Newsletter

Harap-Harap Cemas: Bisakah Pasar Keuangan Indonesia Bangkit?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
03 September 2019 06:00
Harap-Harap Cemas: Bisakah Pasar Keuangan Indonesia Bangkit?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak kurang impresif sepanjang perdagangan hari pertama September. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak bergerak ke selatan. Walau pasar obligasi pemerintah mencatatkan penguatan meskipun terbatas.

Pada penutupan perdagangan kemarin (2/9/2019), bursa saham acuan Tanah Air ditutup melemah 0,6% ke level 6.290,546 poin. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan pasar spot dibanderol Rp 14.190/US$ atau terkoreksi 0,07%.

Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun tipis 2,1 basis poin (bps) menjadi 7,333%. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.


Baik IHSG maupun rupiah anteng berada di zona merah pada perdagangan kemarin setelah rilis data ekonomi beberapa negara semakin mempertegas dampak negatif dari ekskalasi perang dagang antara AS dan China.

Kemarin, negara-negara yang perekonomiannya cukup bergantung pada ekspor, seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, menunjukkan aktifitas pabrik yang menyusut. Hal ini terlihat dari rilis PMI bulan Agustus versi Markit untuk ketiga negara tersebut yang kompak di bawah 50 poin.

Sebagai informasi, angka PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.


"Gambaran yang luas untuk ekspor di Benua Asia masih sangat lemah karena dampak dari perang dagang AS-Chia yang terus tereskalasi," ujar Rajiv Biswara, Kepala Ekonom di Asia Pasifik dari HIS Markit, seperti diwartakan Reuters.

Seperti diketahui, pada Minggu (1/9/2019), Negeri Tiongkok juga telah resmi memberlakukan tarif tambahan sekitar 5-10% pada produk Made in USA senilai US$ 75 miliar.

Keputusan tersebut merupakan aksi retaliasi Beijing atas keputusan Washington yang pada hari yang sama telah terlebih dahulu mengenakan bea masuk tambahan sebesar 15% atas produk China senilai US$ 112 miliar.

Uniknya, meski kedua negara resmi mengenakan tarif baru, tapi perundingan dagang tetap akan berlangsung. Hal tersebut ditegaskan Presiden AS Donald Trump yang mengatakan China dan AS memang masih akan melanjutkan dialog pada September, tetapi penambahan bea masuk tetap berlaku

"Kami sudah berbicara dengan pihak China, pertemuan masih terjadwal pada September. Kita lihat saja nanti, tetapi kami tidak bisa membiarkan China mencabik-cabik negara ini lagi," tegas Presiden AS Donald Trump, seperti diberitakan Reuters.

Di lain pihak, dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2019. Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan terjadi inflasi pada Agustus 2019 ini hingga 0,12% secara bulanan, lebih rendah dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang berada di level 0,16% secara bulanan.

Rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di level yang relatif rendah.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Beralih ke bursa saham utama AS, pada perdagangan kemarin tiga indeks utama Wall Street ditutup untuk memperingati hari buruh.

Akan tetapi, bursa saham futures Wall Street kompak berada di zona merah yang menandakan sikap hati-hati investor seiring dengan AS-China yang saling mengenakan bea masuk tambahan, meskipun pembicaraan terkait dialog dagang lanjutan pada bulan ini tetap direncanakan.

Pada pukul 05:30 WIB, kontrak futures Dow Jones dan S&P 500 terkoreksi tajam masing-masing 167,28 poin dan 19,96 poin. Sementara kontrak futures Nasdaq anjlok 60,50 poin.

Sejatinya, pemberlakuan tarif tambahan yang diputuskan oleh AS mendapat kecaman keras dari pelaku industri domestik. Lebih dari 160 kelompok industri dikabarkan telah mengirimkan surat yang menentang kebijakan tersebut kepada Presiden AS Donald Trump, seperti diwartakan CNBC International.

Presiden Eksekutif Asosiasi Pakaian dan Alas Kaki AS, Steve Lamar, mengatakan bahwa tarif baru pada diberlakukan tepat saat musim penjualan terpenting tahun ini dan sangat menyakiti perusahaan AS.

"Harga akan naik, penjualan turun dan ini membuat orang kehilangan pekerjaan," ujar Lamar dikutip dari Reuters.

Lebih lanjut, Menteri Perdagangan Singapura Chan Chung Sing memperingatkan pelaku pasar bahwa kesepakatan apa pun yang akhirnya dicapai oleh AS-China tidak akan berdasar pada asas kepercayaan yang cukup dan hal ini dapat memiliki implikasi yang membahayakan ekonomi global, dilansir dari CNBC International.

Pasalnya, negara-negara akan mulai mengambil tindakan untuk meminimalisir resiko ekonomi dengan memecah rantai pasokan mereka atau mendiversifikasi rantai pasokan global di lingkungan yang terfragmentasi. "Ini adalah jalur (tindakan) yang paling berbahaya bagi perekonomian dunia," ujar Chan.

Maksud dari pernyataan Chan adalah beberapa negara di dunia akan lebih selektif dengan memilih negara tertentu sebagai pemasok untuk industri mereka. Hal ini berarti, laju perekonomian hanya akan fokus pada beberapa negara terpilih, tidak menyebar merata.

(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu indikasi anjloknya Wall Street yang terlihat dari pergerakan bursa kontrak futures. Semoga tekanan yang dialami Wall Street tidak menekan risk appetite investor untuk berburu instrumen keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua adalah investor perlu terus memantau perkembangan friksi dagang antara Beijing dan Washington. Delegasi perdagangan kedua belah pihak memang diketahui terus menjalin komunikasi yang efektif dan masih merencanakan untuk mengadakan dialog dagang lanjutan bulan ini. Informasi ini pun diamini oleh Trump.

Akan tetapi, tetap terlaksananya pemberlakuan tarif tambahan, baik oleh AS maupun China, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait potensi dicapainya kesepakatan.

Terlebih lagi, penghapusan bea masuk merupakan hal yang beberapa kali diminta Negeri Tiongkok, namun faktanya Negeri Paman Sam selalu menghiraukan hal tersebut.

Juru Bicara Kementerian Dagang China Gao Feng menyampaikan bahwa masalah utama yang harus dibahas adalah pembatalan bea masuk atas produk impor asal China untuk menghindari eskalasi perang dagang lebih lanjut, dilansir CNBC International.

"Dalam situasi sekarang, kami pikir masalah yang harus dibahas adalah pembatalan tarif atas produk ekspor China senilai US$ 550 miliar untuk menghindari eskalasi perang dagang lebih lanjut," ujar Gao dikutip dari CNBC International.

"Saat ini, pihak China sedang melakukan negosiasi serius dengan pihak AS untuk membahas hal tersebut," tambah Gao.

Sentimen ketiga adalah keperkasaan dolar AS dan pelemahan yuan. Pada penutupan perdagangan kemarin, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) membukukan penguatan 0,13%.

Selain itu, nilai tukar yuan terhadap rupiah juga semakin terdepresiasi, di mana pada perdagangan pasar spot kemarin 1 yuan dibanderol Rp 1.978,42 atau melemah 0,11%.

Ketika dollar semakin perkasa dan yuan makin melemah tentunya bukan kabar yang baik bagi neraca perdagangan Indonesia. Pasalny, AS dan China merupakan rekan dagang utama Ibu Pertiwi. Penguatan dolar bukan kabar baik bagi impor, sedangkan pelemahan yuan adalah kabar buruk untuk ekspor.

Selain itu, keperkasaan dolar AS membuat rupiah rawan terkoreksi, sehingga ini dapat mengakibatkan investor asing melepas aset keuangan berbasis rupiah untuk menghindari kerugian selisih kurs

Kemudian pelaku pasar juga patut mencermati sentimen keempat, yaitu kembali terpangkasnya harga minyak mentah global. Pada pukul 05:28 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 2,93% dan 2,84%. Ini berarti harga minyak dunia telah mencatatkan koreksi selam 4 hari berturut-turut.

Semestinya koreksi harga minyak bisa menjadi angin segar bagi rupiah. Sebab penurunan harga akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah, sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account).

Namun kemungkinan penurunan harga minyak akan sulit menopang penguatan rupiah. Apa mau dikata, sepertinya investor lebih khawatir akan dampak ketidakpastian kesepakatan dagang AS-China.

(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini

Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:

• Pembacaan final Produk Domestik Bruto (PDB) Korea Selatan Q2-2019 (06:00 WIB)
• Inflasi Korea Selatan bulan Agustus (06:00 WIB)
• Indeks Harga Produsen Uni Eropa bulan Juli (16:00 WIB)
• Indeks PMI AS bulan Agustus versi Markit (20:45 WIB)
• Indeks PMI AS bulan Agustus versi ISM (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (Agustus 2019 YoY)

3,49%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)

5,5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q2-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Juli 2019)

US$ 125,9 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa) Next Article IHSG Berpeluang Melesat 10% Saat Resesi Dunia di Depan Mata!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular