Newsletter

Happy Monday! Yuk Jualan Saham....

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 August 2019 06:24
Happy Monday! Yuk Jualan Saham....
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada pekan kemarin. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,49%, rupiah menguat 0,14% di pasar spot melawan dolar AS, sementara imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 17,1 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Sentimen yang bercampur aduk membuat pergerakan pasar keuangan Indonesia tak senada. Berbicara mengenai sentimen positif, secara mengejutkan Bank Indonesia (BI) memangkas tingkat suku bunga acuan pada pekan lalu, menandai pemangkasan selama dua bulan beruntun.

Pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (21/8/2019) dan berakhir hari Kamis (22/8/2019), BI memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).

Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).


Perry mengungkapkan ada tiga alasan utama dibalik pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi pada hari ini. Pertama, inflasi yang terjaga. BI menyebut bahwa inflasi untuk tahun 2019 akan berada di bawah titik tengah dari rentang yang dipatok BI yakni 3,5 plus minus satu persen.

Kedua, imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang menarik sehingga dipercayai akan tetap bisa menarik minat investor asing dan mendukung ketahanan stabilitas eksternal.


Ketiga, BI menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan dieksekusi sebagai langkah preemtif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah ketidakpastian yang menghantui perekonomian global. BI menekankan pentingnya mengambil langkah preemtif di tengah besarnya risiko perlambatan ekonomi global.

"Sebagai langkah preemtif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan, (memitigasi) dampak perlambatan ekonomi global," kata Perry.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan diharapkan akan menggairahkan perekonomian Indonesia yang saat ini sedang relatif lesu.

Di sisi lain, sentimen negatif bagi pasar keuangan tanah air datang dari rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Juli 2019. Rilis risalah tersebut dirilis pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Seperti yang diketahui, dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi pihaknya hanyalah sebuah "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment".

Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.

"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."

Nah, pernyataan dari Powell ini kemudian dikonfirmasi oleh risalah rapat tersebut. Para pejabat The Fed yang setuju untuk memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu sepakat bahwa keputusan tersebut tak seharusnya dipandang sebagai indikasi bahwa tingkat suku bunga acuan akan kembali dipangkas di masa depan.

"Dalam diskusi mereka terkait dengan prospek kebijakan moneter di masa depan, para peserta secara umum menginginkan sebuah pendekatan di mana arah kebijakan (moneter) ditentukan oleh informasi-informasi yang akan datang dan implikasinya untuk prospek perekonomian," tulis risalah rapat The Fed yang dirilis pada dini hari tadi waktu Indonesia, dilansir dari CNBC International.

Risalah tersebut kemudian menyebut kebanyakan peserta rapat memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu "merupakan bagian dari pengkalibrasian ulang atas stance kebijakan (The Fed) atau penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment", di mana itu merupakan respons dari kondisi perekonomian global yang telah berubah.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Wall Street Kebakaran!
Beralih ke AS, Wall Street mengalami kebakaran pada pekan lalu. Dalam sepekan, indeks Dow Jones turun 0,99%, indeks S&P 500 ambruk 1,44%, dan indeks Nasdaq Composite anjlok 1,83%.

Sama seperti dengan yang terjadi di bursa saham tanah air, aksi jual menerpa Wall Street seiring dengan kekhawatiran bahwa nada hawkish akan didapati dalam risalah rapat The Fed edisi Juli 2019. Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, kekhawatiran tersebut kemudian terkonfirmasi.

Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif dari The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing.   Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,331%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,871% saja.

Koreksi secara mingguan yang dibukukan oleh Wall Street pada pekan lalu banyak disumbang oleh penurunan yang terjadi menjelang akhir pekan. Pada perdagangan hari Jumat (23/8/2019), indeks Dow Jones ditutup anjlok 2,37%, indeks S&P 500 ambruk 2,59%, dan indeks Nasdaq Composite merosot 3%.

Eskalasi perang dagang AS-China memantik aksi jual dengan intensitas yang begitu besar menjelang akhir pekan. Eskalasi pertama dari pengumuman China bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.   “Sebagai respons terhadap tindakan AS, China terpaksa mengambil langkah balasan,” tulis pernyataan resmi pemerintah China, dilansir dari CNBC International.

Eskalasi berikutnya datang dari langkah AS yang merespons bea masuk balasan dari China dengan bea masuk versinya sendiri. Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%. Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

“…Yang menyedihkan, pemerintahan-pemerintahan terdahulu telah membiarkan China lolos dari praktek perdagangan yang curang dan tidak berimbang, yang mana itu telah menjadi beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh masyarakat AS. Sebagai seorang Presiden, saya tak lagi bisa mengizinkan hal ini terjadi!....” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1) Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya eskalasi perang dagang AS-China yang sudah merontokkan bursa saham AS menjelang akhir pekan kemarin.

Tak hanya saling balas bea masuk, Trump nampak sudah semakin all-in dalam menghadapi perang dagang dengan China. Sebelum mengumumkan bea masuk baru terhadap importasi produk asal China, melalui serangkaian cuitan di Twitter, Trump memerintahkan perusahaan-perusahaan asal AS untuk meninggalkan China.

"Perusahaan-perusahaan hebat asal AS dengan ini diperintahkan untuk segera mulai mencari alternatif atas China, termasuk membawa perusahaan-perusahaan Anda pulang dan membuat produk-produk Anda di AS," cetus Trump.

Memang, hingga saat ini belum jelas apakah Trump memang punya kuasa untuk mengutus perusahaan-perusahaan asal AS untuk hengkang dari China. Namun, jika ternyata sampai ada celah di sistem hukum AS yang bisa dimanfaatkan Trump untuk mengeksekusi perintahnya tersebut, dampaknya dipastikan akan parah.

Bagaimana tidak, sejauh ini China merupakan penyuplai barang terbesar bagi AS. Ada begitu banyak perusahaan-perusahaan AS yang membangun pabrik di sana lantaran biaya produksi yang lebih murah.

Jika sampai perusahaan-perusahaan asal AS dipaksa hengkang dari China, kegiatan produksi di seluruh dunia bisa terganggu dan ancaman resesi menjadi kian nyata.

Nah, berbicara mengenai resesi, kita masuk ke sentimen kedua yang harus dipantau ketat pelaku pasar. Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun tercatat sempat terjadi kembali pada hari Jumat kemarin. Jika inversi kembali terjadi pada hari ini, tentu hal tersebut akan semakin membebani kinerja pasar keuangan Indonesia.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2) Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah potensi keperkasaan dolar AS. Hingga pukul 06:00 WIB, indeks dolar AS memang tercatat melemah sebesar 0,08%. Namun, dolar AS memiliki bensin untuk menguat lantaran sudah melemah dalam dua hari perdagangan sebelumnya. Bara perang dagang AS-China yang begitu panas juga bisa memantik aksi beli atas dolar AS, mengingat statusnya selaku safe haven.

Lebih lanjut, pernyataan bernada hawkish yang keluar dari mulut Jerome Powell, Gubernur The Fed, juga patut diwaspadai karena bisa mendorong dolar AS menjadi perkasa.

Berbicara dalam simposium tahunan bank sentral di Jackson Hole, Wyoming, sejatinya Powell sempat mengeluarkan pernyataan bernada dovish yang menyejukkan hati pelaku pasar. Dirinya menyebut bahwa The Fed akan melakukan apa yang mereka bisa untuk mempertahankan ekspansi ekonomi yang saat ini tengah dirasakan di AS.

"Tantangan bagi kita sekarang (The Fed) adalah untuk mengeksekusi kebijakan moneter yang bisa mempertahankan ekspansi (ekonomi) sehingga manfaat dari kuatnya pasar tenaga kerja bisa dirasakan oleh mereka yang belum merasakannya, dan sehingga tingkat inflasi bergerak dengan stabil di kisaran dua persen," kata Powell menjelang akhir pekan kemarin, dilansir dari CNBC International.

Namun kemudian, nada hawkish keluar dari mulut Powell. Dirinya menyebut bahwa setelah perkembangan yang ditempuh dalam satu dekade terakhir menuju tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga, "perekonomian AS saat ini sudah mendekati kedua target tersebut", mengindikasikan bahwa The Fed tak akan kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.

Praktis, greenback menjadi memiliki bensin untuk menguat.

Jika dolar AS benar perkasa pada hari ini, tentu rupiah menjadi rawan untuk digoyang. Ketika ini yang terjadi, investor asing bisa melego saham dan obligasi di tanah air guna menghindari yang namanya kerugian kurs.

Sebagai catatan, investor asing dalam beberapa waktu terakhir telah sangat gencar meninggalkan pasar keuangan tanah air. Melansir data dari RTI, dalam sebulan terakhir (23 Juli 2019-23 Agustus 2019) investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 8,06 triliun di pasar reguler.

Di pasar obligasi, kondisinya tak jauh berbeda. Melansir data yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini (hingga perdagangan tanggal 22 Agustus) investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 4,84 triliun.

Sentimen keempat yang perlu dicermati oleh pelaku pasar adalah pergerakan harga minyak mentah dunia. Hingga pukul 06:10 WIB, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman bulan Oktober anjlok 1,9% ke level US$ 53,14/barel, sementara harga minyak mentah brent kontrak pengiriman bulan yang sama merosot 1,48% ke level US$ 58,46/barel.

Kejatuhan harga minyak mentah dunia merupakan berkah bagi Indonesia selaku negara net importir minyak. Dengan harga yang lebih rendah, defisit neraca minyak dan gas (migas) Indonesia bisa ditekan, yang pada akhirnya akan memperbaiki defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) sekaligus menyokong kinerja rupiah.

Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.

Kala rupiah menguat, ada harapan bahwa pasar saham dan obligasi tanah air juga akan menguat.

Namun, dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada, utamanya bara perang dagang AS-China yang begitu panas (yang pada akhirnya membuat Wall Street amburadul pada hari Jumat), tampaknya akan sulit mengharapkan pasar saham, pasar obligasi, serta rupiah untuk menguat pada hari ini.

Selama ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) gencar mengkampanyekan gerakan 'Yuk Nabung Saham'. Tapi, khusus hari ini, mungkin gerakan yang tepat untuk diadopsi oleh pelaku pasar adalah 'Yuk Jualan Saham'.

BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> Simak Data dan Agenda Berikut
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pertumbuhan produksi industri Singapura periode Juli 2019 (12:00 WIB)
  • Rilis data perdagangan internasional Hong Kong periode Juli 2019 (15:30 WIB)
  • Rilis data pertumbuhan pemesanan barang tahan lama inti AS periode Juli 2019 (19:30 WIB)

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Phapros Tbk (PEHA)RUPSLB-
PT Astra International Tbk (ASII)Public Expose10:00 WIB
PT Trimitra Propertindo Tbk (LAND)RUPSLB10:00 WIB


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019)5,05% YoY
Inflasi (Juli 2019)3,32% YoY
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)5,5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular