Beralih ke AS, Wall Street mencetak apresiasi pada perdagangan kemarin: indeks Dow Jones naik 0,51%, indeks S&P 500 menguat 0,73%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 1,34%.
Wall Street berhasil bangkit pasca sudah babak belur pada pekan kemarin. Di sepanjang pekan kemarin, indeks Dow Jones anjlok 2,55%, indeks S&P 500 ambruk 2,16%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 1,76%.
Pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (31/1/2020), indeks Dow Jones jatuh 2,09%, indeks S&P 500 melemah 1,77%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 1,59%. Indeks Dow Jones mencatatkan kinerja harian terburuk sejak Agustus 2019, sementara indeks S&P 500 menorehkan kinerja harian terburuk sejak Oktober 2019.
Rilis data ekonomi yang menggembirakan menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS. Kemarin, Manufacturing PMI AS periode Januari 2020 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 50,9, di atas konsensus yang sebesar 48,5, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Ekspansi aktivitas manufaktur AS pada bulan Januari merupakan ekspansi pertama dalam enam bulan.
Walaupun menguat, kinerja Wall Street dibatasi oleh infeksi virus Corona yang kian luas. Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada akhirnya mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus Corona.
"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.
Ia menegaskan peningkatan status ini menjadikan penyebaran virus Corona sebagai hal darurat yang perlu diperhatikan masyarakat internasional. Meski begitu, ini bukan berarti WHO tidak percaya kepada kemampuan China dalam menangani penyebaran virus tersebut.
Tetap saja, penyebarannya yang masif menjadi fokus badan dunia ini, apalagi jika masuk ke wilayah yang penanganan kesehatannya jauh di bawah China.
"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut ... Kita hanya bisa menghentikannya bersama," tegasnya lagi.
Sebagai catatan, kondisi darurat internasional sudah lima kali dideklarasikan oleh WHO sejak aturannya berlaku pada tahun 2007 silam, yakni untuk flu babi, polio, Zika, Ebola, dan kini virus Corona.
Pada hari Jumat kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.
Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China.
“Ada ketakutan memasuki akhir pekan,” kata Ilya Feygin, senior strategist di WallachBeth Capital, Jumat (31/1/2020), seperti dilansir dari CNBC International.
“Tema memasuki tahun ini adalah the Fed dan Trump akan menyelamatkan kita dari segala masalah, tetap virus Corona merupakan sesuatu yang tak bisa diatasi oleh keduanya. Itu adalah alasan untuk menjadi lebih takut.” Pada perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (4/2/2020), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan pada perdagangan kemarin.
Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, apresiasi Wall Street pada perdagangan kemarin tentu berpotensi memantik aksi beli di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait dengan infeksi virus Corona. Perkembangan terbaru, per hari Minggu (2/2/2020) jumlah korban meninggal di China telah bertambah menjadi 361.
Tak hanya di China, korban meninggal akibat infeksi virus Corona kini bisa didapati di luar China, tepatnya di Filipina, yakni sebanyak satu orang.
Meluasnya infeksi virus Corona datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia. Di China, perdagangan di bursa sahamnya diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.
Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah rilis angka inflasi.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, sepanjang Januari 2020 BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%.
Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.
Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.
"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.
Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.
Sebelumnya lagi pada awal Desember 2019, BPS mengumumkan bahwa sepanjang November 2019 terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan tercatat di level 3%.
Inflasi pada November 2019 berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus kala itu memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.
Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah. Merespons hal tersebut, saham-saham konsumer kemarin dilego pelaku pasar, mendorong indeks sektor barang konsumsi terkoreksi 0,53%.
Jika pada hari ini aksi jual atas saham-saham konsumer kembali menerpa, tentu IHSG akan mendapatkan tekanan, mengingat sektor barang konsumsi merupakan sektor dengan kapitalisasi pasar terbesar kedua di bursa saham Tanah Air.
Sentimen keempat yang perlu dicermati pelaku pasar adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada hari Rabu (5/2/2020), BPS dijadwalkan merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal IV-2019, sekaligus keseluruhan tahun 2019.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.
Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.
Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh menyamai capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.
Bisa jadi, pelaku pasar akan bermain defensif sedari perdagangan hari ini sembari menantikan rilis angka pertumbuhan ekonomi pada hari Rabu.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis angka inflasi Korea Selatan periode Januari 2020 (06:00 WIB)
- Rilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel Hong kong periode Desember 2019 (15:30 WIB)
Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019) | 5,02% YoY |
Inflasi (Januari 2020) | 2,68% YoY |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (Desember 2019) | US$ 129,18 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA