Newsletter

IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi & Wall Street Ambles Lagi, IHSG?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
13 October 2021 06:30
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali ditutup beragam pada perdagangan Selasa (12/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil melesat dan mendekati level psikologis 6.500, sementara nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS).

IHSG ditutup menguat 0,41 % ke level 6.486,27, dengan nilai transaksi di akhir perdagangan tembus lebih dari Rp 19,049 triliun. Sementara, net buy asing mencapai Rp 1,25 triliun.

Sementara, pada Senin waktu AS, Wall Street ditutup ambles di awal pekan. Indeks Dow Jones Industrial melemah 0,72%. Sementara itu S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing terkoreksi lebih dari 0,6%.

Sepanjang hari, ada berbagai sentimen yang bakal mewarnai perdagangan dan patut dicermati investor. Pertama, soal perkembangan krisis likuiditas yang dialami raksasa properti China, Evergrande.

Pemegang obligasi luar negeri Evergrande masih menyimak dan bersiap untuk kabar buruk soal pembayaran kupon obligasi perusahaan senilai US$ 148 juta yang jatuh pada Senin.

Kedua, adalah soal krisis energi yang sampai saat ini belum reda. Krisis energi kini disebut sudah mulai merambah ke AS.

Di tengah banyaknya sentimen global yang cenderung negatif, sebenarnya ada juga sentimen positif yang datang dari dalam negeri.

Penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada Senin (11/10) turun cukup drastis. Konfirmasi kasus positif Covid-19 hanya bertambah 620 kasus. Jumlah ini mirip yang terjadi pada awal pandemi lalu sekitar Juni 2020.

Sementara, rupiah mengakhiri perdagangan di pasar spot di Rp 14.220/US$, melemah 0,07% dibandingkan dengan penutupan perdagangan Senin.

Kecuali di awal Oktober, ketika sempat ke atas Rp 14.300/US$, rupiah sebenarnya bergerak dalam rentang perdagangan di kisaran Rp 14.170/US$ hingga US$ 14.275/US$. Sejak awal September, rupiah selalu bergerak dalam rentang tersebut, atau disebut sideways.

Pergerakan tersebut sebenarnya menunjukkan sentimen terhadap rupiah cukup bagus, tetapi pelaku pasar juga menimbang-nimbang kemana arah dolar AS merespon tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang akan dilakukan bank sentral AS (The Fed) di tahun ini.

Tapering pasti akan dilakukan, yang pengumumannya diperkirakan akan dilakukan bulan depan, dan eksekusi pertama di bulan Desember.

Para pejabat The Fed termasuk sang ketua Jerome Powell sudah sepakat untuk melakukan tapering di tahun ini, tetapi masih ada perbedaan pendapat kapan suku bunga akan dinaikkan, apakah akhir tahun depan atau di tahun 2023.

Sementara itu, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) berbalik menguat pada perdagangan Selasa kemarin, di tengah sentimen negatif di pasar keuangan global--seperti krisis energi hingga kasus EvergrandeĀ di atas--yang menekan pergerakan pasar saham Asia danĀ AS.

Mayoritas investor kembali memburu SBN pada Selaa, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 10 dan 20 tahun yang masih dilepas oleh investor dan mengalami kenaikan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 0,9 basis poin (bp) ke level 6,372%. Sedangkan untuk yield SBN berjatuh tempo 20 tahun naik 3,3 bp ke level 7,23. Sementara itu, yield SBN dengan tenor 25 tahun cenderung stagnan di level 7,189% pada perdagangan Selasa.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Bursa saham AS atau Wall Street kembali kompak terkoreksi ke zona merah, melanjutkan pelemahan pada 2 hari perdagangan sebelumnya. Pelemahan ini terjadi seiring investor semakin gelisah menjelang rilis pendapatan perusahaan AS per kuartal ketiga dan data inflasi terbaru.

Sentimen lainnya adalah soal The Fed yang diperkirakan akan merilis risalah dari pertemuan kebijakan terakhirnya (/FOMC) pada hari Rabu, di mana para pelaku pasar akan mencari petunjuk tentang kapan bank sentral AS tersebut akan mulai mengurangi program pembelian obligasi besar-besaran alias tapering.

Indeks saham Dow Jones Industrial kehilangan 117 poin, terseret oleh penurunan 1,3% pada saham Boeing. Indeks S&P 500 merosot 0,24%. Kemudian, Nasdaq Composite yang berfokus pada saham teknologi melemah 0,14%.

Musim pelaporan pendapatan secara tidak resmi dimulai minggu ini, dengan hasil dari JPMorgan Chase & Co pada hari Rabu dan bank-bank lain menyusul. Saham JPMorgan turun 0,8% pada Selasa, sementara indeks bank S&P 500 turun tipis 0,6%.

Analis memperkirakan adanya pertumbuhan laba perusahaan AS yang kuat untuk kuartal ketiga 2021. Namun, sejumlah perusahaan telah memperingatkan adanya masalah dan investor khawatir tentang bagaimana masalah rantai pasokan dan harga yang lebih tinggi akan memengaruhi bisnis yang sedang berusaha pulih dari pandemi virus corona.

"Secara umum, manajer portofolio institusional berpandangan--mari kita lihat seperti apa pendapatan dan seberapa besar dampak negatif yang terlihat dari kelangkaan, tingkat yang lebih tinggi, dan kemacetan rantai pasokan," kata Michael James, direktur pelaksana perdagangan ekuitas di Wedbush Securities di Los Angeles kepada Reuters, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (13/10/2021).

"Banyak dari faktor-faktor itu saat ini tercermin di mana harga saham sekarang," imbuhnya.

Sementara, saham produsen mobil listrik Tesla melesat 1,7% setelah data menunjukkan sang pembuat kendaraan listrik menjual 56.006 kendaraan buatan China pada September, tertinggi sejak memulai produksi di Shanghai sekitar dua tahun lalu. Saham perusahaan besutan Elon Musk ini memberikan dorongan terbesar bagi indeks S&P 500 dan Nasdaq.

Kemudian, saham American Airlines Group naik 0,8% setelah perusahaan memperkirakan kerugian yang disesuaikan lebih kecil dari perkiraan untuk kuartal ketiga dan mengisyaratkan adanya peningkatan pemesanan untuk sisa tahun ini.

Investor juga mempertimbangkan komentar dari Wakil Ketua Fed Richard Clarida, yang mengatakan bahwa bank sentral telah memenuhi semua target ketenagakerjaan untuk mengurangi program pembelian obligasi.

Data AS menunjukkan pasar tenaga kerja tetap ketat, dengan rekor jumlah orang Amerika yang berhenti dari pekerjaan mereka dan lowongan pekerjaan berjumlah lebih dari 10 juta, memicu kekhawatiran inflasi seiring pengusaha berusaha menaikkan upah untuk menarik dan mempertahankan pekerja.

Lebih lanjut, laporan indeks harga konsumen hari Rabu akan menarik perhatian investor yang mencari petunjuk tentang inflasi.

Hari ini, investor akan menyimak respons pasar terkait sejumlah sentimen, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pertama, masih soal perkembangan krisis likuiditas raksasa properti Negeri Tirai Bambu China, Evergrande.

Melansir Reuters, Selasa (12/10), China Evergrande Group pada hari Selasa kembali melewatkan pembayaran obligasi untuk kali ketiga dalam tiga minggu terakhir.

Hal ini tentu semakin memperbesar kekhawatiran pasar atas risiko penularan (contagion risk) yang melibatkan pengembang properti lainnya seiring kewajiban pembayaran utang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.

Menurut catatan Reuters, beberapa pemegang obligasi mengatakan mereka tidak menerima pembayaran kupon senilai total US$ 148 juta untuk notes Evergrande per April 2022, April 2023 dan April 2024 yang jatuh tempo pada pukul 04.00 GMT (waktu Greenwich) pada hari Selasa.

Dengan demikian, ini menyusul dua pembayaran kupon obligasi lainnya yang tak dibayarkan pada bulan lalu.

Adapun sebanyak US$ 92,3 miliar obligasi yang diterbitkan oleh Evergrande akan jatuh tempo pada tahun depan, menurut data Refinitiv.

"Kami memprediksi lebih banyak default ke depan jika masalah likuiditas tidak membaik secara nyata," kata broker CGS-CIMB dalam sebuah catatan, seraya menambahkan bahwa pengembang dengan peringkat kredit yang lebih rendah mengalami kesulitan dalam pembiayaan ulang kredit (refinancing) saat ini.

Kedua, sentimen yang beraroma negatif juga, yakni soal proyeksi pelemahan ekonomi global yang dikemukakan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Mengutip Reuters, Selasa (12/10), IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini menjadi 5,9%, dari perhitungan sebelumnya 6,0% pada Juli, karena penyebaran virus Covid-19 varian delta.

IMF menilai, dampak penyebaran Covid-19 varian delta telah menciptakan gangguan rantai pasokan yang terus-menerus dan tekanan harga sehingga menghambat pemulihan ekonomi global dari pagebluk.

Aktivitas manufaktur global telah dihantam oleh kekurangan komponen utama seperti chip semikonduktor, aktivitas pelabuhan yang terhambat dan kurangnya kontainer kargo, dan krisis tenaga kerja karena rantai pasokan global.

Namun, IMF tetap memperkiraan pertumbuhan global 2022 akan tumbuh sebesar 4,9%.

IMF pun memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi AS pada 2021 menjadi 6,0%, dari 7,0% pada Juli. Ini merupakan level yang dianggap sebagai laju terkuat sejak 1984.

Kemudian, IMF juga memangkas pertumbuhan ekonomi China tahun 2021 sebesar 0,1 poin menjadi 8,0%, di tengah pengurangan pengeluaran investasi publik yang lebih cepat dari perkiraan. Adapun perkiraan pertumbuhan ekonomi India tidak berubah di level 9,5%, tetapi prospek di negara-negara Asia berkembang lainnya berkurang seiring memburuknya pandemi.

Lebih lanjut, IMF memangkas proyeksi ekonomi sebesar 1,4 poin untuk kelompok "ASEAN-5" Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Ketiga, ChinaĀ juga akan merilis neraca perdagangan mereka per September. Neraca perdagangan China diprediksi sebesar US$ 47 miliar, turun dari posisi sebulan sebelumnya sebesar US$ 58,3 miliar.

Menurut proyeksi Tradingeconomics, ekspor dan impor Negeri Panda ini diprediksi masih tumbuh di angka yang sama yakni 21%. Jika realisasinya meleset jauh, pasar bakal bereaksi negatif karena China saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi kedua di dunia.

Keempat, investor juga akan mencermati data inflasi tahunan AS per September 2021. Tradingeconomics meramal, inflasi tahunan AS per September berada di 5,3% atau sama dengan posisi Agustus lalu.

Sebelumnya, inflasi AS mencapai level tertinggi selama 13 tahun terakhir sebesar 5,4% pada bulan Juni dan Juli.

Sementara, laju inflasi inti tahunan diprediksi sebesar 4%, sama dengan posisi Agustus 2021.

Saat ini, pejabat bank sentral AS terus mencermati ekspektasi inflasi di tengah mereka sedang mengevaluasi apakah tekanan harga yang dipicu oleh pandemi virus corona (Covid-19) akan berlalu atau memiliki efek yang lebih tahan lama pada perekonomian AS.

Inflasi AS yang meninggi akan menjadi salah satu pedoman utama The Fed untuk mulai melakukan pengurangan pembelian aset atau tapering off yang mungkin bisa dimulai pada akhir tahun ini.

Tidak ketinggalan, kelima, pelaku pasar juga akan menyimak sentimen lainnyaĀ soal The Fed yang diperkirakan akan merilis risalah dari pertemuan kebijakan terakhirnya (FOMC) pada hari Rabu, di mana para pelaku pasar akan mencari petunjuk tentang kapan bank sentral AS tersebut akan mulai mengurangi program pembelian obligasi besar-besaran alias tapering.

Sentimen Domestik

Keenam, dari domestik, Bank Indonesia (BI) akan merilis data Survei Kegiatan Dunia Usaha kuartal III 2021.

Sebelumnya, BI melaporkan kegiatan dunia usaha pada kuartal II-2021 mengalami akselerasi. Bank sentral Indonesia tersebut memperkirakan, pada kuartal III-2021, ada risiko besar yaitu kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Selain rilis soal kegiatan dunia usaha, BI juga akan mempublikasikan melaporkan aktivitas industri pengolahan atau manufaktur meningkat pada kuartal II-2021.

Pada kuartal II-2021, Prompt Manufacturing Index-BI (PMI-BI) tercatat 51,45%. Naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 50,01% dan kuartal II tahun lalu yaitu 28,55%.

Namun, untuk PMI-BI kuartal ketiga BI berpotensi melambat pada triwulan III 2021 dengan prakiraan angka PMI-BI sebesar 49,89% seiring adanya PPKM Darurat.

Seperti PMI manufaktur versi IHS Markit, PMI-BI juga menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika sudah di atas 50, maka artinya industriawan sedang dalam fase ekspansi.

Ketujuh, seiring pemulihan ekonomi yang terus berjalan, pemerintah memproyeksi defisit anggaran tahun ini turun dari proyeksi awal. Defisit pada APBN 2021 dipatok hanya 5,59% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Padahal, sebelumnya defisit pada APBN 2021 ditetapkan 5,7%. Namun, karena kasus Covid-19 yang terus melonjak sejak akhir Juni lalu maka pada Agustus 2021, outlook defisit melebar menjadi 5,82% terhadap PDB atau Rp 961,5 triliun.

Saat ini, saat kasus pandemi yang turun signifikan maka defisit diperkecil dari sebelumnya. Bahkan lebih kecil dari yang ditetapkan dalam APBN 2021.

"Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021)," tulis Kementerian yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (12/10/2021).

Sementara itu, defisit dipatok lebih kecil lagi menjadi 4,85% atau Rp 868 triliun pada APBN 2022 yang telah disetujui untuk disahkan oleh DPR RI.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Laporan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) & Prompt Manufacturing Index Kuartal III Bank Indonesia (BI)

  • Tingkat pengangguran Korea Selatan (Korsel) per September (06.00 WIB)

  • Neraca perdagangan Cina per September (10.00 WIB)

  • Tingkat inflasi final Jerman per September (13.00 WIB)

  • Neraca perdagangan Britania Raya per Agustus (13.00 WIB)

  • Produksi industri Uni Eropa per Agustus (16.00 WIB)

  • Tingkat inflasi AS per September (19.30 WIB)

  • Risalah pertemuan The Fed

Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:

  • Cum date dividen tunai PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk/NELY

  • RUPSLB PT Surya Citra Media Tbk/SCMA (10.00 WIB)

  • RUPST & RUPSLB PT Modern Internasional Tbk/MDRN (10.00 WIB)

  • RUPSLB PT Lippo Karawaci Tbk/LPKR (14.00 WIB)

  • RUPSLB PT Lippo Cikarang Tbk/LPCK (15.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular