Newsletter

Jokowi Siap Umumkan Kabinet, IHSG Akan Tancap Gas?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 October 2019 06:05
Jokowi Siap Umumkan Kabinet, IHSG Akan Tancap Gas?
Foto: cover topik/jokowi konten/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia cenderung ditransaksikan menguat pada pekan kemarin. Sepanjang pekan kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,41%, rupiah melemah 0,11% di pasar spot, dan imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 11,8 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. 


Kemesraan AS-China di bidang perdagangan menjadi faktor utama yang melandasi aksi beli di pasar keuangan tanah air.
Seperti yang diketahui, pada pekan lalu kedua negara menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington. Dalam negosiasi tingkat tinggi ini, delegasi China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara delegasi AS dikomandoi oleh Kepala Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin ikut berpartisipasi dalam delegasi yang dipimpin oleh Lighthizer.

Pasca negosiasi dagang tingkat tinggi selama dua hari tersebut, kedua negara menyetujui kesepakatan dagang tahap satu. Kesepakatan ini akan menjadi jawaban dari kritik AS terhadap China seputar praktik pencurian kekayaan intelektual.

 

Selain itu, permasalahan defisit neraca dagang AS dengan China juga akan dijawab melalui kesepakatan dagang tahap satu, seiring dengan dimasukannya komitmen China untuk membeli produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar. Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan ini.

Memang, pelaku pasar sempat dibuat ragu bahwa AS dan China akan benar-benar menandatangani kesepakatan dagang tahap satu yang sudah disetujui secara lisan oleh keduanya dalam negosiasi tingkat tinggi di Washington pada pekan lalu.

Melansir CNBC International, seorang sumber menyebut bahwa China ingin bernegosiasi lebih lanjut dengan AS sebelum meneken kesepakatan dagang tahap satu antar kedua negara. Sumber tersebut kemudian menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He bisa dikirim ke Washington sebelum akhir bulan ini guna meluruskan poin-poin dalam kesepakatan dagang tahap satu yang masih mengganjal di hati pihak China.

Namun, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin kemudian membawa angin segar dengan membantah pemberitaan tersebut. Dirinya membantah bahwa China belum setuju dengan isi dari kesepakatan dagang tahap satu antar kedua negara.

Mnuchin justru mengungkapkan bahwa negosiator dagang dari AS dan China kini tengah bekerja untuk memfinalisasikan teks kesepakatan dagang tahap satu untuk kemudian ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping kala keduanya bertemu pada bulan depan dalam gelara KTT Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).

Di sisi lain, kinerja pasar keuangan tanah air, terutama rupiah, dibebani oleh rilis data perdagangan international periode September 2019. Pada pekan kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor jatuh sebesar 5,74% secara tahunan (year-on-year) pada bulan lalu, sementara impor turun 2,41% YoY.

Penurunan ekspor lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor akan jatuh hingga 6,1% secara tahunan. Sementara itu, kontraksi pada pos impor lebih baik karena konsensus memperkirakan kontraksinya akan mencapai 4,5%.

Namun begitu, neraca dagang pada bulan lalu membukukan defisit senilai US$ 160 juta, berbanding terbalik dengan konsensus yang memperkirakan adanya kehadiran surplus senilai US$ 104,2 juta.

Dengan adanya defisit neraca dagang yang mengejutkan tersebut, dikhawatirkan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) masih akan bengkak pada kuartal-III 2019.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.

Ketika CAD tak juga bisa diredam, rupiah memang akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

[Gambas:Video CNBC]

 

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Walau Melemah di Hari Jumat, Wall Street Hijau Secara Mingguan

Beralih ke AS, Wall Street mencetak koreksi pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (18/10/2019): indeks Dow Jones turun 0,95%, indeks S&P 500 jatuh 0,39%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 0,83%.

Saham Boeing tercatat anjlok hingga 6,8% yang merupakan koreksi harian terdalam sejak Februari 2016, seiring dengan pemberitaan bahwa perusahaan telah menyesatkan regulator terkait dengan sistem keamanan dari pesawat jenis 737 Max.

Selain Boeing, Johnson & Johnson yang harga sahamnya ambruk 6,2% ikut membebani kinerja bursa saham Negeri Paman Sam. Perusahaan farmasi tersebut harus rela melihat harga sahamnya ambruk pasca keputusan untuk menarik 33.000 botol bedak bayi dari pasaran lantaran ditemukan asbestos, zat yang dapat menyebabkan kanker.

Walaupun melemah pada hari Jumat, secara mingguan Wall Street masih bisa membukukan apresiasi: indeks S&P 500 naik 0,54%, indeks Nasdaq Composite menguat 0,4%, sementara indeks Dow Jones jatuh 0,17%.

Perkembangan terkait hubungan AS-China di bidang perdagangan yang terbilang positif sukses menghijaukan Wall Street. Wajar jika pelaku pasar begitu mengapresiasi ademnya hubungan AS-China di bidang perdagangan.

Pasalnya, hingga saat ini kedua negara telah mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar. Bahkan, AS telah bersikap lebih keras dengan memblokir perusahaan-perusahaan asal China dari melakukan bisnis dengan AS.

Pada Mei 2019, Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif.  Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Dalam keterangan resmi yang diperoleh CNBC Indonesia dari halaman Federal Register, pemerintah AS beralasan bahwa terdapat dasar yang cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Huawei telah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.

Bukan hanya keamanan nasional, Hak Asasi Manusia (HAM) juga dijadikan alasan oleh pihak AS untuk memblokir perusahaan asal China dalam upayanya untuk memenangkan perang dagang. Per tanggal 9 Oktober 2019, AS resmi memasukkan 28 entitas asal China ke dalam daftar hitam, di mana sebanyak delapan di antaranya merupakan perusahaan teknologi raksasa asal China.

Dimasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China tersebut membuat merekatak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.

Jika AS dan China benar bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu, ada peluang bea masuk tambahan yang kini sudah diterapkan dan pemblokiran terhadap perusahaan-perusahaan asal China bisa dicabut.

Lebih lanjut, rilis kinerja keuangan yang oke dari perusahaan-perusahaan yang melantai di AS sukses mengerek kinerja Wall Street secara mingguan. Melansir CNBC International yang mengutip data dari Factset, sebanyak lebih dari 70 perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 mengumumkan kinerja keuangan periode kuartal III-2019 pada pekan lalu. Dari sebanyak lebih dari 70 perusahaan tersebut, 81% membukukan kinerja yang lebih baik dari ekspektasi analis.

Salah satu perusahaan yang membukukan kinerja kinclong adalah J.P. Morgan Chase yang merupakan bank terbesar di AS dari sisi aset. Pada kuartal III-2019, perusahaan membukukan pendapatan senilai US$ 30,1 miliar, mengalahkan ekspektasi yang senilai US$ 28,5 miliar. Sementara itu, laba bersih per saham tercatat berada di level US$ 2,68, juga di atas ekpektasi yang senilai US$ 2,45.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Pada perdagangan hari ini, Senin (21/10/2019) pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Sentimen pertama adalah seputar pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemarin, Minggu (20/10/2019), Jokowi resmi mengemban periode keduanya sebagai presiden pasca dilantik di Gedung MPR/DPR RI. Ditemani wakilnya yang baru yakni Ma'ruf Amin, Jokowi akan kembali menjadi nahkoda Indonesia selama lima tahun ke depan.

Jokowi mengatakan bahwa pengumuman terkait kabinet yang akan mendampinginya di periode dua akan dilakukan pagi hari ini. Jokowi memberikan bocoran bahwa kabinet barunya akan diramaikan oleh wajah-wajah baru. Hal tersebut dikemukakan Jokowi saat memberikan keterangan pers sebelum bertolak ke Gedung MPR/DPR RI untuk dilantik.

"Besok dilihat. [...] Masih banyak [muka lama], tapi yang baru lebih banyak," kata Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Minggu (20/10/2019).

Pengumuman susunan kabinet oleh Jokowi berpotensi besar mengerek pasar keuangan tanah air, setidaknya dalam jangka pendek. Sejauh ini, ada satu nama yang begitu diinginkan pelaku pasar untuk kembali dibawa oleh Jokowi ke periode dua, yakni Sri Mulyani Indrawati yang dalam periode satu Jokowi menjabat sebagai menteri keuangan.

Pelaku pasar yang merupakan CEO sebuah lembaga pemeringkat internasional mengatakan bahwa Sri Mulyani sudah pas ditempatnya dan ada baiknya dipertahankan sebagai Menteri Keuangan.

"Dua jempol untuk Sri Mulyani bisa menjaga stabilitas fiskal dan makro secara baik di tengah gempuran ketidakstabilan kondisi ekonomi global," tuturnya.

Sementara itu, kalangan bankir berpendapat sama.

"Sri Mulyani mengetahui dengan pasti kondisi keuangan negara dan tak ada lagi yang bisa menggantikannya untuk saat ini," terang salah seorang bankir senior.

Tim Riset CNBC Indonesia juga berpendapat bahwa Sri Mulyani merupakan salah satu menteri yang wajib dipertahankan oleh Jokowi.

Sepanjang periode satu pemerintahan Jokowi, Sri Mulyani mengambil keputusan yang berani dengan meningkatkan utang dalam jumlah yang besar guna membiayai pembangunan. Hal ini dilakukannya guna mengompensasi penerimaan negara yang relatif lemah lantaran perekonomian global sedang melambat.

Tambahan utang di era Jokowi yang begitu pesat banyak dialokasikan untuk membangun infrastruktur, sebuah faktor yang sangat krusial dalam memajukan sebuah perekonomian.

Walaupun secara gencar menambah utang, Sri Mulyani tetap tidak melupakan yang namanya prinsip kehati-hatian. Semenjak kembali ke Indonesia untuk menjadi menteri keuangan di pemerintahan Jokowi, defisit fiskal selalu dijaga di level yang rendah.

Jika susunan kabinet terbaru dari Jokowi sesuai dengan ekspektasi, maka tentu ada peluang bahwa pasar keuangan tanah air akan bergerak naik. Sebaliknya, jika posisi-posisi penting justru malah dialokasikan kepada politisi dan bukan profesional, aksi jual bisa menerpa pasar keuangan Indonesia.

Sentimen kedua yang patut dicermati pelaku pasar adalah terkait dengan hubungan AS-China di bidang perdagangan. Sejauh ini, perekonomian masing-masing negara terbukti sudah begitu tersakiti oleh perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun tersebut.

Pada pekan lalu, China mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%. 

Untuk diketahui, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2% saja merupakan laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Beralih ke AS, pada pekan lalu penjualan barang-barang ritel periode September 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 0,3% secara bulanan. Padahal, konsensus yang dihimpun oleh Forex Factory memperkirakan ada pertumbuhan sebesar 0,3%.

Jika sampai ada perkembangan yang tak mengenakan terkait perang dagang AS-China, besar kemungkinan bahwa pasar keuangan tanah air akan menutup hari di zona merah.

Sentimen ketiga yang patut dicermati oleh pelaku pasar keuangan tanah air adalah perkembangan terkait proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias Brexit. Sejatinya, pada pekan lalu Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah berhasil mengamankan kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa.

Namun, semua berubah menjadi bencana pada hari Sabtu (19/10/2019) kala parlemen Inggris menolak untuk melakukan pemungutan suara terhadap kesepakatan Brexit tersebut dan justru menggolkan amandemen yang mengharuskan pemerintah Inggris untuk meminta tenggat waktu Brexit dimundurkan dari yang saat ini 31 Oktober 2019.

Pemerintah Inggris pun pada akhirnya tunduk dan meminta kepada Uni Eropa untuk memperanjang tenggat waktu Brexit. Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk mengatakan bahwa pihaknya telah menerima surat dari pemerintah Inggris terkait permintaan untuk memperanjang tenggat waktu Brexit dan dirinya akan mulai berbincang dengan pimpinan negara-negara Uni Eropa terkait dengan hal tersebut.

Untuk diketahui, sebelumnya Uni Eropa sudah memberikan perpanjangan tenggat waktu Brexit kepada Inggris sebanyak dua kali. Dikhawatirkan, tak akan ada lagi perpanjangan yang diberikan kepada Inggris.

Kalau ini yang terjadi, Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (no-deal Brexit). Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Rilis data perdagangan internasional Jepang periode September 2019 (06:50 WIB)
  • Rilis tingkat suku bunga acuan China [1Y Prime Loan Rate] (08:30 WIB)


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal II-2019)

5,05% YoY

Inflasi (September 2019)

3,39% YoY

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (September 2019)

US$ 124,3 miliar

 TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Prabowo Merapat ke Istana, IHSG Siap Tancap Gas?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular