
Cerita Inflasi AS Overheat Basi, IHSG Dkk Siap Lanjut Nanjak

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik kembali gagal untuk menunjukkan tajinya. Indeks saham nasional stagnan, harga obligasi pemerintah (SBN) bervariasi sedangkan nilai tukar rupiah loyo melawan dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) konsisten bergerak di zona hijau pada sesi I perdagangan kemarin (12/1). Namun masuk sesi II, IHSG dibanting ke zona merah dan berakhir stagnan.
IHSG ditutup melemah 0,01% di level 6.647,07. Kendati IHSG gagal take off seperti bursa saham Asia lainnya, asing masih melihat peluang di pasar saham nasional. Hal ini tercermin dari net buy asing di pasar reguler yang mencapai Rp 948 miliar kemarin.
Beralih ke pasar SBN, yield obligasi pemerintah kembali ditutup bervariasi. Yield SBN tenor 5, 10 dan 15 tahun kompak melemah yang mengindikasikan adanya kenaikan harga.
Sementara itu yield untuk SBN dengan tenor jangka panjang seperti 20 dan 30 tahun mengalami kenaikan yang berarti harganya melemah.
Investor memang cenderung memburu obligasi dengan tenor jangka pendek karena dinilai memiliki risiko lebih rendah di saat ada agenda normalisasi kebijakan moneter seperti sekarang ini.
Sebagai informasi, kenaikan inflasi yang tajam di berbagai negara terutama AS membuat bank sentralnya mulai mengambil langkah pengetatan (hawkish).
The Fed sendiri mengambil langkah berupa mempercepat proses pengurangan injeksi likuiditas atau yang lebih dikenal dengan tapering.
Selain itu bos The Fed yakni Jerome Powell juga mengatakan bersiap untuk menaikkan suku bunga acuan sebagaimana diperlukan untuk menjinakkan inflasi.
Isu kenaikan suku bunga the Fed kembali membuat nilai tukar rupiah melemah. Di pasar spot rupiah terkoreksi 0,1% di hadapan dolar AS ke level Rp 14.315/US$.
Dari dalam negeri sentimen datang dari perkembangan Covid-19 dan vaksinasi.
Indonesia melaporkan 646 kasus baru virus Corona COVID-19 pada Rabu (12/1/2022). Total kasus positif menjadi 4.268.097.
Di tengah kabar buruk yang harus kembali kita dengar seputar kenaikan kasus infeksi harian, terselip juga kabar yang cukup melegakan. Kali ini datang dari vaksin.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan vaksinasi ketiga atau booster vaksin Covid-19 yang telah dimulai 12 Januari 2022. Vaksinasi ini diberikan secara gratis.
Jokowi mengungkapkan untuk tahap awal booster vaksin Covid-19 memprioritaskan kelompok lanjut usia (lansia) dan kelompok rentan untuk meningkatkan kekebalan tubuh masyarakat di tengah mutasi virus Covid-19.
Jokowi mengungkapkan alasan pemberian vaksin booster gratis karena keselamatan masyarakat Indonesia adalah yang utama.
Pasar saham AS ditutup kompak menghijau dini hari tadi. Hal ini tercermin dari kinerja ketiga indeks saham acuan AS. Indeks Dow Jones terpantau melaju tipis 0,11%, sementara itu indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing mencatatkan apresiasi sebesar 0,28% dan 0,23%.
Bursa Wall Street yang cenderung menguat tipis ini tentu saja menunjukkan tekanan jual di pasar saham AS sudah tak sebesar minggu lalu.
Rebound harga saham-saham di bursa AS terjadi setelah ketiga indeks terus menerus terkoreksi pekan lalu sejalan dengan kenaikan yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang mendekati 1,8%.
Rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang mencerminkan laju inflasi pada bulan Desember 2021 tercatat tumbuh 7% year-on-year (yoy) dan menjadi level tertinggi sejak 1982.
Meskipun inflasi berada di level tertingginya dalam 4 dekade terakhir, tetapi kenaikan ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar.
Ekonom yang disurvei Dow Jones sudah memperkirakan bahwa IHK AS bulan Desember 2021 bakal naik 7% sesuai dengan angka aktual saat ini.
Sehari sebelumnya bos The Fed hadir untuk memberikan testimoni dan menyampaikan arah kebijakan moneter AS ke depan di depan Senat Perbankan.
Dalam kesempatan tersebut, Jerome Powell selaku ketua bank sentral AS menegaskan bahwa otoritas moneter akan mengambil langkah pengetatan berupa penghentian program pembelian obligasi (tapering) serta menaikkan suku bunga.
Lagi-lagi pidato Powell yang mengindikasikan arah kebijakan The Fed juga sudah diantisipasi oleh pelaku pasar sehingga tidak ada kejutan yang membuat pasar tertekan.
Yield obligasi pemerintah AS 10 tahun juga menurun. Kenaikan yield di pekan perdana tahun 2022 lebih mencerminkan ekspektasi pelaku pasar akan kenaikan inflasi yang terjadi di akhir tahun dan stance hawkish the Fed.
Kini fokus investor beralih pada rilis laporan keuangan oleh emiten saham AS. Musim rilis laporan keuangan perusahaan publik AS akan dimulai pada Jumat pekan ini.
Perusahaan yang dijadwalkan merilis laporan keuangan pertama kali adalah emiten perbankan seperti JPMorgan Chase, Citigroup dan Wells Fargo.
Melihat yield obligasi AS yang turun serta tekanan di pasar saham yang berkurang, membuka peluang bagi aset-aset keuangan di negara berkembang seperti Indonesia untuk naik.
Ada peluang harga SBN naik serta IHSG rebound setelah indeks konsisten terbenam di zona merah sejak awal perdagangan pekan ini.
Selain mempertimbangkan faktor perkembangan pasar keuangan global, investor dan pelaku pasar perlu mencermati sentimen lain terutama dari perkembangan pandemi.
Saat ini dunia kembali dilanda gelombang lanjutan infeksi Covid-19. Kenaikan laju penularan ini diasosiasikan dengan penyebaran varian Omicron yang sudah ditemukan di lebih dari 110 negara.
Meskipun laju penularannya tinggi, tetapi beberapa studi menunjukkan varian Omicron justru tidak seberbahaya Delta.
Namun tetap saja, jika kenaikan kasusnya semakin tinggi dan tak terkendali, hal ini bisa memantik pembatasan yang lebih ketat atau bahkan lockdown.
Merespons kenaikan kasus infeksi yang terus meluas, Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 4,1% dan 3,2% untuk tahun 2022 dan 2023.
Mayoritas negara terutama seperti AS, Eropa dan China akan mengalami perlambatan tahun ini. Dalam laporannya Bank Dunia melihat ada beberapa tantangan atau risiko yang dihadapi oleh negara berkembang seperti rendahnya laju vaksinasi, kebijakan makro yang lemah serta beban utang.
Lebih lanjut, lembaga keuangan global tersebut juga menyebut ada risiko kesenjangan yang timbul setelah Covid-19.
Dari dalam negeri sentimen datang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam konferensi pers-nya kemarin sore, Menko Luhut mengungkapkan bahwa tahun 2022 ini akan dipenuhi banyak ketidakpastian, bukan hanya akibat pandemi dengan varian baru Omicron, melainkan hal-hal lain di luar itu.
Secara keseluruhan sentimen memang masih cenderung beragam sehingga investor masih harus lebih berhati-hati dalam mengambil langkah strategi investasinya.
Dalam jangka pendek, peluang IHSG menguat memang masih terbuka sehingga momentumnya bisa dimanfaatkan untuk mengambil sikap yang cenderung taktikal.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data Perdagangan Internasional Korea Selatan bulan Desember 2021 (04.00 WIB)
- Rilis data Produksi Industri Italia bulan November 2021 (16.00 WIB)
- Rilis data Ketenagakerjaan AS bulan Januari 2022 (20.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Desember 2021, YoY) | 1,87% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 144,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/vap) Next Article Valuasi Murah, Asing Parkir Duit Lagi di Pasar Saham RI