
Perang Jadi Ancaman tapi IHSG Masih Aman?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham domestik mencatatkan apresiasi tipis minggu lalu ketika nilai tukar rupiah melemah melawan dolar AS dan imbal hasil (yield) SBN 10 tahun cenderung mengalami kenaikan.
Rupiah ditutup melemah 0,35% di hadapan greenback dalam perdagangan yang hanya berlangsung 3 hari pekan lalu. Pada perdagangan terakhir Jumat (4/3/2022), rupiah ditutup di posisi Rp 14.385/US$.
Di saat yang sama yield SBN 10 tahun naik 13 basis poin (bps) ke level 6,64%. Kenaikan yield mengindikasikan bahwa harga SBN sedang mengalami penurunan. SBN dianggap sebagai salah satu aset minim risiko domestik. Namun harganya justru melemah saat risiko pasar meningkat.
Aset berisiko seperti saham justru menjadi primadona. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat cukup signifikan pada Jumat (4/3/2022). Indeks melesat 0,87% di level 6.928,33. Hanya saja kinerja IHSG tak terlalu moncer dalam sepekan naik tipis 0,12%.
Konflik antara Rusia dengan Ukraina yang memasuki pekan kedua masih menjadi fokus pelaku pasar. Rusia terus berupaya mengepung ibu kota Ukraina, Kyiv. Ketegangan antara kedua negara masih berlanjut.
Pada Jumat pagi, Ukraina melaporkan bahwa fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklirnya di Zaporizhzhia mengalami kebakaran setelah serangan diluncurkan oleh tentara Rusia. Badan Nuklir Ukraina mengatakan pasukan militer Rusia telah mengambil alih fasilitas tersebut.
Merespons berbagai serangan yang dilancarkan oleh Rusia, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan tindakan Negeri Beruang Merah merupakan sebuah bentuk state terrorism dan dunia harus segera bereaksi menghentikan tindakan tersebut.
Namun ketegangan Rusia-Ukraina tak membuat minat investor asing di pasar saham domestik surut. Hal ini dibuktikan dengan tren banjir dana asing ke pasar saham RI berlanjut.
Asing net buy Rp 6,55 triliun di seluruh pasar. Di pasar reguler asing beli bersih saham-saham Indonesia sebesar Rp 5,95 triliun. Sebenarnya inflow yang masuk ke pasar keuangan domestik juga turut menjadi penahan rupiah tidak terdepresiasi tajam.
Di dalam negeri sentimen datang dari rilis data ekonomi. Pertama adalah indeks PMI manufaktur. IHS Markit melaporkan angka PMI manufaktur RI tercatat turun 2,5 poin di bulan Februari 2022 menjadi 51,2. Meski turun, aktivitas manufaktur RI terpantau masih ekspansif dibuktikan dengan angka indeks masih di atas 50.
Perlambatan yang terjadi dimungkinkan karena adanya serangan gelombang ketiga Covid-19 di dalam negeri yang merebak sejak awal tahun. Tren kasus memang sudah menunjukkan penurunan meski ada volatilitas dari laporan infeksi harian.
Apabila pada pertengahan Februari lalu kasus sempat tembus 64.718 dalam sehari, kini kasus sudah turun di bawah 30 ribu per hari.
Selain PMI manufaktur, Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan terjadinya deflasi sebesar 0,02% secara month to month pada Februari 2022. Namun secara year on year (yoy), inflasi di Indonesia tercatat naik 2,06% dan tergolong masih rendah.
Beralih ke bursa global, aset berisiko berupa saham banyak diobral oleh investor. Alhasil harganya pun anjlok. Tiga indeks saham acuan bursa New York tenggelam di zona merah pada Jumat (4/3/2022).
Indeks Dow Jones melemah 0,53%. Koreksi juga dialami oleh indeks S&P 500 yang melorot 0,79%. Selanjutnya ada indeks Nasdaq Composite yang anjlok 1,66%. Tidak hanya Wall Street saja yang ambles, bursa saham Eropa Stoxx 600 juga terkoreksi 3,6%. Di luar, pasar saham masih merespons kebakaran yang terjadi di fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir Ukraina.
"Saya pikir pasar kemungkinan sedang dalam proses bottoming, tetapi sangat sulit untuk memetakan atau membuat model dari ketegangan geopolitik ini" papar Jeff Mortimer, Direktur Strategi Investasi BNY Mellon Wealth Management.
Saat serangan Rusia ke Ukraina terutama yang menyasar ke fasilitas nuklir milik negara yang bekas Uni Soviet itu terjadi, harga komoditas energi melonjak. Harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) keduanya tembus rekor tertinggi dalam 7 tahun di atas level US$ 110/barel.
Kendati ada serangan tersebut, Gedung Putih tidak serta merta merespons dengan memboikot impor minyak dari Rusia. Eskalasi konflik membuat investor memburu aset-aset minim risiko. Yield US Treasury (SBN AS) untuk tenor 10 tahun turun ke level 1,73% yang mengindikasikan harganya naik.
Saham-saham keuangan AS seperti American Express dan JPMorgan ambles masing-masing 3,8% dan 2,8%. Saham-saham emiten transportasi juga mengalami nasib serupa. Saham United Airlines drop 9% lebih. Saham Delta Air Lines dan American Airlines terkoreksi masing-masing 5,6% dan 7,1%.
Saham-saham teknologi ikut diobral. Nilai kapitalisasi pasar saham Microsoft drop 2% sedangkan Apple terkoreksi 1,8%. Sementara itu saham-saham yang berbasis energi justru diuntungkan oleh kenaikan harga minyak, gas dan batu bara.
Harga saham Occidental Petroleum terbang lebih dari 17% sedangkan DiamondBlack Energy naik 2,7%. Sektor defensif juga kebaikan berkah. Saham Wallmart dan UnitedHealth masing-masing menguat 2,5%.
Kondisi pasar yang volatil dan tidak kondusif membuat investor merotasi alokasi asetnya. Sebagian mulai ditempatkan ke aset safe haven seperti US treasury dan emas yang sebelum konflik cenderung dilepas.
Saham bank yang banyak dikoleksi saat suku bunga akan dinaikkan kembali dilepas, sektor defensif seperti konsumen dan kesehatan kembali diburu. Saat perang, saham yang jadi primadona adalah saham-saham komoditas energi dan yang berbasis pertahanan.
Semakin panasnya hubungan Rusia-Ukraina membuat rilis data ekonomi AS yang ciamik seolah tak berdampak apa-apa. Di bulan Februari 2022, ekonomi AS berhasil mencatatkan penciptaan kerja sebanyak 678 ribu jauh di atas perkiraan konsensus yang hanya 440 ribu. Tingkat pengangguran pun turun ke level 3,8%.
Amblesnya Wall Street di akhir pekan lalu tentu bukan berita baik bagi pasar keuangan Asia yang akan memulai perdagangan pekan ini. Selain pergerakan harga aset keuangan global, ada beberapa sentimen yang perlu dicermati oleh investor.
Pertama masih seputar perkembangan hubungan antara Rusia dengan Ukraina. Apabila ketegangan terus berlanjut, dampak ke aset-aset berisiko akan negatif sedangkan harga komoditas energi akan naik terutama untuk harga minyak dan juga gas.
Di pekan ini juga akan ada rilis data ekonomi AS yang sangat dipantau banyak pihak yakni inflasi. Indeks Harga Konsumen (IHK) AS diperkirakan naik 7,8% secara yoy di bulan Februari 2022 atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mencapai 7,5% yoy.
Apabila rilis resmi pada Kamis pekan ini sesuai dengan ekspektasi pasar, maka sudah semakin jelas bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga acuannya Federal Fund Rate (FFR) pada 16 Maret nanti sesuai dengan yang diperkirakan pasar.
Baik konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina dengan data inflasi sebenarnya memiliki hubungan. Apabila perang Rusia-Ukraina semakin membuat rantai pasok energi global terganggu, harga minyak dan gas semakin tinggi maka inflasi pun akan semakin meningkat.
Tekanan inflasi yang semakin tajam akan berdampak negatif pada perekonomian. Daya beli masyarakat bisa tergerus dan resesi bisa terjadi lagi. Dengan inflasi tinggi dan risiko perang yang semakin meningkat ancaman ekonomi AS mengalami stagflasi seperti tahun 1970-an juga meningkat.
Perang tak hanya membuat harga energi saja yang melesat. Harga pangan juga ikut terdampak. Rusia dan Ukraina secara bersamaan menyumbang hampir 30% ekspor gandum global. Harga gandum pun terbang.
Duet kenaikan harga bahan bakar dan pangan akan memantik inflasi secara global. Bagi Indonesia terutama emiten sektor konsumen, kenaikan harga gandum adalah hal yang buruk. Peningkatan harga gandum terutama untuk emiten seperti INDF, ICBP dan MYOR akan menggerus margin labanya.
Sedangkan harga energi yang naik justru jadi katalis positif bagi emiten terutama di sektor migas dan batu bara. Setidaknya sentimen ini masih akan mewarnai perdagangan pekan ini. Namun secara makro, IHSG yang ciamik sendirian ketika pasar saham lain ambles juga harus diwaspadai karena bisa memantik aksi profit taking yang membuat pasar saham jadi semakin volatil.
Di tengah risiko volatilitas pasar keuangan yang tinggi, sebenarnya momentum ini cocok untuk menerapkan strategi taktikal dengan fokus pada saham-saham yang mendapat katalis positif dari adanya perang dan menghindari saham yang dirugikan saat harga komoditas pangan serta energi melambung.
Dari dalam negeri, akan ada beberapa rilis data ekonomi makro di pekan ini seperti cadangan devisa pada Selasa (8/3/2022), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Rabu (9/3/2022) dan data penjualan eceran pada Kamis (10/3/2022).
Namun sentimen yang datang dari rilis data ekonomi kemungkinan tidak akan terlalu kuat karena fokus masih pada perang Rusia-Ukraina dan kebijakan moneter AS yang bakal segera diketatkan karena inflasi melonjak tinggi.
Berikut beberapa agenda data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data Cadangan Devisa Jepang bulan Februari 2022 (06:50 WIB)
- Rilis data Perdagangan Internasional China (10:00 WIB)
- RUPST PT Capri Nusa Satu Properti Tbk (CPRI) (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Ateliers Mecaniques D'Indonesie Tbk (AMIN) (10:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY) | 3,69% |
Inflasi (Februari 2022, YoY) | 2,06% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021) | 0,30% PDB |
Cadangan Devisa (Januari 2022) | US$ 141,3 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?