Newsletter

Pantau Terus Dolar AS, Takutnya Masih 'Galak'

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
11 March 2019 06:04
Pantau Terus Dolar AS, Takutnya Masih 'Galak'
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang suram bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan pasar obligasi pemerintah mengalami koreksi. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,8%. Sementara rupiah terdepresiasi 1,38% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun melesat 11,8 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena tertekan aksi jual. 

Pekan lalu memang penuh ujian bagi pasar keuangan Asia. Pertama, China menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%. Melambat dibandingkan pencapaian 2018 yang sebesar 6,6%. Padahal pertumbuhan ekonomi 6,6% sudah merupakan yang paling lemah sejak 1990. 

Kedua, ada kesan hubungan AS-Korea Utara menegang setelah pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang tanpa hasil di Vietnam. Kantor berita Yonhap melaporkan bahwa Korea Utara mulai membangun kembali misil yang dilucuti tahun lalu. 

Aktivitas ini dilakukan di Tongchang-ri. Berdasarkan citra satelit, terlihat ada struktur landasan luncur (launchpad) misil dibangun antara 16 Februari hingga 2 Maret.  
 

Ketiga, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,7% menjadi 1,1% pada 2019. Untuk 2020, proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dikoreksi ke bawah dari 1,7% menjadi 1,6%. 

Berbagai perkembangan tersebut membuat investor ogah 'bermain api' dengan instrumen berisiko di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Pelaku pasar pun menjadi aman dengan pulang ke pelukan dolar AS, sang aset aman (safe haven).  

Sepanjang minggu kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata yang utama dunia) menguat 0,45%. Sejak awal tahun, indeks ini sudah melonjak 1,18%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama melemah terbatas pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,09%, S&P 500 terkoreksi 0,21%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,18%. 

Pelemahan di bursa saham New York disebabkan oleh respons pasar atas data ketenagakerjaan AS. Pada Februari, perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 20.000 lapangan kerja. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.0000 dan menjadi penciptaan lapangan kerja terendah sejak September 2017. 

Angka ini menunjukkan sinyal-sinyal perlambatan ekonomi di AS sudah semakin terlihat. Penciptaan lapangan kerja mulai terbatas, tanda dunia usaha tidak lagi terlalu ekspansif. 

Namun, bukan berarti pasar tenaga kerja AS benar-benar tertekan. Sebab, angka pengangguran pada Februari tercatat 3,8% atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4%. 

Laporan data ketenagakerjaan yang agak mixed ini membuat pasar galau. Di satu sisi ada hawa stagnasi bahkan perlambatan ekonomi. Namun di sisi lain, terlihat pula kenyataan bahwa perekonomian Negeri Adidaya masih kuat. 

Oleh karena itu, Wall Street pun seolah berakhir gamang. Menguat tidak, tetapi melemah juga segitu-segitu saja. 

"Orang orang khawatir soal data. Namun kemudian sadar bahwa ekonomi ternyata mungkin masih kuat," ujar Keith Lerner, Chief Market Strategist di SunTrust Advisory Services yang berbasis di Atlanta, mengutip Reuters. 

Secara mingguan, Wall Street bernasib sama dengan bursa saham Asia. DJIA dan S&P anjlok 2,2% sementara Nasdaq amblas 2,5%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street yang merah pada akhir pekan dan sepanjang pekan lalu. Bisa-bisa mood investor di Asia sudah jelek duluan saat melihat Wall Street yang seperti ini. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang belum berhenti menguat. Pada pukul 05:27 WIB, Dollar Index masih menguat 0,1%. 

Data ketenagakerjaan Negeri Adidaya yang ditanggapi sebagai mixed oleh bursa saham ternyata bisa menjadi pendorong berlanjutnya penguatan dolar AS. Sebab, meski pembukaan lapangan kerja terbatas tetapi pasar tenaga kerja AS masih kuat jika melihat data-data yang lebih rinci. 

Angka pengangguran yang sebesar 3,8% menjadi yang terendah sejak November 2018. Kemudian tingkat pengangguran secara luas, yang memasukkan orang-orang yang ingin bekerja tetapi putus asa mencari pekerjaan dan orang-orang yang bekerja paruh waktu karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan penuh waktu, berada di angka 7,3%. Ini menjadi angka terendah sejak Maret 2001. 

Sementara kenaikan upah per jam pada Februari adalah 3,4% year-on-year (YoY). Ini menjadi kenaikan tertinggi sejak April 2009. 

Lalu biaya tenaga kerja yang ditanggung oleh dunia usaha juga rendah. Pada 2018, biaya tenaga kerja hanya naik 1,4%, kenaikan terkecil sejak 2016. 

Jadi, sebenarnya pasar tenaga kerja AS masih solid dan mencerminkan perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, jangan mengesampingkan potensi kenaikan suku bunga acuan. The Federal Reserves/The Fed tidak akan tinggal diam jika kondisi ketenagakerjaan membaik dan perekonomian tumbuh tinggi, yang menyebabkan tekanan inflasi. 

Ditopang oleh masih adanya harapan kenaikan Federal Funds Rate, dolar AS pun di atas angin. Pasalnya para pesaingnya seperti ECB dan Bank of Japan (BoJ) masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar dan pemberian stimulus. Kenaikan suku bunga belum ada dalam pikiran mereka, masih amat sangat jauh sekali banget. Dolar AS yang tanpa lawan ini membuatnya menguat agak semena-mena. 

Nasib rupiah pun kembali samar-samar. Setelah pekan lalu tertindas, bisa jadi mata uang Tanah Air kembali teraniaya jika dolar AS masih terus digdaya. 

Namun rupiah punya keunggulan, yaitu pelemahannya yang sudah cukup dalam. Ini membuat rupiah menjadi murah, sehingga menarik minat investor untuk mengoleksinya. 

Kemudian sentimen ketiga bisa jadi positif bagi pasar keuangan Asia, karena hawa damai dagang AS-China yang masih terpelihara. Beijing menegaskan pihaknya bekerja siang dan malam demi terciptanya kesepakatan dagang dengan AS. Bahkan China sudah mulai bicara soal menghapus pengenaan bea masuk. 

"Bea masuk menurunkan kepercayaan investor dan membuat korporasi menunda investasinya. Sekarang, kedua pihak bekerja keras untuk mencapai kesepakatan. Semua itu bertujuan untuk menghapus bea masuk sehingga perdagangan AS-China menjadi normal kembali," jelas Wang Shouwen, Wakil Menteri Perdagangan China, mengutip Reuters.

 China pun berupaya untuk memenuhi keingingan AS, salah satunya adalah reformasi kebijakan subsidi. Xiao Yaqing, Kepala Komisi Administrasi dan Pengawasan Aset Negara China, menyatakan Beijing sedang membereskan isu ini. 

"Bisa dibilang China tidak memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur subsidi bagi perusahaan milik negara. Oleh karena itu, China sedang membersihkan dan menyusun standar untuk berbagai subsidi," ungkap Xiao, dikutip dari Reuters. 

Sejauh ini, pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping di resor golf Mar-a-Lago (Florida) masih terjadwal. Pertemuan tersebut paling cepat terjadi pada tengah bulan ini. 

Asa damai dagang AS-China yang masih terjaga bisa menciptakan optimisme di pasar keuangan Asia. semoga sentimen ini cukup kuat untuk mengangkat IHSG, rupiah, dan pasar obligasi pemerintah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan ritel AS periode Januari 2019 (19:30 WIB).
  • Rilis data ekspor-impor Jerman periode Januari 2019 (14:00 WIB).
  • Rilis data produksi industri Jerman periode Januari 2019 (14:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Januari 2019 (tentatif). 

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk (GMFI)RUPS Tahunan13:00 WIB
PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA)RUPSLB14:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular