Kemarin, IHSG mengakhiri hari di posisi 6.552,13. Naik lumayan tinggi, 0,91%.
Jalannya perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak terlampau ramai. Volume transaksi tercatat sebanyak 18,61 miliar unit saham. Lebih rendah dibandingkan rata-rata sepanjang 2021 (year-to-date) yaitu 19,94 miliar unit saham.
Nilai transaksi kemarin adalah Rp 10,77 triliun, juga di bawah rerata yakni Rp 13,47 triliun. Sementara frekuensi transaksi adalah 1,18 juta kali, rata-rata ada di 1,29 juta kali.
Meski perdagangan kurang semarak, investor asing tetap membukukan beli bersih Rp 158,98 miliar di pasar reguler dan negosiasi. Ini membuat nilai beli bersih investor asing sepanjang 2021 menjadi Rp 39,69 triliun.
Saat IHSG menguat, tidak demikian dengan rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Nusantara melemah.
Di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.295 kala penutupan perdagangan. Rupiah terdepresiasi 0,32%.
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama ditutup di jalur hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) finis di posis 36.157,58, naik 0,29%. Sementara S&P 500 menutup hari di 4.660,57 (0,65%) dan Nasdaq Composite berada di 5.811,58 (1,04%). Ketiganya mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Wall Street mampu menguat meski ada kabar besar yang bisa mempengaruhi pasar keuangan dunia yaitu bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) mengumumkan hasil rapat Komite Pengambil Kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC). Akhirnya, The Fed resmi mengumumkan pengurangan pembelian surat berharga alias tapering off.
Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menghantam Negeri Stars and Stripes tahun lalu, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan pemberian stimulus untuk merangsang ekonomi. Selain memangkas suku bunga acuan hingga hampir 0%, The Fed juga memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar per bulan.
Kini dengan ekonomi AS yang semakin pulih, The Fed merasa 'dosis' stimulus itu sudah bisa dikurangi. Sebagai awalan, pembelian aset dipangkas US$ 15 miliar menjadi US$ 105 miliar.
"Dengan mempertimbangkan kemajuan substansial yang terjadi, Komite memutuskan untuk mulai mengurangi besaran pembelian aset sebanyak US$ 10 miliar untuk obligasi pemerintah dan US$ 5 miliar untuk aset beragun kredit properti (mortgage-backed securities). Mulai bulan ini, Komite memutuskan melakukan pembelian obligasi pemerintah senilai US$ 70 miliar dan mortgage-backed securites US$ 35 miliar.
"Mulai Desember, nilai pembelian obligasi pemerintah akan menjadi US$ 60 miliar sedangkan mortgage-backed securities US$ 30 miliar. Komite menilai pengurangan dengan kecepatan itu sepertinya layak untuk dilakukan setiap bulannya, meski bisa disesuaikan tergantung outlook ekonomi," ungkap keterangan tertulis The Fed.
Tapering tentu akan membuat likuiditas di pasar keuangan AS (dan dunia) berkurang. Semestinya ini menjadi pukulan berat buat pelaku pasar, karena lesatan Wall Street (dan bursa saham dunia) sedikit banyak ditopang oleh gelontoran likuditas dari The Fed.
Namun mengapa reaksi pasar sepertinya positif? Mengapa tidak ada kepanikan?
"Pelaku pasar sudah lama memasukkan faktor tapering dalam perhitungan (priced-in). Sebaab, The Fed sudah lama melakukan komunikasi dan menyampaikan rencana mereka berbulan-bulan lalu," kata Danielle DiMartino Booth, CEO Quill Intelligence yang berbasis di Texas (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Powell pun menegaskan bahwa jika nanti ada perubahan dalam kecepatan tapering, maka akan dikomunikasikan dengan baik. "Kami tidak akan mengejutkan pasar kalau harus mengubah kecepatan tapering. Kami akan menyampaikan berbagai perubahan secara transparan," tutur Powell dalam jumpa pers usai rapat, seperti diberitakan Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen penggerak pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang menggembirakan. Hijaunya Wall Street bisa membuat mental bertanding investor di Asia menjadi siap tempur.
Kedua, pelaku pasar juga perlu mencerna keputusan rapat FOMC kali ini. Soal tapering sudah jelas, bakal berkurang US$ 15 miliar setiap bulannya. Dengan kecepatan ini, tapering akan rampung dalam delapan bulan, persis dengan ekspektasi.
Seperti yang disebut sebelumnya, tapering sepertinya sudah masuk hitungan pelaku pasar. Semua sesuai ekspektasi, tidak ada kejutan. Pelaku pasar sudah menyesuaikan diri dengan baik.
"Ada beberapa alasan pengetatan kebijakan moneter di AS tidak akan menyebabkan eksodus arus modal asing di negara berkembang seperti 2013. Pertama, yield (imbal hasil) obligasi pemerintah AS sekarang malah turun, tidak seperti taper tantrum 2013. Kedua, pelaku pasar punya waktu berbulan-bulan karena The Fed telah melakukan komunikasi sebelumnya.
"Ketiga, ketahanan eksternal negara-negara berkembang sekarang semakin kuat sehingga mampu meredam tekanan. Defisit transaksi berjalan (current account deficit) membaik, demikia pula cadangan devisa. Keempat, kredibilitas bank sentral negara-negara berkembang pun kini lebih kuat," papar riset Citi.
Oleh karena itu, rasanya dampak tapering ke pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) bakal minimal. Risiko koreksi tentu ada, tetapi kok kemungkinan tidak sampai terjadi aksi jual massal (sell-off). Semua aman terkendali bin kondusif.
'Belanda' memang sudah di depan pintu, tidak lagi masih jauh. Namun kini pelaku pasar sudah siap 'tempur', tidak grasa-grusu seperti taper tantrum 2013.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah setelah tapering selesai The Fed akan langsung menaikkan suku bunga acuan? Sebab, kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam juga bakal 'menggoyang' pasar keuangan dunia, karena arus modal akan 'pulang kampung' ke sana mencari cuan dari suku bunga yang lebih tinggi.
Untuk itu, mari kita simak pernyataan Powell dalam jumpa pers usai rapat. Menurut Powell, sekarang belum saatnya bicara soal kenaikan suku bunga karena pasar tenaga kerja harus dipulihkan terlebih dulu.
"Orang-orang masih belum masuk ke pasar tenaga kerja karena Covid-19. Masih ada ruang untuk menuju maximum employment (penciptaan lapangan kerja yang maksimal," kata Powell.
Kemudian soal inflasi, yang juga penting dalam hal penentuan arah suku bunga acuan. Meski secara umum The Fed menilai percepatan laju inflasi hanya sementara (transitory) belaka, tetapi Powell melihat ada risiko tekanan inflasi akan terus membayangi.
"Kami melihat inflasi yang tinggi bisa persisten. Kami harus siap merespons risiko tersebut. Kami memposisikan diri untuk merespons berbagai hal yang mungkin terjadi," ungkap Powell.
The Fed, lanjut Powell, akan menggunakan berbagai instrumen untuk mengendalikan laju inflasi. The Fed ingin memastikan bahwa inflasi yang tinggi jangan sampai benar-benar menjadi hal yang permanen, sebab akan memukul masyarakat berpendapatan rendah.
Nah, untuk menekan laju inflasi, salah satu kebijakan yang bisa ditempuh adalah menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga akan menyerap likuiditas berlebih di sistem keuangan. Uang beredar berkurang, inflasi (diharapkan) bisa melambat.
Jadi, kapan Federal Funds Rate akan naik?
"Kalau kami memang perlu menaikkan suku bunga, kami akan bersabar. Namun kami juga tidak akan ragu-ragu," tegas Powell.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rllis data ekspor-impor dan neraca perdagangan Australia periode September 2021 (07:30 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Envy Technologies Indonesia Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Budi Starch & Sweetener Tbk (14:00 WIB).
- Road to CNBC Indonesia Awards dengan tema The Best Infrastructure and Logistic Companies (15:00 WIB).
- Pengumuman suku bunga acuan bank sentral Inggris (19:00 WIB).
- Rilis data ekspor-impor dan neraca perdagangan AS periode September 2021 (19:30 WIB).
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk pekan yang berakhir 30 Oktober 2021 (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA