Newsletter

Hati-Hati, No-Deal Brexit Kian Nyata!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 August 2019 07:05
Hati-Hati, No-Deal Brexit Kian Nyata!
Foto: Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson (REUTERS/Toby Melville)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin (28/8/2019): Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik tipis 0,06% ke level 6.281,65, rupiah flat di pasar spot di level Rp 14.250/dolar AS, sementara imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun naik 5 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai turun 0,29%, indeks Hang Seng melemah 0,19%, dan indeks Straits Times jatuh 0,36%.


Sikap China yang mulai berang dengan klaim sepihak dari Presiden AS Donald Trump sukses memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning.

Berbicara di hadapan reporter di sela-sela pertemuan dengan para pimpinan negara-negara Group of Seven (G-7) di Prancis, Trump menyebut bahwa kedua negara akan mulai berbincang dengan sangat serius.

"China menelepon delegasi tingkat tinggi kami di bidang perdagangan tadi malam dan mengatakan 'mari kembali ke meja perundingan' sehingga kami akan melakukannya dan saya rasa mereka ingin melakukan sesuatu. Mereka telah sangat tersakiti namun mereka sadar bahwa inilah langkah yang tepat untuk dilakukan dan saya memiliki rasa hormat yang besar untuk itu. Ini adalah perkembangan yang sangat positif untuk dunia," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Namun kemudian, pihak China membantah bahwa pembicaraan via sambungan telepon itu dilakukan. Pada Selasa (27/8/2019) malam waktu setempat, China kembali buka suara. China kembali menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tersebut tidak pernah terjadi.

"Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.

Dirinya kemudian mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang kembali menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi importasi produk asal China. Menurut Beijing, langkah AS tersebut sama sekali tak konstruktif.

"Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif."

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Harga Minyak Melejit, Wall Street pun Menghijau

Beralih ke AS, Wall Street mencetak apresiasi pada perdagangan kemarin: indeks Dow Jones melesat 1%, indeks S&P 500 menguat 0,65%, dan indeks Nasdaq Composite naik 0,38%.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan pada akhirnya bisa mengangkat kinerja bursa saham Negeri Paman Sam. Pada hari Selasa, indeks keyakinan konsumen AS periode Agustus 2019 diumumkan di level 135,1 oleh The Conference Board, jauh mengalahkan ekspektasi yang sebesar 129,3, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tingginya angka IKK menunjukkan bahwa masyarakat AS memandang dengan sangat positif perekonomian di sana, serta mengindikasikan bahwa mereka akan mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk aktivitas konsumsi.

Mengingat lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga, tentu tingginya indeks keyakinan konsumen menjadi kabar baik bagi perekonomian Negeri Paman Sam, sekaligus perekonomian dunia.

Selain itu, lonjakan harga minyak mentah dunia ikut mendorong Wall Stret ke zona hijau. Pada penutupan perdagangan kemarin, harga minyak WTI kontrak acuan melejit 1,64% ke level US$ 55,8/barel.

Energy Information Administration (EIA) selaku lembaga resmi pemerintah AS yang berwenang mempublikasikan data stok minyak kemarin mengumumkan bahwa stok minyak mentah berkurang hingga 10 juta barel pada pekan lalu, jauh lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yang memperkirakan penurunan sebesar 2,1 juta barel saja, dilansir dari CNBC International. 

Seiring dengan lonjakan harga minyak mentah, harga saham emiten-emiten yang bergerak di sektor perminyakan pun ikut terek naik: harga saham Chevron naik 0,8%, Exxon menguat 0,7%, dan Cimarex Energy melesat 10,6%.

Sebelum EIA mempublikasikan data stok minyak mentah tersebut, kelompok industri perminyakan yakni American Petroleum Institute (API) telah terlebih dulu mengumumkan temuannya bahwa stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 23 Agustus 2019 turun hingga 11,1 juta barel.

Sejatinya, kenaikan harga minyak mentah dunia adalah sesuatu yang negatif bagi perekonomian AS secara umum, walaupun memang pastinya akan sangat positif bagi emiten-emiten di sektor perminyakan.

Ketika harga minyak mentah melonjak, harga bensin di AS akan menjadi lebih mahal sehingga biaya logistik akan menjadi lebih mahal. Di AS, jalur darat memang berperan besar dalam kegiatan logistik.

Namun begitu, jika dihitung dari titik tertingginya pada tahun ini yang dicapai pada bulan April, harga minyak mentah sudah merosot dengan signifikan sehingga kenaikan pada perdagangan kemarin tak begitu dipermasalahkan oleh pelaku pasar.

Apalagi, ambruknya stok minyak mentah AS mengindikasikan bahwa permintaan atas sumber energi utama dunia tersebut masih kuat, meredakan kekhawatiran pelaku pasar terkait dampak dari perang dagang AS-China terhadap laju perekonomian.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya kinerja Wall Street yang oke pada perdagangan kemarin. Mengingat posisi Wall Street selaku kiblat dari pasar saham dunia, patut diharapkan bahwa apresiasi yang dibukukan di sana akan menjalar ke kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Kedua, pelaku pasar patut mencermati dinamika yang mewarnai perang dagang AS-China. Sejauh ini, belum ada perkembangan baru lagi terkait perang dagang kedua negara. Namun, dalam waktu dekat situasinya akan kembali memanas.

Pasalnya, kita semakin dekat ke tanggal 1 September yang merupakan tanggal penerapan bea masuk baru oleh AS dan China terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Sekedar mengingatkan, menjelang akhir pekan kemarin China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Semakin mendekati 1 September kala situasi akan semakin panas dengan sendirinya, jika ada salah satu pihak yang tak bisa menahan diri untuk berkomentar yang bisa semakin merusak suasana (biasanya sih Trump), maka pasar keuangan dunia bisa dilanda tekanan jual. 

 BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah gaung resesi yang semakin keras disuarakan di AS.

Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. 

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

CNBC International mencatat, pada perdagangan hari Selasa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.

Kemarin, CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps. Lantas, gaung resesi sudah semakin keras disuarakan oleh pasar obligasi AS. Hal ini tentu berpotensi membuat pelaku pasar bermain defensif pada hari ini.

Sentimen keempat yang patut dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Kemarin, Ratu Elizabeth memperikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.

Sejatinya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan depan hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu. Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober.

Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.

Pada hari Selasa, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.

Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.

Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.

BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> Simak Data dan Agenda Berikut

Simak Data dan Agenda Berikut

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Rilis data indeks keyakinan bisnis Korea Selatan periode Agustus 2019 (04:00 WIB)
  • Rilis data indeks keyakinan konsumen Jepang periode Agustus 2019 (12:00 WIB)
  • Rilis pembacaan kedua atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal II-2019 (19:30 WIB)
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk pekan yang berakhir pada 24 Agustus 2019 (19:30 WIB)


Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

Perusahaan

Jenis Kegiatan

Waktu

PT Triwira Insanlestari Tbk (TRIL)

RUPSLB

10:00 WIB

PT Link Net Tbk (LINK)

RUPSLB

10:00 WIB

PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk (GMFI)

RUPS Tahunan, RUPSLB

13:00 WIB

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN)

RUPSLB

14:00 WIB


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019)

5,05% YoY

Inflasi (Juli 2019)

3,32% YoY

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)

5,5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Juli 2019)

US$ 125,9 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Dikepung Sentimen Negatif, Batu Bara Jadi Obat Galau IHSG?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular