
Newsletter
Dilema Rupiah: Dolar AS Lemah, Tapi Harga Minyak Melonjak
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
09 April 2019 05:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menderita koreksi pada perdagangan kemarin. Setelah penguatan pekan lalu, koreksi menjadi sebuah keniscayaan dan kebetulan terjadi kemarin.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Senin (8/4/2019) ditutup melemah 0,75%. Lumayan dalam, tetapi lebih baik karena IHSG sempat terkoreksi di kisaran 1%.
Sementara nilai tukar rupiah melemah 0,28% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah sudah melemah sejak pembukaan pasar, dan seiring perjalanan depresiasinya semakin dalam.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena sepi peminat atau bahkan terjadi aksi jual.
Sepanjang pekan lalu, IHSG cs bergerak ke utara alias menguat. Secara mingguan, IHSG naik 0,08%, rupiah terapresiasi 0,81%, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 7,7 bps. Oleh karena itu, wajar jika suatu saat terjadi koreksi setelah reli. Kebetulan koreksi itu terjadi kemarin.
Lagipula memang ada momentum bagi investor untuk melakukan ambil untung (profit taking). Pekan lalu, pasar keuangan Asia bergairah karena aura damai dagang AS-China yang kian kentara akibat positifnya perundingan dagang di Washington.
Dialog dagang kedua negara memang berlanjut pekan ini, tetapi 'hanya' lewat video conference. Selain itu, kemarin praktis tidak ada kabar terbaru mengenai perkembangan prospek dagang AS-China.
Sembari menunggu berita teranyar soal dinamika dialog dagang AS-China, investor memilih mundur terlebih dulu. Keuntungan yang sudah didapat pekan lalu pun dicairkan, sehingga IHSG dkk tidak bisa terhindar dari koreksi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara tiga ineks utama di Wall Street ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,32%, S&P 500 naik tipis 0,1%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,19%.
DJIA terbeban akibat harga saham Boeing yang anjlok sampai 4,44%. Penyebabnya adalah pemangkasan produksi pesawat tipe 737 MAX dari 52 unit/bulan menjadi 42 unit/bulan, setelah tragedi jatuhnya pesawat milik Lion Air dan Ethiopian Airlines.
Tidak hanya itu, langkah berbagai negara 'mengandangkan' Boeing 737 MAX juga akan sangat mempengaruhi kinerja keuangan perseroan. Bank of Amerika Merrill Lynch menurunkan rekomendasi atas saham Boeing dari beli menjadi netral. Awalnya dampak dari kejadian ini diperkirakan terasa selama 3-6 bulan, tetapi kemudian direvisi menjadi lebih lama yaitu 6-9 bulan.
Namun S&P 500 dan Nasdaq masih bisa menguat karena investor memanfaatkan situasi sebelum musim laporan keuangan (earnings season). Ada kekhawatiran terhadap earnings season kuartal I-2019, karena kemungkinan laporan keuangan emiten-emiten di Wall Street akan dihiasi warna merah.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan rata-rata laba bersih emiten di S&P 500 terkontraksi 2,3% year-on-year (YoY) pada kuartal I-2019. Sebenarnya koreksi laba ini sangat wajar mengingat basis yang tinggi pada tahun sebelumnya.
Kita semua tentu masih ingat bahwa kuartal I-2018 adalah masa puncak 'bulan madu' di AS, semua bahagia karena baru merasakan dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Kini dampak dari kebijakan tersebut sudah sirna, semua kembali normal. Jadi wajar saja kalau laba perusahaan ikut turun.
Sebelum earnings season dimulai, investor masih ingin merasakan nikmatnya penguatan. Sebab nantinya ketika earnings season terjadi dan didominasi warna merah, penguatan sepertinya bakal menjadi pemandangan langka.
"Kita sudah cukup lama menikmati penguatan, dan apa yang terjadi hari ini adalah mentalitas menit-menit terakhir. Menang jelang menit-menit terakhir seperti ini biasanya pasar saham menunjukkan performa yang baik," kata Charlie Ripley, Senior Market Strategist di Allianz Investment Management yang berbasis di Minneapolis, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski mixed tetapi masih cenderung menguat. Semoga ini cukup untuk mengangkat moral pelaku pasar di Asia sebelum memulai hari.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang kemarin perkasa tetapi hari ini mulai melemah. Pada pukul 04:25 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,35%.
Data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam jadi pemberat langkah dolar AS. Pemesanan produk manufaktur made in the USA pada Februari turun 0,5% secara month-on-month (MoM). Penyebab utamanya adalah penurunan permintaan pesawat terbang (-31,1% MoM) setelah apa yang dialami Boeing.
Dengan data kurang oke ini, peluang kenaikan suku bunga acuan menjadi pupus lagi. Justru yang ada The Federal Reserve/The Fed akan semakin sadar bahwa perekonomian AS masih butuh dorongan, dan itu tidak bisa dilakukan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Peluang kenaikan Federal Funds Rate yang semakin kecil membuat dolar AS mundur teratur. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Dolar AS yang sedang dalam posisi bertahan bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk membalaskan dendam pelemahan kemarin. Akan tetapi, rupiah juga harus waspada dengan sentimen ketiga yaitu lonjakan harga minyak.
Pada pukul 04:35 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melejit masing-masing 1,05% dan 2,19%. Harga si emas hitam terkatrol gara-gara perkembangan terbaru di Libya.
Konflik antara pemerintah dengan kelompok Libyan National Army (LNA) semakin panas. LNA menghantam Bandara Mitiga di ibukota Tripoli dengan serangan udara. Serangan ini ditujukan kepada pesawat MiG milik pemerintah yang terparkir di bandara tersebut.
Dalam serangan itu 25 orang dikabarkan tewas, sementara 80 orang lain mengalami luka-luka. Selain itu, Mitiga adalah satu-satunya bandara yang beroperasi di Tripoli sehingga pilihan terdekat bagi masyarakat adalah di Misrata yang berjarak sekitar 200 km dari ibukota.
Investor pun cemas karena konflik bersenjata di Libya bisa saja mempengaruhi produksi dan pengiriman minyak. Pada Desember 2018, produksi minyak di Libya tercatat 928.000 barel/hari. Sejak 1973, rata-rata produksi minyak Libya adalah 1,34 juta barel/hari.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang suka tidak suka harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri akibat produksi yang belum memadai.
Ketika harga minyak naik, maka biaya importasi komoditas ini akan semakin mahal. Padahal impor harus dilakukan, mau tidak mau. Akibatnya neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account) akan menanggung beban berat.
Apabila defisit transaksi berjalan semakin lebar, maka rupiah akan rentan melemah. Sebab pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret cenderung kurang, sehingga rupiah tidak punya modal untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Senin (8/4/2019) ditutup melemah 0,75%. Lumayan dalam, tetapi lebih baik karena IHSG sempat terkoreksi di kisaran 1%.
Sementara nilai tukar rupiah melemah 0,28% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah sudah melemah sejak pembukaan pasar, dan seiring perjalanan depresiasinya semakin dalam.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena sepi peminat atau bahkan terjadi aksi jual.
Sepanjang pekan lalu, IHSG cs bergerak ke utara alias menguat. Secara mingguan, IHSG naik 0,08%, rupiah terapresiasi 0,81%, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 7,7 bps. Oleh karena itu, wajar jika suatu saat terjadi koreksi setelah reli. Kebetulan koreksi itu terjadi kemarin.
Lagipula memang ada momentum bagi investor untuk melakukan ambil untung (profit taking). Pekan lalu, pasar keuangan Asia bergairah karena aura damai dagang AS-China yang kian kentara akibat positifnya perundingan dagang di Washington.
Dialog dagang kedua negara memang berlanjut pekan ini, tetapi 'hanya' lewat video conference. Selain itu, kemarin praktis tidak ada kabar terbaru mengenai perkembangan prospek dagang AS-China.
Sembari menunggu berita teranyar soal dinamika dialog dagang AS-China, investor memilih mundur terlebih dulu. Keuntungan yang sudah didapat pekan lalu pun dicairkan, sehingga IHSG dkk tidak bisa terhindar dari koreksi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara tiga ineks utama di Wall Street ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,32%, S&P 500 naik tipis 0,1%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,19%.
DJIA terbeban akibat harga saham Boeing yang anjlok sampai 4,44%. Penyebabnya adalah pemangkasan produksi pesawat tipe 737 MAX dari 52 unit/bulan menjadi 42 unit/bulan, setelah tragedi jatuhnya pesawat milik Lion Air dan Ethiopian Airlines.
Tidak hanya itu, langkah berbagai negara 'mengandangkan' Boeing 737 MAX juga akan sangat mempengaruhi kinerja keuangan perseroan. Bank of Amerika Merrill Lynch menurunkan rekomendasi atas saham Boeing dari beli menjadi netral. Awalnya dampak dari kejadian ini diperkirakan terasa selama 3-6 bulan, tetapi kemudian direvisi menjadi lebih lama yaitu 6-9 bulan.
Namun S&P 500 dan Nasdaq masih bisa menguat karena investor memanfaatkan situasi sebelum musim laporan keuangan (earnings season). Ada kekhawatiran terhadap earnings season kuartal I-2019, karena kemungkinan laporan keuangan emiten-emiten di Wall Street akan dihiasi warna merah.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan rata-rata laba bersih emiten di S&P 500 terkontraksi 2,3% year-on-year (YoY) pada kuartal I-2019. Sebenarnya koreksi laba ini sangat wajar mengingat basis yang tinggi pada tahun sebelumnya.
Kita semua tentu masih ingat bahwa kuartal I-2018 adalah masa puncak 'bulan madu' di AS, semua bahagia karena baru merasakan dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Kini dampak dari kebijakan tersebut sudah sirna, semua kembali normal. Jadi wajar saja kalau laba perusahaan ikut turun.
Sebelum earnings season dimulai, investor masih ingin merasakan nikmatnya penguatan. Sebab nantinya ketika earnings season terjadi dan didominasi warna merah, penguatan sepertinya bakal menjadi pemandangan langka.
"Kita sudah cukup lama menikmati penguatan, dan apa yang terjadi hari ini adalah mentalitas menit-menit terakhir. Menang jelang menit-menit terakhir seperti ini biasanya pasar saham menunjukkan performa yang baik," kata Charlie Ripley, Senior Market Strategist di Allianz Investment Management yang berbasis di Minneapolis, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski mixed tetapi masih cenderung menguat. Semoga ini cukup untuk mengangkat moral pelaku pasar di Asia sebelum memulai hari.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang kemarin perkasa tetapi hari ini mulai melemah. Pada pukul 04:25 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,35%.
Data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam jadi pemberat langkah dolar AS. Pemesanan produk manufaktur made in the USA pada Februari turun 0,5% secara month-on-month (MoM). Penyebab utamanya adalah penurunan permintaan pesawat terbang (-31,1% MoM) setelah apa yang dialami Boeing.
Dengan data kurang oke ini, peluang kenaikan suku bunga acuan menjadi pupus lagi. Justru yang ada The Federal Reserve/The Fed akan semakin sadar bahwa perekonomian AS masih butuh dorongan, dan itu tidak bisa dilakukan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Peluang kenaikan Federal Funds Rate yang semakin kecil membuat dolar AS mundur teratur. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Dolar AS yang sedang dalam posisi bertahan bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk membalaskan dendam pelemahan kemarin. Akan tetapi, rupiah juga harus waspada dengan sentimen ketiga yaitu lonjakan harga minyak.
Pada pukul 04:35 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melejit masing-masing 1,05% dan 2,19%. Harga si emas hitam terkatrol gara-gara perkembangan terbaru di Libya.
Konflik antara pemerintah dengan kelompok Libyan National Army (LNA) semakin panas. LNA menghantam Bandara Mitiga di ibukota Tripoli dengan serangan udara. Serangan ini ditujukan kepada pesawat MiG milik pemerintah yang terparkir di bandara tersebut.
Dalam serangan itu 25 orang dikabarkan tewas, sementara 80 orang lain mengalami luka-luka. Selain itu, Mitiga adalah satu-satunya bandara yang beroperasi di Tripoli sehingga pilihan terdekat bagi masyarakat adalah di Misrata yang berjarak sekitar 200 km dari ibukota.
Investor pun cemas karena konflik bersenjata di Libya bisa saja mempengaruhi produksi dan pengiriman minyak. Pada Desember 2018, produksi minyak di Libya tercatat 928.000 barel/hari. Sejak 1973, rata-rata produksi minyak Libya adalah 1,34 juta barel/hari.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang suka tidak suka harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri akibat produksi yang belum memadai.
Ketika harga minyak naik, maka biaya importasi komoditas ini akan semakin mahal. Padahal impor harus dilakukan, mau tidak mau. Akibatnya neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account) akan menanggung beban berat.
Apabila defisit transaksi berjalan semakin lebar, maka rupiah akan rentan melemah. Sebab pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret cenderung kurang, sehingga rupiah tidak punya modal untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pembukaan lapangan kerja (JOLTS) di AS periode Februari (21:00 WIB).
- Rilis data penjualan eceran Indonesia periode Februari (tentatif).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular