
Anies Perpanjang PSBB DKI, Bisa Cuan Gak Ya Weekend Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib nahas masih menghampiri nilai tukar rupiah hingga perdagangan kemarin, Kamis (13/8/2020). Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan obligasi rupiah pemerintah RI mengalami apresiasi meskipun tipis.
Genap empat hari beruntun mata uang Tanah Air melemah di hadapan dolar greenback. Kendati indeks dolar tak seberingas sebelumnya, nilai tukar rupiah masih susah untuk menguat.
Pada penutupan perdagangan pasar spot kemarin, rupiah dibanderol di Rp 14.700/US$ atau melemah 0,1%. Di sepanjang pekan ini rupiah sudah melemah nyaris 1% atau tepatnya 0,82%.
Ketika rupiah melemah sebenarnya dolar AS pun loyo. Mata uang Benua Kuning pun bergerak variatif. Dolar yang jadi agak 'memble' tak terlepas dari macetnya stimulus fiskal lanjutan di kongres AS.
Tanpa stimulus tambahan, tentunya pemulihan ekonomi AS yang bertumpu pada konsumsi domestik akan berjalan lebih lambat.
Kubu Partai Republik di House of Representatives (salah satu dari dua kamar yang membentuk Kongres AS) mengusulkan proposal stimulus baru bernilai US$ 1 triliun. Namun kubu oposisi Partai Demokrat enggan menyetujui karena merasa jumlahnya terlalu sedikit.
Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, mengungkapkan bahwa Demokrat baru ingin membuka ruang dialog jika nilai stimulus fiskal setidaknya US$ 2 triliun. Presiden Donald Trump pun berang merespons hal ini.
"Dolar AS membutuhkan kabar positif dari pembahasan stimulus. Pasti akan ada kesepakatan, karena para politikus tidak mungkin kembali ke konstituen mereka dengan tangan hampa. Ketika itu terjadi, maka dolar AS akan punya momentum untuk menguat terhadap mata uang lain," jelas Masafumi Yamamoto, Chief Currency Strategist di Mizuho Securities yang berbasis di Tokyo, seperti dikutip dari Reuters.
Berbeda nasib dengan rupiah,IHSG justru ditutup dengan penguatan.IHSG berhasil melenggang ke zona hijau dengan apresiasi tipis sebesar 0,11% ke 5.239,25. Tercatat 182 saham harganya naik, 238 turun, sisanya 151 stagnan.
Investor asing yang sebelumnya selalu membukukan aksi jual bersih akhirnya mulai masuk ke saham-saham domestik.
Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih sebanyak Rp 249 miliar di pasar reguler hari ini dengan nilai transaksi hari ini menyentuh Rp 10,6 triliun. Jika digabung dengan pasar nego dan tunai, asing masuk Rp 282 miliar.
Beralih ke pasar surat utang negara (SUN), obligasi rupiah pemerintah Indonesia juga mengalami kenaikan harga meski tipis. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah bertenor 10 tahun sebesar 0,04%.
Beralih ke bursa saham New York, meski data klaim pengangguran di AS (initial jobless claim) turun di bawah angka 1 juta, tiga indeks saham utama Wall Street justru ditutup tak kompak di akhir perdagangan.
Indeks S&P 500 ambles 0,2% dan di saat yang sama Dow Jones Industrial Average (DJIA) juga melorot 0,28%. Nasib berbeda justru dialami oleh Nasdaq Composite yang justru mencatatkan apresiasi 0,27%.
Indeks S&P 500 kini berada di dekat level tertingginya di sepanjang sejarah. "Tanpa berita penting yang bisa mengangkat pasar, perlu beberapa waktu untuk menembus titik tertinggi sepanjang masa," kata Peter Cardillo, kepala ekonom pasar di Spartan Capital Securities kepada CNBC International.
"Bahkan jika S&P 500 gagal melampaui rekor Februari dalam waktu dekat, enam bulan terakhir sudah tergolong bersejarah. Pertanyaannya adalah kemana kita akan pergi selanjutnya? " tulis Clissold dalam sebuah catatan.
Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS, klaim pengangguran mingguan awal turun menjadi 963.000. Angka ini di bawah perkiraan Dow Jones sebesar 1,1 juta. Ini juga pertama kalinya sejak Maret klaim pengangguran berada di bawah level 1 juta.
Data ini sekaligus menjadi indikator terbaru membaiknya pasar tenaga kerja dan perekonomian Negeri Paman Sam.
Pekan lalu, pemerintah AS mengumumkan data penciptaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payrolls) bertambah sebanyak 1,8 juta pada Juli. Alhasil, tingkat pengangguran turun menjadi 10,2%.
Namun masih buntunya dialog yang membahas tentang kelanjutan stimulus fiskal untuk membantu masyarakat AS yang terdampak pandemi membuat pasar cenderung diliputi keragu-raguan.
Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnell dan Ketua DPR Nancy Pelosi mengatakan kedua belah pihak masih jauh dari kesepakatan. Hal ini juga disampaikan oleh Penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow yang mengatakan bahwa dialog menemui jalan buntu.
"Pasar masih menginginkan, dan sangat mengharapkan, RUU stimulus yang sebenarnya akan ditandatangani," tulis Tom Essaye, seorang editor dari Sevens Report.
"Ke depan, negosiasi soal stimulus masih akan terus berlanjut, tetapi perintah eksekutif [Presiden Trump] (dikombinasikan dengan data yang solid baru-baru ini) kemungkinan akan menurunkan urgensi untuk menyelesaikannya, jadi secara realistis pasar akan menunggu kesepakatan selama beberapa minggu ke depan," tambahnya.
Kinerja Wall Street yang tak terlalu apik dini hari tadi bakal menjadi sentimen negatif ketika pasar keuangan Asia buka pada hari terakhir perdagangan pekan ini, Jumat (14/8/2020).
Selain kinerja Wall Street, investor juga perlu mencermati berbagai sentimen lain baik dari dalam maupun luar negeri yang bakal menggerakkan pasar hari ini. Dari dalam negeri, sentimen datang terkait kelanjutan program PSBB DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memperpanjang PSBB untuk dua pekan ke depan hingga 27 Agustus mendatang. Hal ini kembali diputuskan lantaran kasus infeksi baru di ibu kota masih terus bertambah.
"Dengan mempertimbangkan segala kondisi, setelah kami berkonsultasi dengan pakar kesehatan khususnya epidemiolog, dan berkoordinasi dengan jajaran Forkopimda pada sore tadi, kami memutuskan untuk kembali memperpanjang PSBB Masa Transisi di fase pertama ini untuk keempat kalinya hingga tanggal 27 Agustus 2020," ujar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam pernyataannya Kamis (13/8/2020).
Anies memaparkan jumlah terkonfirmasi positif bertambah sebanyak 621 kasus baru sehingga total akumulasi kasus positif di DKI Jakarta menjadi 27.863. Kasus yang masih terus melonjak baik skala nasional terutama di DKI Jakarta semakin membuat prospek ekonomi Tanah Air penuh ketidakpastian ke depannya.
Seperti yang diketahui bersama, pada kuartal kedua tahun ini, output perekonomian RI terkontraksi hingga -5,32% (yoy). Karena kontraksi yang sangat dalam tersebut, peluang kontraksi berlanjut ke kuartal ketiga juga masih ada.
Apabila dalam tiga bulan ke depan output perekonomian dalam negeri masih tumbuh di zona negatif, maka Indonesia sah masuk ke jurang resesi setelah krisis moneter (krismon) 1998 silam.
Tentu saja ini menjadi sentimen negatif yang bisa memantik aksi jual aset-aset keuangan domestik dan berpotensi membuat para investor jaga jarak atau bahkan kabur dari pasar keuangan domestik.
Selain kabar PSBB dari dalam negeri, investor juga perlu mencermati perkembangan lebih lanjut terkait hubungan antara AS-China. Duo raksasa ekonomi global ini dikabarkan bakal menggelar pertemuan melalui video konferensi untuk meninjau progress kesepakatan dagang interim yang diteken 15 Januari lalu.
AS diwakili oleh Robert Lightizer sementara dari pihak China ada Wakil Perdana Menteri Liu He yang bakal jadi delegasinya. Dalam enam bulan terakhir, progress China terbilang minim.
Dalam kesepakatan awal tersebut, China ditargetkan untuk membeli produk-produk pertanian, manufaktur, energi hingga jasa AS senilai US$ 200 miliar pada 2020-2021. Namun sampai dengan Juni, China baru mencatatkan capaian 23% saja.
Masih sangat jauh dari target memang. Namun mau bagaimana lagi, pandemi Covid-19 telah membuat ekonomi China juga anjlok pada kuartal pertama walaupun mulai bangkit pada periode April-Juni.
Akibat pandemi Covid-19, hubungan AS-China juga menjadi semakin runyam. Kisruh pun melebar ke berbagai bidang mulai dari asal muasal pandemi, otonomi Hong Kong, pelanggaran HAM soal komunitas minoritas di China hingga isu perdagangan dan navigasi bebas serta kedaulatan wilayah di Laut China Selatan (LCS).
Sedikit kabar baiknya adalah, meski hubungan bilateral Washington-Beijing memburuk, tetapi baik Trump maupun Xi Jinping tampaknya tak akan membuang begitu saja kesepakatan yang dibuat.
Scott Kennedy, seorang ahli China di CSIS di Washington, mengatakan kepada Bloomberg Television minggu ini bahwa "sungguh menakjubkan bahwa meskipun ada badai yang sedang mendera hubungan AS-China, baik Trump maupun Xi Jinping tak ada yang benar-benar ingin membuang kesepakatan tersebut."
"Untuk Trump, singkatnya, ini tentang petani - penjualan yang dapat mereka lakukan untuk negara bagian yang merah [basis Partai Republikan] dalam pemilu ini," kata Kennedy.
Untuk Presiden China Xi, "ini tentang stabilitas dan menjaga hubungan agar tidak sepenuhnya runtuh," lanjut Kennedy, mengutip pemberitaan Bloomberg.
Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rlis data indeks harga rumah China bulan Juli 2020 (08.30 WIB)
2. Rilis data produksi industri China bulan Juli 2020 (09.00 WIB)
3. Rilis data penjualan ritel China bulan Juli 2020 (09.00 WIB)
4. Rilis data tingkat pengangguran China bulan Juli 2020 (09.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Juli 2020 YoY) | 1,54% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2020) | US$ 135,1 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article IHSG Pecah Rekor Tembus 7400, Hari Ini Lanjut?
