthold Group.
Sehari sebelumnya, Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,5%.
Inflasi pada bulan lalu itu menjadi yang tertinggi sejak Januari 1982.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, bahkan memperkirakan warga AS akan merasakan inflasi sangat tinggi dan membuat tidak nyaman.
"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina. Dan saya pikir itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi di semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International, Kamis (11/3).
Selain soal perkembangan konflik di Ukraina yang terus mengguncang pasar akhir-akhir ini, pekan ketiga bulan Maret akan ditandai dengan berbagai rilis data ekonomi dari dalam negeri dan mancanegara. Tentunya, data ekonomi makro tersebut akan turut mempengaruhi pergerakan pasar selama sepekan ini.
Dari dalam negeri, rilis data ekonomi pada Selasa (15/3/2022) meliputi data neraca perdagangan, termasuk nilai ekspor dan impor, pada bulan Februari 2022.
Konsensus yang dihimpun Tradingeconomics memprakirakan, neraca dagang RI kembali surplus sebesar US$ 1,80 miliar.
Data neraca perdagangan pada bulan sebelumnya tercatat surplus sebesar US$ 930 juta, di mana nilai ekspor mencapai US$19,16 miliar naik 25,31% secara tahunan. Nilai impor mencapai US$18,23 miliar naik 36,77% dari Januari 2021.
Selain itu, pada Kamis (17/3/2022), Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan suku bunga acuannya yang diprediksi oleh para ekonom akan tetap berada pada 3,5% seperti pada bulan Februari lalu.
Dari Negeri Paman Sam AS, investor akan disibukkan dengan rilis data ekonomi yang banyak dari awal pekan ini. Pada Selasa (15/3/2022), rilis data harga produsen bulan Februari, di mana pada data bulan sebelumnya naik 1%.
Hal tersebut dipicu oleh melonjaknya harga barang sebanyak 1,3% pada bulan Desember karena penurunan persediaan kendaraan bermotor, pangan, dan energi.
Pada Rabu (16/3/2022), akan rilis data dari penjualan ritel Februari, harga ekspor dan impor. Disusul oleh rilis data keputusan suku bunga acuan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan proyeksi ekonomi pada Kamis (17/3/2022) dini ha.
Sebelumnya, Bos The Fed Jerome Powell menjelaskan kepada Kongres AS bahwa pemulihan ekonomi AS yang cepat tidak lagi membutuhkan kebijakan moneter yang akomodatif. Oleh karena itu, The Fed diharapkan akan mulai menaikkan suku bunga acuan dalam pertemuan periode 15-16 Maret untuk menekan inflasi yang sudah tinggi.
Powell mengatakan, dia cenderung mendukung kenaikan 25 basis poin, tapi adanya potensi The Fed bergerak lebih hawkish jika inflasi tidak mereda seperti yang diharapkan. Dus, setidaknya dapat memberikan sinyal tentang seberapa cepat The Fed akan mengetatkan kebijakan moneternya.
"Saya cenderung mengusulkan dan mendukung kenaikan suku bunga 25 basis poin," kata Powell di hadapan Kongres AS tentang pertemuan Fed Maret minggu ini.
Dia juga menambahkan bahwa perang antara Rusia dan Ukraina menambah tingkat ketidakpastian yang signifikan.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Neraca dagang Prancis per Januari 2022 (14.45 WIB)
Tingkat inflasi India per Februari 2022 (19.00 WIB)
Neraca dagang Rusia per Januari 2022 (20.00 WIB)
Ekspektasi Keyakinan Konsumen AS per Februari 2022 (22.00 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
RUPSLB LPLI (09.30 WIB)
RUPST CENT (14.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY) | 3,69% |
Inflasi (Februari 2022, YoY) | 2,06% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | -4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021) | 0,30% PDB |
Cadangan Devisa (Februari 2022) | US$ 141,4 miliar |
Sumber: Berbagai sumber resmi, diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat