
Newsletter
Semoga Ada Happy Weekend Untuk Pasar Keuangan Indonesia
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
06 September 2019 06:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbeda dengan perdagangan awal pekan, kemarin (5/9/2019) pasar keuangan Indonesia kokoh mencatatkan penguatan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, hingga harga obligasi pemerintah tak ada satu pun yang berakhir di zona merah.
Kemarin, untuk pertama kalinya setelah 3 hari, sepanjang perdagangan IHSG anteng di zona hijau dan berhasil ditutup menguat 0,59% ke level 6.306,8 poin.
Berbeda dengan bursa saham utama Indonesia, nilai tukar rupiah cenderung grogi, namun di akhir perdagangan pasar spot mampu membukukan penguatan tipis sebesar 0,04% yang membuat US$ 1 dibanderol Rp 14.145.
Sementara itu, harga obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun yang beberapa terakhir bertolak belakang dengan IHSG dan rupiah, kemarin juga ikutan kompak naik. Hal itu terlihat dari pergerakan imbal hasil (yield) yang melemah 3,8 basis poin (bps) ke level 7,323%. Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena terpapar aksi beli.
Pasar keuangan Indonesia kompak dengan mayoritas bursa saham utama di Benua Kuning yang juga menguat. Indeks Nikkei melesat 2,12%, indeks Kospi menguat 0,82%, indeks Straits Times naik 0,53%, indeks Shanghai menguat 0,96%. Hanya indeks Hang Seng yang bergerak stagnan cenderung melemah dengan turun tipis 0,03%.
Pasar keuangan Ibu Pertiwi dan Benua Kuning mantap bergerak ke utara seiring dengan meredanya tensi politik di Hong Kong, Inggris dan Italia. Selain itu, kabar terbaru dari hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China juga turut menjadi katalis positif yang menepis kekhawatiran pelaku pasar.
Di Hong Kong, Pemimpin Carie Lam telah secara resmi menarik kembali rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang menjadi penyebab utama aksi demonstrasi masal setidaknya dalam 16 minggu terakhir.
Baca: Ini Kronologi Demo Besar Hong Kong yang Lumpuhkan Ekonomi
Sedangkan, dari Inggris, anggota parlemen berhasil meninggalkan upaya Perdana Menteri (PM) Boris Johnson yang berpotensi membuat Negeri Ratu Elizabeth meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa alias No Deal Brexit. Proposal yang diajukan kubu oposisi Partai Buruh menenangkan voting dengan perolehan suara 328 berbanding 301, dilansir CNBC International.
Baca: Masih Ada Harapan No-Deal Brexit Pupus
Lalu, dari Italia, pemerintah yang sempat pecah kongsi berhasil membentuk pemerintah baru. PM Italia Giuseppe Conte membentuk koalisi pemerintah baru yang kebanyakan diisi oleh perwakilan dari Gerakan Bintang Lima dan Partai Demokratik, seperti diwartakan CNBC International.
Di lain pihak, Washington dan Beijing diketahui siap kembali ke meja perundingan dalam waktu dekat.
Mengutip Reuters, Kementerian Perdagangan China mengungkapkan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Gubernur Bank Sentral China (PBoC) Yi Gang telah menelepon Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pada 5 September. Mereka sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober.
Sebelum pertemuan Oktober, akan ada dialog level deputi yang dilangsungkan pada pertengahan September. "Pertemuan pada pertengahan September akan menjadi dasar bagi perkembangan yang signifikan," sebut Juru Bicara Kantor Perwakilan Dagang AS, seperti diberitakan Reuters.
Juru bicara kantor perwakilan dagang AS juga mengkonfirmasi bahwa Lighthizer dan Mnuchin berbicara dengan Liu dan mengatakan mereka setuju untuk mengadakan dialog dagang level deputi dalam beberapa minggu mendatang.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Sementara itu, beralih ke Wall Street, tiga indeks utama kembali ditutup menguat secara signifikan seiring dengan membuncahnya optimisme perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China dan data ekonomi Negeri Paman Sam yang memuaskan.
Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 1,41% ke level 26.728,15 poin, indeks S&P 500 melesat 1,3% menjadi 2.975,62 poin yang dipimpin oleh penguatan sektor teknologi. Sedangkan Nasdaq juga ditutup naik signifikan 1,75% ke level 8.115,38 poin.
Kementerian Perdagangan China mengungkapkan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Gubernur Bank Sentral China (PBoC) Yi Gang telah menelepon Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pada 5 September. Mereka sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober.
"Kedua belah pihak sepakat untuk bekerja sama dan mengambil aksi praktik untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk negosiasi," seperti dilansir CNBC International.
Sebelum pertemuan Oktober, akan ada dialog level deputi yang dihelat pada pertengahan September. "Pertemuan pada pertengahan September akan menjadi dasar bagi perkembangan yang signifikan," sebut Juru Bicara Kantor Perwakilan Dagang AS, seperti diberitakan Reuters.
Juru bicara kantor perwakilan dagang AS juga mengkonfirmasi bahwa Lighthizer dan Mnuchin berbicara dengan Liu dan mengatakan mereka setuju untuk mengadakan diskusi dagang level deputi 'dalam beberapa minggu mendatang.'
Pengumuman itu datang setelah dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut saling mengenakan tarif tambahan pada 1 September 2019.
Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk tambahan sebesar 15% atas produk asal China senilai US$ 125 miliar. Kemudian Negeri Tiongkok melakukan aksi retaliasi dengan memberlakukan tarif 5-10% atas produk buatan AS senilai US$ 75 miliar.
"Kita akan lihat apakah pembicaraan terjadi atau tidak. Dan apakah mereka produktif, kami skeptis. Akan tetapi pasar menyukainya," ujar Tim Ghriskey, Kepala Strategi Investasi di Inverness Counsel New York, dikutip dari Reuters.
Di lain pihak, rilis data ketenagakerjaan oleh ADP (Automatic Data Processing) menunjukkan penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian AS pada bulan Agustus tumbuh dengan laju tercepat dalam empat bulan terakhir (sejak April 2019), dipimpin oleh penguatan di sektor jasa, dilansir Trading Economics.
Sementara itu rilis PMI sektor jasa AS bulan lalu versi ISM menyentuh angka 56,4 poin, jauh lebih tinggi dari konsensus pasar yang memproyeksi di angka 54 poin. Ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2019, di mana penguatan disokong pesanan baru yang naik ke level tertinggi sejak Februari 2019, dilansir Trading Economics.
Rilis data ekonomi yang mengalahkan ekspektasi pasar mampu meredakan kekhawatiran pelaku pasar terkait perlambatan ekonomi.
(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang impresif. Semoga keceriaan Wall Street bisa menjadi mood booster bagi pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perkembangan terbaru terkait friksi dagang AS-China yang membuat asa atas damai dagang kedua negara kembali membuncah.
Terlebih lagi salah satu sumber yang terpercaya dari sisi China mengungkapkan dalam akun Twitter pribadinya bahwa pertemuan di awal Oktober berbeda dan dan berujung pada terobosan baru.
"Ada lebih banyak kemungkinan terobosan antara kedua belah pihak," cuit Hu Xijin, kepala editor Global Times, sebuah tabloid naungan People's Daily yang merupakan surat kabar resmi Partai Komunis China.
Hu sudah beberapa kali menuangkan komentar terkait dengan sengketa dagang AS-China dan sebelumnya diketahui telah memperingatkan Negeri Paman Sam terkait kemungkinan aksi retaliasi Negeri Tiongkok.
Sentimen ketiga adalah pergerakan indeks dolar yang masih terkoreksi tipis pada penutupan perdagangan kemarin. Indeks dolar (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) tercatat melemah 0,07%, dilansir dari Refinitiv.
Meskipun sedikit, pelemahan greenback diharapkan mampu memberikan ruang gerak yang lebih bagi rupiah untuk menawarkan keuntungan pada pelaku pelaku pasar global.
Lalu sentimen terakhir adalah kenaikan harga minyak dunia yang walau tipis berpotensi membatasi rupiah seiring Indonesia yang merupakan negara net importir minyak. Pada penutupan perdagangan kemarin, harga minyak jenis Brent naik 0,2% ke US$ 60,86/barel, dan minyak jenis Light Sweet (WTI) naik 0,1% ke US$ 56,3/barel.
Saat harga minyak naik, maka biaya importasinya menjadi lebih mahal. Beban di neraca dagang dan transaksi berjalan (current account) akan lebih besar, sehingga rupiah rupiah akan dibayangi resiko pelemahan.
Harga minyak dunia ditutup menguat kemarin seiring dengan penurunan tajam pada jumlah persediaan minyak AS dan asa damai dagang mendongkrak permintaan.
(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:
• Pengeluaran Rumah Tangga bulan Juli, Jepang (06:30 WIB)
• Cadangan Devisa bulan Agustus, Jepang (06:50 WIB)
• Produksi Industri bulan Juli, Jerman (13:00 WIB)
• Estimasi Laju Produk Domestik Bruto Q2-2019, Uni Eropa (16:00 WIB)
• Pembacaan Final Perubahan Tenaga Kerja Q2-2019, Uni Eropa (16:00 WIB)
• Penciptaan Lapangan Kerja Non-Pertanian bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• Rata-rata Gaji per Jam bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• Tingkat Pengangguran bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, untuk pertama kalinya setelah 3 hari, sepanjang perdagangan IHSG anteng di zona hijau dan berhasil ditutup menguat 0,59% ke level 6.306,8 poin.
Berbeda dengan bursa saham utama Indonesia, nilai tukar rupiah cenderung grogi, namun di akhir perdagangan pasar spot mampu membukukan penguatan tipis sebesar 0,04% yang membuat US$ 1 dibanderol Rp 14.145.
Sementara itu, harga obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun yang beberapa terakhir bertolak belakang dengan IHSG dan rupiah, kemarin juga ikutan kompak naik. Hal itu terlihat dari pergerakan imbal hasil (yield) yang melemah 3,8 basis poin (bps) ke level 7,323%. Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena terpapar aksi beli.
Pasar keuangan Indonesia kompak dengan mayoritas bursa saham utama di Benua Kuning yang juga menguat. Indeks Nikkei melesat 2,12%, indeks Kospi menguat 0,82%, indeks Straits Times naik 0,53%, indeks Shanghai menguat 0,96%. Hanya indeks Hang Seng yang bergerak stagnan cenderung melemah dengan turun tipis 0,03%.
Pasar keuangan Ibu Pertiwi dan Benua Kuning mantap bergerak ke utara seiring dengan meredanya tensi politik di Hong Kong, Inggris dan Italia. Selain itu, kabar terbaru dari hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China juga turut menjadi katalis positif yang menepis kekhawatiran pelaku pasar.
Di Hong Kong, Pemimpin Carie Lam telah secara resmi menarik kembali rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang menjadi penyebab utama aksi demonstrasi masal setidaknya dalam 16 minggu terakhir.
Baca: Ini Kronologi Demo Besar Hong Kong yang Lumpuhkan Ekonomi
Sedangkan, dari Inggris, anggota parlemen berhasil meninggalkan upaya Perdana Menteri (PM) Boris Johnson yang berpotensi membuat Negeri Ratu Elizabeth meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa alias No Deal Brexit. Proposal yang diajukan kubu oposisi Partai Buruh menenangkan voting dengan perolehan suara 328 berbanding 301, dilansir CNBC International.
Baca: Masih Ada Harapan No-Deal Brexit Pupus
Lalu, dari Italia, pemerintah yang sempat pecah kongsi berhasil membentuk pemerintah baru. PM Italia Giuseppe Conte membentuk koalisi pemerintah baru yang kebanyakan diisi oleh perwakilan dari Gerakan Bintang Lima dan Partai Demokratik, seperti diwartakan CNBC International.
Di lain pihak, Washington dan Beijing diketahui siap kembali ke meja perundingan dalam waktu dekat.
Mengutip Reuters, Kementerian Perdagangan China mengungkapkan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Gubernur Bank Sentral China (PBoC) Yi Gang telah menelepon Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pada 5 September. Mereka sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober.
Sebelum pertemuan Oktober, akan ada dialog level deputi yang dilangsungkan pada pertengahan September. "Pertemuan pada pertengahan September akan menjadi dasar bagi perkembangan yang signifikan," sebut Juru Bicara Kantor Perwakilan Dagang AS, seperti diberitakan Reuters.
Juru bicara kantor perwakilan dagang AS juga mengkonfirmasi bahwa Lighthizer dan Mnuchin berbicara dengan Liu dan mengatakan mereka setuju untuk mengadakan dialog dagang level deputi dalam beberapa minggu mendatang.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Sementara itu, beralih ke Wall Street, tiga indeks utama kembali ditutup menguat secara signifikan seiring dengan membuncahnya optimisme perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China dan data ekonomi Negeri Paman Sam yang memuaskan.
Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 1,41% ke level 26.728,15 poin, indeks S&P 500 melesat 1,3% menjadi 2.975,62 poin yang dipimpin oleh penguatan sektor teknologi. Sedangkan Nasdaq juga ditutup naik signifikan 1,75% ke level 8.115,38 poin.
Kementerian Perdagangan China mengungkapkan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Gubernur Bank Sentral China (PBoC) Yi Gang telah menelepon Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pada 5 September. Mereka sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober.
"Kedua belah pihak sepakat untuk bekerja sama dan mengambil aksi praktik untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk negosiasi," seperti dilansir CNBC International.
Sebelum pertemuan Oktober, akan ada dialog level deputi yang dihelat pada pertengahan September. "Pertemuan pada pertengahan September akan menjadi dasar bagi perkembangan yang signifikan," sebut Juru Bicara Kantor Perwakilan Dagang AS, seperti diberitakan Reuters.
Juru bicara kantor perwakilan dagang AS juga mengkonfirmasi bahwa Lighthizer dan Mnuchin berbicara dengan Liu dan mengatakan mereka setuju untuk mengadakan diskusi dagang level deputi 'dalam beberapa minggu mendatang.'
Pengumuman itu datang setelah dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut saling mengenakan tarif tambahan pada 1 September 2019.
Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk tambahan sebesar 15% atas produk asal China senilai US$ 125 miliar. Kemudian Negeri Tiongkok melakukan aksi retaliasi dengan memberlakukan tarif 5-10% atas produk buatan AS senilai US$ 75 miliar.
"Kita akan lihat apakah pembicaraan terjadi atau tidak. Dan apakah mereka produktif, kami skeptis. Akan tetapi pasar menyukainya," ujar Tim Ghriskey, Kepala Strategi Investasi di Inverness Counsel New York, dikutip dari Reuters.
Di lain pihak, rilis data ketenagakerjaan oleh ADP (Automatic Data Processing) menunjukkan penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian AS pada bulan Agustus tumbuh dengan laju tercepat dalam empat bulan terakhir (sejak April 2019), dipimpin oleh penguatan di sektor jasa, dilansir Trading Economics.
Sementara itu rilis PMI sektor jasa AS bulan lalu versi ISM menyentuh angka 56,4 poin, jauh lebih tinggi dari konsensus pasar yang memproyeksi di angka 54 poin. Ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2019, di mana penguatan disokong pesanan baru yang naik ke level tertinggi sejak Februari 2019, dilansir Trading Economics.
Rilis data ekonomi yang mengalahkan ekspektasi pasar mampu meredakan kekhawatiran pelaku pasar terkait perlambatan ekonomi.
(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang impresif. Semoga keceriaan Wall Street bisa menjadi mood booster bagi pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perkembangan terbaru terkait friksi dagang AS-China yang membuat asa atas damai dagang kedua negara kembali membuncah.
Terlebih lagi salah satu sumber yang terpercaya dari sisi China mengungkapkan dalam akun Twitter pribadinya bahwa pertemuan di awal Oktober berbeda dan dan berujung pada terobosan baru.
"Ada lebih banyak kemungkinan terobosan antara kedua belah pihak," cuit Hu Xijin, kepala editor Global Times, sebuah tabloid naungan People's Daily yang merupakan surat kabar resmi Partai Komunis China.
Hu sudah beberapa kali menuangkan komentar terkait dengan sengketa dagang AS-China dan sebelumnya diketahui telah memperingatkan Negeri Paman Sam terkait kemungkinan aksi retaliasi Negeri Tiongkok.
Sentimen ketiga adalah pergerakan indeks dolar yang masih terkoreksi tipis pada penutupan perdagangan kemarin. Indeks dolar (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) tercatat melemah 0,07%, dilansir dari Refinitiv.
Meskipun sedikit, pelemahan greenback diharapkan mampu memberikan ruang gerak yang lebih bagi rupiah untuk menawarkan keuntungan pada pelaku pelaku pasar global.
Lalu sentimen terakhir adalah kenaikan harga minyak dunia yang walau tipis berpotensi membatasi rupiah seiring Indonesia yang merupakan negara net importir minyak. Pada penutupan perdagangan kemarin, harga minyak jenis Brent naik 0,2% ke US$ 60,86/barel, dan minyak jenis Light Sweet (WTI) naik 0,1% ke US$ 56,3/barel.
Saat harga minyak naik, maka biaya importasinya menjadi lebih mahal. Beban di neraca dagang dan transaksi berjalan (current account) akan lebih besar, sehingga rupiah rupiah akan dibayangi resiko pelemahan.
Harga minyak dunia ditutup menguat kemarin seiring dengan penurunan tajam pada jumlah persediaan minyak AS dan asa damai dagang mendongkrak permintaan.
(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:
• Pengeluaran Rumah Tangga bulan Juli, Jepang (06:30 WIB)
• Cadangan Devisa bulan Agustus, Jepang (06:50 WIB)
• Produksi Industri bulan Juli, Jerman (13:00 WIB)
• Estimasi Laju Produk Domestik Bruto Q2-2019, Uni Eropa (16:00 WIB)
• Pembacaan Final Perubahan Tenaga Kerja Q2-2019, Uni Eropa (16:00 WIB)
• Penciptaan Lapangan Kerja Non-Pertanian bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• Rata-rata Gaji per Jam bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
• Tingkat Pengangguran bulan Agustus, Amerika Serikat (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (Agustus 2019 YoY) | 3,49% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019) | 5,5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2019) | US$ 125,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular