
Amerika 'Banjir' Duit Lagi, Jadi Berkah atau Masalah Bagi RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menghentikan penurunan dalam dua hari beruntun Selasa kemarin. Sebaliknya giliran rupiah yang melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) mengakhiri penguatan dua hari beruntun, sementara Surat Berharga Negara (SBN) nyaris semua tenor mengalami penguatan.
Penguatan IHSG mengikuti pergerakan mayoritas bursa saham Asia lainnya merespon hasil pertemuan Presiden AS Joe Biden dengan Presiden China XI Jinping. Hasil pertemuan tersebut dan beberapa faktor lain yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar hari ini seperti paket kebijakan fiskal AS bernilai triliunan dolar akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
![]() |
Melansir data Refinitiv, IHSG sukses menguat 0,53% ke 6.651,208, meski demikian investor asing kembali menjual bersih (net sell) Rp 62 miliar, tidak sebesar awal pekan lalu yang lebih dari Rp 600 miliar.
Dari pasar obligasi, hanya SBN tenor 10 tahun yang mengalami pelemahan terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang naik 0,9 basis poin ke 6,197%.
![]() |
Pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga naik (yang artinya mengalami penguatan), yield akan menurun, begitu juga sebaliknya.
Sementara itu rupiah melemah tipis 0,07% ke Rp 14.220/US$ setelah sebelumnya sempat menguat ke Rp 14.190/US$. Rupiah memang masih kesulitan menguat belakangan ini.
Memasuki bulan November, rupiah langsung mengalami pelemahan cukup tajam. Sehari setelah bank sentral AS (The Fed) mengumumkan tapering pada Kamis (4/11/2021) rupiah menyentuh Rp 14.385/US$, level terlemah dalam lebih dari 2 bulan terakhir.
Tapering yang dilakukan The Fed memang tidak menimbulkan gejolak di pasar finansial atau yang disebut dengan taper tantrum. Tetapi, kebijakan tersebut membuat rupiah kesulitan menguat. Salah satu penyebabnya, investor asing yang keluar dari pasar obligasi Indonesia.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow dari pasar obligasi sebesar Rp 23 triliun pada periode 1 - 11 November.
Keluarnya investor asing dari pasar obligasi menyusul kenaikan yield obligasi AS (Treasury), sebagai respon tapering The Fed dan ekspektasi kenaikan suku bunga. Pasar melihat, inflasi yang tinggi akan membuat The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun depan.
Suku bunga The Fed saat ini di 0% - 0,25%, sementara di Desember 2022, pasar melihat ada probabilitas sebesar 29,9% suku bunga The Fed di 0,75% - 1,00%. Saat bank sentral paling powerful di dunia ini menormalisasi suku bunganya, kenaikan akan dilakukan sebesar 25 basis poin (0,25%). Artinya, jika suku bunga diperkirakan 0,75%-1,00% di akhir 2022 maka ada 3 kali kenaikan.
![]() |
Ekspektasi kenaikan suku bunga tersebut terbilang agresif, sebab bisa terjadi dalam tempo 6 bulan saja yakni di semester II-2021.
Jika itu terjadi, selisih yield di Amerika Serikat dan Indonesia akan menyempit, sehingga kurang menguntungkan bagi pasar obligasi dalam negeri. Alhasil, terjadi capital outflow yang besar, dan menekan nilai tukar rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Penjualan Ritel Apik, Wall Street Bangkit
Bursa saham AS (Wall Street) yang mengalami pelemahan tipis pada perdagangan awal pekan kembali menguat Selasa waktu setempat. Laporan earning beberapa emiten dan data penjualan ritel yang apik membuat ketiga indeks utama menghijau.
Indeks sektor teknologi, Nasdaq, memimpin penguatan sebesar 0,76% ke 15.973,86, disusul S&P 500 sebesar 0,39% ke 4.700,9, dan Dow Jones 0,15% le 36.142,22.
Walmart mengawali pekan dengan laba bersih dan pendapatan kuartal III-2021 yang melampaui estimasi, dengan kenaikan penjualan pada toko yang sama (same store sales) lompat 9,2%. Perseroan juga mendongkrak target laba bersih per saham akhir tahun menjadi US$ 6,4.
Saham Walmar sempat menguat di awal perdagangan, tetapi berbalik melemah 2,5% di akhir yang membebani indeks Dow Jones.
Di sisi lain, saham Home Depot melesat 5,7% setelah melaporkan lompatan penjualan pada kuartal III-2021 sebesar 9,8%.
Sementara itu data penjualan ritel yang dirilis kemarin juga mendongkrak kinerja Wall Street. Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober tumbuh hingga 1,7%, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,8% dan lebih tinggi dari ekspektasi Dow Jones sebesar 1,5%.
Sementara itu, penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan juga tumbuh 1,7%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7%, dan ekspektasi 1%. Data penjualan ritel tersebut menunjukkan perekonomian AS masih berada pada jalur pemulihan, di tengah inflasi yang tinggi.
"Pendorong utama inflasi sepertinya masih akan bertahan, tetapi perkiraan dasar kami adalah tidak akan memperberat pemulihan yang kita nantikan," tulis Paul Christopher, Kepala Perencana Pasar Global Wells Fargo Investment Institute, seperti dikutip CNBC International.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang kembali menguat pada perdagangan Selasa tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia hari ini. IHSG berpeluang kembali melanjutkan penguatan. Ketika sentimen pelaku pasar sedang bagus, aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi biasanya akan menjadi incaran.
Apalagi penguatan Wall Street ditopang oleh data penjualan ritel yang apik, menunjukkan kuatnya perekonomian Paman Sam.
Namun, rupiah dan SBN berisiko tertekan pada hari ini, sebab data penjualan ritel tersebut membuat dolar AS melesat dan yield obligasi (Treasury) juga naik. Indeks dolar AS kemarin melesat 0,52% ke 95,92, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020.
Sementara itu di awal pekan ini, Presiden AS Joe Biden sudah menandatangani rancangan undang-undang (RUU) infrastruktur senilai US$ 1 triliun atau setara Rp 14.200 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Dengan ditandatanganinya RUU dan menjadi Undang-Undang tersebut maka pendanaan untuk proyek infrastruktur akan cair dan tentunya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi AS lebih tinggi lagi.
Proyek infrastruktur tersebut mencakup dari jalan raya, jembatan, pelabuhan, transit kereta api, air bersih, jaringan listrik hingga internet pita lebar (broadband). Tidak sampai di situ, sebelum akhir tahun ini paket kebijakan ekonomi senilai US$ 1,75 triliun (Rp 24.850 triliun) juga bisa cair lagi.
House of Representative (DPR) AS berencana akan menyetujui RUU paket ekonomi tersebut di pekan ini. Sama dengan RUU infrastruktur, setelah disetujui di DPR akan diserahkan ke Senat AS. Jika lolos juga maka diserahkan ke Biden untuk ditandatangani dan menjadi Undang-Undang.
Senat AS, Chuck Schumer mengatakan RUU yang disebut Build Back Better Act tersebut akan disepakati sebelum Natal. "Build Back Better Act sangat penting bagi Amerika Serikat, kami yakin ini sangat populer bagi warga Amerika, kami berencana meloloskannya sebelum Natal," kata Schumer, sebagaimana diwartakan CNBC International.
Paket kebijakan infrastruktur yang sudah cair, dan paket ekonomi yang akan cair tentunya berdampak bagus bagi perekonomian AS yang bisa memberikan efek positif ke negara lainnya. Ketika negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut bangkit, negara lainnya juga akan terkerek.
Selain itu dari pasar finansial, kebijakan fiskal tersebut tentunya akan berdampak positif ke bursa saham. Wall Street berpeluang menguat, dan juga mengerek bursa saham lainnya termasuk IHSG.
Namun, ada juga risikonya. Amerika Serikat saat ini sedang mengalami inflasi yang tinggi.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Kebijakan fiskal era Biden tentunya membuat perekonomian AS kembali "banjir" duit, sehingga ada risiko inflasi akan tetap tinggi, bahkan tidak menutup kemungkinan semakin tinggi lagi.
Jika itu terjadi, maka The Fed bisa agresif dalam menaikkan suku bunga. Saat ini saja, pelaku pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun depan. Tentunya, dalam beberapa bulan ke depan jika inflasi masih tetap tinggi atau bahkan meninggi, The Fed bisa jadi diperkirakan akan lebih agresif lagi.
Kenaikan suku bunga yang agresif tentunya bisa menimbulkan gejolak di pasar finansial global, termasuk Indonesia. Aliran modal bisa keluar dari pasar obligasi, dan rupiah berisiko merosot. Guna meredam hal tersebut, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan menaikkan suku bunga yang bisa berdampak kurang bagus bagi perekonomian Indonesia yang masih memerlukan stimulus moneter.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Bank Indonesia (BI) hari ini akan memulai Rapat Dewan Gubernur (RDG) hingga Kamis (18/11) besok, dan akan menjadi perhatian pelaku pasar. Hasil polling Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan menahan suku bunga hingga akhir tahun depan, dan tetap memperhatikan arah kebijakan moneter The Fed.
Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, BI sudah memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 3,5% yang merupakan rekor terendah dalam sejarah. Dengan inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil meski The Fed sudah melakukan tapering, maka tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga bisa dikatakan nihil.
Suku bunga rendah masih diperlukan untuk membantu perekonomian Indonesia bangkit lagi setelah melambat di kuartal III-2021 lalu. Namun, di sisi lain, inflasi tinggi yang melanda Amerika Serikat membuat pasar melihat The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan, yakni sebanyak tiga kali.
Jika itu terjadi, maka rupiah berisiko tertekan sebab selisih imbal hasil (yield) akan semakin menyempit. Sehingga pasar akan menanti petunjuk-petunjuk dari BI bagaimana merespon perubahan kebijakan The Fed.
Sementara itu kabar baik datang dari pertemuan Joe Biden dan Xi Jinping yang digelar secara virtual. Ini merupakan komunikasi terdekat pertama antara dua pemimpin raksasa ekonomi dunia semenjak Joe Biden menjabat Presiden AS.
Pasca pertemuan tersebut kedua negara mengeluarkan pernyataan yang intinya menekankan untuk menghindari terjadinya konflik. AS-China yang "mesra" menjadi kabar baik bagi perekonomian dunia, dan tentunya pasar finansial global.
Ketika kedua negara bersitegang, dan nyerempet ke sektor perekonomian, maka akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya. Sebut saja perang dagang, yang memicu pelambatan ekonomi dunia di tahun 2019.
Presiden Biden mengatakan perlunya ada pembatasan yang masuk akal untuk memastikan kompetisi tidak mengarah ke konflik dan menjaga komunikasi tetap terbuka, berdasarkan rilis Gedung Putih yang dikutip CNBC International, Selasa (16/11).
Sementara itu Pemerintah Beijing mengeluarkan pernyataan jika Presiden Xi Jinping mengatakan hubungan China dan AS kini memasuki "era baru" dengan tiga prinsip yakni saling menghormati, hidup berdampingan dengan damai dan kerjasama yang saling menguntungkan.
"Pertemuan tersebut membahas hal yang sangat luas, mendalam, jujur, konstruktif, substantif dan produktif. Itu membantu menambah saling pengertian antara kedua negara," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Neraca dagang dan pesanan mesin inti Jepang (pukul 6:50 WIB)
- Indeks upah Australia (pukul 7:30 WIB)
- Neraca dagang Singapura (pukul 7:30 WIB)
- Inflasi Inggris (pukul 14:00 WIB)
- Inflasi zona euro (pukul 17:00 WIB)
- Stok minyak mentah AS (pukul 22:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | (5,17% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021) | (0,8% PDB) |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020) | US$ 0,4 miliar |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/sef) Next Article Hari Ini OJK-BI-Sri Mulyani Buka Suara Soal Ekonomi RI, Ada Soal IHSG?
