
Newsletter
Pantau Isu Hubungan AS-China dan Brexit, Agak Mengkhawatikan
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
20 March 2019 07:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, sementara nilai tukar rupiah mampu terapresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,45%. Indeks saham utama Asia berakhir variatif, di mana Nikkei 225 turun 0,08%, Hang Seng naik 0,19%, Shanghai Composite turun 0,18%, Kospi melemah 0,09%, dan Straits Times menguat 0,25%.
Sepertinya IHSG dihinggapi ambil untung (profit taking). Maklum, IHSG sudah menguat 4 hari beruntun dan selama periode itu penguatannya mencapai 2,45%.
Selain itu, IHSG juga rentan mengalami profit taking karena valuasinya sudah cukup mahal dibandingkan indeks saham utama Asia. Saat ini, Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 16,03 kali. Lebih tinggi ketimbang Nikkei 225 (15,34 kali), Hang Seng (11,73 kali), Shanghai Composite (12,85 kali), Kospi (12,1 kali), atau Straits Times (12,39 kali).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 0,07% di akhir perdagangan pasar spot kemarin. Rupiah berhasil menguat selama 3 hari perdagangan berturut-turut.
Mayoritas mata uang Asia juga menguat, karena dolar AS memang sedang tertekan secara global. Investor menjauhi dolar AS seiring penantian terhadap rapat bulanan komite pengambil kebijakan Bank Sentral Negeri Paman Sam, The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC).
Suku bunga acuan diperkirakan bertahan di 2,25-2,5% dengan probabilitas mencapai 98,7% menurut CME Fedwatch. Soal suku bunga sebenarnya sudah ketaker, sehingga pelaku pasar lebih menantikan pengumuman berikutnya yaitu pembacaan terkini mengenai prospek perekonomian AS dan arah kebijakan moneter The Fed ke depan.
Ada satu indikator yang akan benar-benar dipelototi oleh pasar yaitu dot plot atau arah suku bunga acuan sampai jangka menengah. Saat ini, dot plot The Fed menunjukkan suku bunga acuan pada akhir 2019 berada di median 2,875%. Dengan Federal Funds Rate yang sekarang di median 2,375% maka butuh setidaknya kenaikan 50 basis poin (bps) atau dua kali lagi masing-masing 25b bps.
Dot plot teranyar disusun Desember 2018, dan bisa saja diubah dalam rapat The Fed bulan ini. Jika The Fed median dalam dot plot diturunkan, maka bisa jadi hanya akan ada sekali kenaikan pada 2019 atau malah tidak ada sama sekali.
Peluang kenaikan suku bunga acuan yang semakin samar-samar membuat dolar AS jadi kurang seksi. Jadilah investor keluar dari dolar AS, dan aliran modal menyebar ke segala penjuru termasuk ke Indonesia.
IHSG boleh melemah 0,45%, tetapi investor asing tetap masuk ke Bursa Efek Indonesia dan mencatat beli bersih Rp 170,45 miliar. Tidak hanya di pasar saham, arus modal pun sepertinya masuk ke pasar obligasi pemerintah.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 0,2 bps. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Arus modal masuk ini berhasil menjadi suntikan energi bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,1%, S&P 500 terkoreksi 0,01%, tetapi Nasdaq Composite masih mampu menguat 0,12%.
Ada dua sentimen yang bertubrukan sehingga bursa saham New York berakhir penuh kegalauan seperti itu. Pertama adalah sentimen positif seperti yang sudah disinggung sebelumnya yaitu The Fed yang diperkirakan semakin dovish. Saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah, sehingga sikap (stance) The Fed yang semakin kalem menguntungkan bagi pasar ekuitas.
Namun ada sentimen kedua yaitu hubungan AS-China terkait prospek damai dagang. Bloomberg melaporkan, seperti dikutip dari Reuters, sejumlah pejabat di Washington cemas bahwa kemungkinan Beijing enggan memenuhi permintaan AS.
Tidak disebutkan permintaan seperti apa yang mungkin ditolak, tetapi beberapa hal yang dituntut AS adalah penghormatan terhadap hak atas kekayaan intelektual, penghapusan kewajiban transfer teknologi bagi investasi asing di China, nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental dan mekanisme pasar, atau penghapusan subsidi di berbagai sendi perekonomian Negeri Tirai Bambu. Mungkin saja salah satu atau lebih dari satu di antaranya dianggap memberatkan oleh China.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip Reuters.
Dua sentimen itu menjadi warna yang dominan mempengaruhi pergerakan Wall Street. Sepertinya keduanya sama kuat, sehingga hasilnya 'seri'. Wall Street bergerak dalam rentang yang tipis cenderung flat.
Faktor lain yang menjadi pemberat langkah Wall Street adalah rilis data terbaru di AS. pemesanan pabrik (factory orders) di Negeri Paman Sam pada Januari hanya tumbuh 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaikan 0,3%.
Kenaikan pemesanan pabrik yang tidak sesuai dengan ekspektasi menandakan perekonomian AS semakin menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Ekspansi dunia usaha sepertinya mulai terbatas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang agak mixed. Wall Street tampaknya sulit dijadikan pedoman bagi pelaku pasar di Asia untuk memulai hari.
Sentimen kedua adalah prospek damai dagang AS-China yang seperti gergaji, maju-mundur. Sekarang hawanya sedang agak jelek, setelah kemarin beredar kabar pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping diundur ke Juni kini muncul pemberitaan bahwa China menolak untuk memenuhi permintaan AS.
Padahal investor (dan seluruh dunia) sudah sangat menantikan damai dagang AS-China. kala dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi tidak lagi saling hambat, maka rantai pasok global akan kembali semarak dan dunia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Namun sepertinya harapan itu haru tertunda sejenak. Bahkan masih ada kemungkinan AS-China kembali terlibat perang dagang, risiko ke arah sana masih belum bisa dikesampingkan. Jadi investor rasanya masih harus meluangkan waktu untuk memantau perkembangan isu ini.
Sentimen ketiga adalah seputar Brexit. Perdana Menteri Inggris Theresa May akan meminta kepada Uni Eropa untuk menunda pelaksanaan Brexit setidaknya 3 bulan. Perceraian Inggris dengan Uni Eropa sedianya berlangsung 29 Maret.
Uni Eropa akan menggelar pertemuan pada 21 Maret waktu setempat. Nasib Inggris akan ditentukan dalam pertemuan itu, karena penundaan Brexit harus disetujui oleh 27 negara anggota Uni Eropa.
Sejatinya Brussel setuju saja jika Inggris minta extra time. Namun harus jelas juga apa yang akan dilakukan oleh Inggris, bagaimana bisa menyelesaikan perdebatan di dalam negeri terutama meyakinkan parlemen. Sebab, sudah dua kali parlemen menolak proposal Brexit sehingga menimbulkan ketidakpastian.
"Kesabaran kami sedang diuji. Kepada kawan kami di London, cepat selesaikan karena waktu sudah sangat mepet," tegas Michael Roth, Menteri Urusan Eropa Republik Federal Jerman, mengutip Reuters.
"Mau perpanjangan? Buat apa? Waktu bukanlah solusinya, harus ada tujuan dan strategi. Itu yang harus datang dari London," cetus Nathalie Loiseau, Menteri Urusan Eropa Republik Prancis, dikutip dari Reuters.
Jadi sepertinya May harus bekerja keras untuk meyakinkan para pemimpin Benua Biru untuk mendapatkan perpanjangan waktu. Kalau sampai gagal, maka Inggris akan berada dalam ancaman bercerai dengan Uni Eropa tanda kesepakatan apa-apa alias No Deal Brexit. Pelaku pasar masih perlu memasang mata dan telinga untuk memperoleh kabar dari Eropa.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang sudah tertekan hebat dalam 2 hari terakhir. Ada kemungkinan dolar AS mulai bangkit, karena pada pukul 06:55 WIB Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) mulai menguat 0,02%.
Koreksi yang terjadi sejak awal pekan ini membuat dolar AS menjadi murah. Tentu dolar AS yang sudah lebih terjangkau ini menarik minat pelaku pasar untuk kembali mengoleksinya.
Namun meski ada riak-riak kebangkitan, sepertinya secara fundamental belum ada hal yang bisa mendorong penguatan dolar AS. Investor masih akan cenderung menghindari dolar AS karena The Fed yang semakin anteng.
Oleh karena itu, ada kemungkinan rupiah akan sedikit 'digoyang' hari ini. Namun tampaknya tidak perlu terlalu khawatir, karena angin masih belum berpihak kepada dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,45%. Indeks saham utama Asia berakhir variatif, di mana Nikkei 225 turun 0,08%, Hang Seng naik 0,19%, Shanghai Composite turun 0,18%, Kospi melemah 0,09%, dan Straits Times menguat 0,25%.
Sepertinya IHSG dihinggapi ambil untung (profit taking). Maklum, IHSG sudah menguat 4 hari beruntun dan selama periode itu penguatannya mencapai 2,45%.
Selain itu, IHSG juga rentan mengalami profit taking karena valuasinya sudah cukup mahal dibandingkan indeks saham utama Asia. Saat ini, Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 16,03 kali. Lebih tinggi ketimbang Nikkei 225 (15,34 kali), Hang Seng (11,73 kali), Shanghai Composite (12,85 kali), Kospi (12,1 kali), atau Straits Times (12,39 kali).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 0,07% di akhir perdagangan pasar spot kemarin. Rupiah berhasil menguat selama 3 hari perdagangan berturut-turut.
Mayoritas mata uang Asia juga menguat, karena dolar AS memang sedang tertekan secara global. Investor menjauhi dolar AS seiring penantian terhadap rapat bulanan komite pengambil kebijakan Bank Sentral Negeri Paman Sam, The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC).
Suku bunga acuan diperkirakan bertahan di 2,25-2,5% dengan probabilitas mencapai 98,7% menurut CME Fedwatch. Soal suku bunga sebenarnya sudah ketaker, sehingga pelaku pasar lebih menantikan pengumuman berikutnya yaitu pembacaan terkini mengenai prospek perekonomian AS dan arah kebijakan moneter The Fed ke depan.
Ada satu indikator yang akan benar-benar dipelototi oleh pasar yaitu dot plot atau arah suku bunga acuan sampai jangka menengah. Saat ini, dot plot The Fed menunjukkan suku bunga acuan pada akhir 2019 berada di median 2,875%. Dengan Federal Funds Rate yang sekarang di median 2,375% maka butuh setidaknya kenaikan 50 basis poin (bps) atau dua kali lagi masing-masing 25b bps.
Dot plot teranyar disusun Desember 2018, dan bisa saja diubah dalam rapat The Fed bulan ini. Jika The Fed median dalam dot plot diturunkan, maka bisa jadi hanya akan ada sekali kenaikan pada 2019 atau malah tidak ada sama sekali.
Peluang kenaikan suku bunga acuan yang semakin samar-samar membuat dolar AS jadi kurang seksi. Jadilah investor keluar dari dolar AS, dan aliran modal menyebar ke segala penjuru termasuk ke Indonesia.
IHSG boleh melemah 0,45%, tetapi investor asing tetap masuk ke Bursa Efek Indonesia dan mencatat beli bersih Rp 170,45 miliar. Tidak hanya di pasar saham, arus modal pun sepertinya masuk ke pasar obligasi pemerintah.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 0,2 bps. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Arus modal masuk ini berhasil menjadi suntikan energi bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,1%, S&P 500 terkoreksi 0,01%, tetapi Nasdaq Composite masih mampu menguat 0,12%.
Ada dua sentimen yang bertubrukan sehingga bursa saham New York berakhir penuh kegalauan seperti itu. Pertama adalah sentimen positif seperti yang sudah disinggung sebelumnya yaitu The Fed yang diperkirakan semakin dovish. Saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah, sehingga sikap (stance) The Fed yang semakin kalem menguntungkan bagi pasar ekuitas.
Namun ada sentimen kedua yaitu hubungan AS-China terkait prospek damai dagang. Bloomberg melaporkan, seperti dikutip dari Reuters, sejumlah pejabat di Washington cemas bahwa kemungkinan Beijing enggan memenuhi permintaan AS.
Tidak disebutkan permintaan seperti apa yang mungkin ditolak, tetapi beberapa hal yang dituntut AS adalah penghormatan terhadap hak atas kekayaan intelektual, penghapusan kewajiban transfer teknologi bagi investasi asing di China, nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental dan mekanisme pasar, atau penghapusan subsidi di berbagai sendi perekonomian Negeri Tirai Bambu. Mungkin saja salah satu atau lebih dari satu di antaranya dianggap memberatkan oleh China.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip Reuters.
Dua sentimen itu menjadi warna yang dominan mempengaruhi pergerakan Wall Street. Sepertinya keduanya sama kuat, sehingga hasilnya 'seri'. Wall Street bergerak dalam rentang yang tipis cenderung flat.
Faktor lain yang menjadi pemberat langkah Wall Street adalah rilis data terbaru di AS. pemesanan pabrik (factory orders) di Negeri Paman Sam pada Januari hanya tumbuh 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaikan 0,3%.
Kenaikan pemesanan pabrik yang tidak sesuai dengan ekspektasi menandakan perekonomian AS semakin menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Ekspansi dunia usaha sepertinya mulai terbatas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang agak mixed. Wall Street tampaknya sulit dijadikan pedoman bagi pelaku pasar di Asia untuk memulai hari.
Sentimen kedua adalah prospek damai dagang AS-China yang seperti gergaji, maju-mundur. Sekarang hawanya sedang agak jelek, setelah kemarin beredar kabar pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping diundur ke Juni kini muncul pemberitaan bahwa China menolak untuk memenuhi permintaan AS.
Padahal investor (dan seluruh dunia) sudah sangat menantikan damai dagang AS-China. kala dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi tidak lagi saling hambat, maka rantai pasok global akan kembali semarak dan dunia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Namun sepertinya harapan itu haru tertunda sejenak. Bahkan masih ada kemungkinan AS-China kembali terlibat perang dagang, risiko ke arah sana masih belum bisa dikesampingkan. Jadi investor rasanya masih harus meluangkan waktu untuk memantau perkembangan isu ini.
Sentimen ketiga adalah seputar Brexit. Perdana Menteri Inggris Theresa May akan meminta kepada Uni Eropa untuk menunda pelaksanaan Brexit setidaknya 3 bulan. Perceraian Inggris dengan Uni Eropa sedianya berlangsung 29 Maret.
Uni Eropa akan menggelar pertemuan pada 21 Maret waktu setempat. Nasib Inggris akan ditentukan dalam pertemuan itu, karena penundaan Brexit harus disetujui oleh 27 negara anggota Uni Eropa.
Sejatinya Brussel setuju saja jika Inggris minta extra time. Namun harus jelas juga apa yang akan dilakukan oleh Inggris, bagaimana bisa menyelesaikan perdebatan di dalam negeri terutama meyakinkan parlemen. Sebab, sudah dua kali parlemen menolak proposal Brexit sehingga menimbulkan ketidakpastian.
"Kesabaran kami sedang diuji. Kepada kawan kami di London, cepat selesaikan karena waktu sudah sangat mepet," tegas Michael Roth, Menteri Urusan Eropa Republik Federal Jerman, mengutip Reuters.
"Mau perpanjangan? Buat apa? Waktu bukanlah solusinya, harus ada tujuan dan strategi. Itu yang harus datang dari London," cetus Nathalie Loiseau, Menteri Urusan Eropa Republik Prancis, dikutip dari Reuters.
Jadi sepertinya May harus bekerja keras untuk meyakinkan para pemimpin Benua Biru untuk mendapatkan perpanjangan waktu. Kalau sampai gagal, maka Inggris akan berada dalam ancaman bercerai dengan Uni Eropa tanda kesepakatan apa-apa alias No Deal Brexit. Pelaku pasar masih perlu memasang mata dan telinga untuk memperoleh kabar dari Eropa.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang sudah tertekan hebat dalam 2 hari terakhir. Ada kemungkinan dolar AS mulai bangkit, karena pada pukul 06:55 WIB Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) mulai menguat 0,02%.
Koreksi yang terjadi sejak awal pekan ini membuat dolar AS menjadi murah. Tentu dolar AS yang sudah lebih terjangkau ini menarik minat pelaku pasar untuk kembali mengoleksinya.
Namun meski ada riak-riak kebangkitan, sepertinya secara fundamental belum ada hal yang bisa mendorong penguatan dolar AS. Investor masih akan cenderung menghindari dolar AS karena The Fed yang semakin anteng.
Oleh karena itu, ada kemungkinan rupiah akan sedikit 'digoyang' hari ini. Namun tampaknya tidak perlu terlalu khawatir, karena angin masih belum berpihak kepada dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis Tankan Indeks Jepang periode Maret (06:00 WIB).
- Rilis Indeks Harga Produsen Jerman periode Februari (14:00 WIB/perkiraan).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) | RUPSLB | 14:00 WIB |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Februari 2019 YoY) | 2,57% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Februari 2019) | US$ 123,27 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular