
Newsletter
Semua Gara-gara IMF
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 January 2019 05:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia patut mendapat apresiasi pada perdagangan kemarin. Di tengah gelombang pelemahan yang terjadi di Asia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mampu menguat.
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,28% setelah nyaris seharian berkubang di zona merah. Sementara bursa saham utama Asia tidak mampu melakukan hal serupa. Indeks Nikkei 225 turun 0,47%, Shanghai Composite anjlok 1,18%, Hang Seng melemah 0,7%, Straits Times minus 0,86%, dan Kospi berkurang 0,32%.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07%. Di Asia, cuma rupiah, yen Jepang, dan won Korea Selatan yang mampu menguat. Sisanya tidak selamat.
Faktor penyebab merahnya bursa saham dan mata uang Asia adalah proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019, lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%.
"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters.
Proyeksi IMF ini membuat pelaku pasar kurang trengginas, ada keraguan. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan negara berkembang di Asia.
Namun yang menjadi penyelamat bagi pasar keuangan Indonesia adalah harga minyak. Kemarin, harga si emas hitam terus turun hingga ke kisaran 1%.
Harga minyak ikut terpengaruh rilis proyeksi IMF. Perlambatan ekonomi global tentu akan menurunkan permintaan energi, sehingga harga minyak bergerak turun.
Selain itu, harga komoditas ini juga sudah melonjak tajam. Dalam sepekan terakhir, harga brent masih naik 3,33% dan light sweet bertambah 3,19%. Selama sebulan ke belakang, harga brent melejit 16,62% dan light sweet meroket 17,62%.
Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Penguatan rupiah kemudian memberi harapan bagi IHSG. Indeks sektor jasa keuangan yang pada akhir Sesi I melemah 0,67% berhasil berbalik menguat 0,41%.
Apresiasi nilai tukar rupiah juga membuat investor asing membukukan beli bersih di pasar saham Tanah Air selama 17 hari berturut-turut. Pada perdagangan kemarin, nilai beli bersih investor asing adalah Rp 89,3 miliar.
Seperti di Asia, bursa saham New York pun terimbas proyeksi IMF. Potensi perlambatan ekonomi global berhasil membuat pelaku pasar cemas bukan main, sehingga memilih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham menjadi tidak diminati, baik itu di Asia sampai AS.
"Ada kabar kurang enak dari IMF, dan sebelumnya China. Laporan keuangan emiten yang dirilis hari ini tidak bisa menutupnya," ujar Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, seperti dikutip Reuters.
Memang laporan keuangan emiten di Wall Street yang keluar hari ini agak mengecewakan. Johnson & Johnson sebenarnya mencatatkan laba per saham (Earnings per Srahe/EPS) US$ 1,97, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 1,95.
Namun untuk 2019, proyeksinya agak mengecewakan di mana EPS diramal sebesar US$ 8,5-8,65. Berada di tengah konsensus pasar yaitu US$ 8,6.
Lalu untuk 2019, penjualan diperkirakan berada di kisaran US$ 80,4-81,2 miliar. Di bawah konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 82,69.
Proyeksi-proyeksi tersebut menyebabkan saham Johnson & Johnson mengalami tekanan jual. Kala penutupan pasar, saham emiten ini anjlok 1,44%. Sedangkan saham-saham teknologi berjatuhan karena pertumbuhan ekonomi China yang pada 2018 'hanya' 6,6%. Laju terlemah sejak 1990.
China adalah pasar sekaligus bagian penting dari rantai pasok (supply chain) produk-produk teknologi AS, sehingga perlambatan ekonomi di sana tentu akan sangat terasa.
Saham IBM anjlok 1,05%, Microsoft amblas 1,88%, Intel ambrol 1,87%, Facebook jatuh 1,66%, Amazon minus 3,77%, Netflix terperosok 4,11%, Apple kandas 2,24%, dan Alphabet (induk usaha Google) berkurang 2,59%. Ini menyebabkan indeks Nasdaq turun lebih tajam dibandingkan DJIA dan S&P 500.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perlu waspada terhadap perkembangan dari Wall Street. Jangan-jangan bursa saham New York yang anjlok bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia. Semoga tidak terjadi.
Kedua adalah hubungan AS-China yang terjaga mesra. Sebelumnya, Financial Times mengabarkan pemerintah AS membatalkan rencana pertemuan dagang dengan China. Namun Lawrence 'Larry' Kudlow membantah berita tersebut.
Artinya lawatan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington pada 30-31 Januari masih tetap terjadwal. Semakin mesranya poros Washington-Beijing membuka peluang bagi terciptanya damai dagang.
Harapan tersebut akan membuat pelaku pasar berbunga-bunga. Ditopang berseminya arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia, investor bisa melihat peluang untuk bermain di aset-aset berisiko di negara berkembang. Jika ini terjadi, maka tentu menjadi berita bahagia bagi IHSG dan rupiah.
Sentimen ketiga adalah sengkarut Brexit yang masih kusut. Perkembangan terbaru, Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mewacanakan voting di parlemen untuk memutuskan apakah Inggris perlu referendum Brexit atau tidak. Artinya, Corbyn melempar opsi pemungutan suara kedua bagi rakyat Inggris apakah Brexit mau diteruskan atau tidak.
"Sudah saatnya opsi alternatif dari Partai Buruh menjadi perhatian utama. Semua opsi kita taruh di atas meja, termasuk pemungutan suara rakyat," tegas Corbyn, mengutip Reuters.
Brexit yang masih gelap bisa membuat Inggris tidak akan menerima kompensasi apa-apa dari perpisahan dengan Uni Eropa (No Deal Brexit). Apabila ini sampai terjadi, maka dampaknya akan sangat dahsyat bagi Negeri Ratu Elizabeth. Arus perdagangan dan investasi akan terhambat.
"No Deal Brexit jelas adalah skenario terburuk," tegas Lagarde.
Investor patut memantau perkembangan dari London terkait Brexit. Sebab isu ini adalah sebuah hal besar yang bisa mempengaruhi perekonomian global.
Sentimen keempat adalah harga minyak, yang masih terus turun. Pada pukul 05:29 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 1,99% dan light sweet amblas 1,27%.
Jika koreksi harga minyak terus terjadi, seperti kemarin, maka akan menjadi sentimen positif bagi rupiah. Biaya impor minyak bisa ditekan sehingga mengurangi defisit transaksi berjalan. Rupiah jadi memiliki ruang untuk bermanuver.
Sentimen kelima adalah masih tingginya kekhawatiran pelaku pasar terhadap perlambatan ekonomi global. Proyeksi IMF menjadi pemicunya, yang kemudian diperkuat oleh data lain.
Misalnya di AS, penjualan rumah bukan baru (existing) pada Desember 2018 tercatat 4,99 juta unit. Turun 6,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dan menyentuh titik terendah sejak November 2015.
Kemarin, proyeksi IMF sudah menyebabkan 'kekacauan' di pasar keuangan global. Apabila kekhawatiran itu masih tersisa atau bahkan semakin besar, maka tekanan di pasar keuangan Asia bakal berlanjut.
Semua karena IMF...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,28% setelah nyaris seharian berkubang di zona merah. Sementara bursa saham utama Asia tidak mampu melakukan hal serupa. Indeks Nikkei 225 turun 0,47%, Shanghai Composite anjlok 1,18%, Hang Seng melemah 0,7%, Straits Times minus 0,86%, dan Kospi berkurang 0,32%.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07%. Di Asia, cuma rupiah, yen Jepang, dan won Korea Selatan yang mampu menguat. Sisanya tidak selamat.
Faktor penyebab merahnya bursa saham dan mata uang Asia adalah proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019, lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%.
"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters.
Proyeksi IMF ini membuat pelaku pasar kurang trengginas, ada keraguan. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan negara berkembang di Asia.
Namun yang menjadi penyelamat bagi pasar keuangan Indonesia adalah harga minyak. Kemarin, harga si emas hitam terus turun hingga ke kisaran 1%.
Harga minyak ikut terpengaruh rilis proyeksi IMF. Perlambatan ekonomi global tentu akan menurunkan permintaan energi, sehingga harga minyak bergerak turun.
Selain itu, harga komoditas ini juga sudah melonjak tajam. Dalam sepekan terakhir, harga brent masih naik 3,33% dan light sweet bertambah 3,19%. Selama sebulan ke belakang, harga brent melejit 16,62% dan light sweet meroket 17,62%.
Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Penguatan rupiah kemudian memberi harapan bagi IHSG. Indeks sektor jasa keuangan yang pada akhir Sesi I melemah 0,67% berhasil berbalik menguat 0,41%.
Apresiasi nilai tukar rupiah juga membuat investor asing membukukan beli bersih di pasar saham Tanah Air selama 17 hari berturut-turut. Pada perdagangan kemarin, nilai beli bersih investor asing adalah Rp 89,3 miliar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kabar tidak sedap datang dari Wall Street, di mana tiga indeks utama mengalami pelemahan signifikan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,22%, S&P 500 amblas 1,41%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,91%. Seperti di Asia, bursa saham New York pun terimbas proyeksi IMF. Potensi perlambatan ekonomi global berhasil membuat pelaku pasar cemas bukan main, sehingga memilih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham menjadi tidak diminati, baik itu di Asia sampai AS.
"Ada kabar kurang enak dari IMF, dan sebelumnya China. Laporan keuangan emiten yang dirilis hari ini tidak bisa menutupnya," ujar Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, seperti dikutip Reuters.
Memang laporan keuangan emiten di Wall Street yang keluar hari ini agak mengecewakan. Johnson & Johnson sebenarnya mencatatkan laba per saham (Earnings per Srahe/EPS) US$ 1,97, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 1,95.
Namun untuk 2019, proyeksinya agak mengecewakan di mana EPS diramal sebesar US$ 8,5-8,65. Berada di tengah konsensus pasar yaitu US$ 8,6.
Lalu untuk 2019, penjualan diperkirakan berada di kisaran US$ 80,4-81,2 miliar. Di bawah konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 82,69.
Proyeksi-proyeksi tersebut menyebabkan saham Johnson & Johnson mengalami tekanan jual. Kala penutupan pasar, saham emiten ini anjlok 1,44%. Sedangkan saham-saham teknologi berjatuhan karena pertumbuhan ekonomi China yang pada 2018 'hanya' 6,6%. Laju terlemah sejak 1990.
China adalah pasar sekaligus bagian penting dari rantai pasok (supply chain) produk-produk teknologi AS, sehingga perlambatan ekonomi di sana tentu akan sangat terasa.
Saham IBM anjlok 1,05%, Microsoft amblas 1,88%, Intel ambrol 1,87%, Facebook jatuh 1,66%, Amazon minus 3,77%, Netflix terperosok 4,11%, Apple kandas 2,24%, dan Alphabet (induk usaha Google) berkurang 2,59%. Ini menyebabkan indeks Nasdaq turun lebih tajam dibandingkan DJIA dan S&P 500.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perlu waspada terhadap perkembangan dari Wall Street. Jangan-jangan bursa saham New York yang anjlok bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia. Semoga tidak terjadi.
Kedua adalah hubungan AS-China yang terjaga mesra. Sebelumnya, Financial Times mengabarkan pemerintah AS membatalkan rencana pertemuan dagang dengan China. Namun Lawrence 'Larry' Kudlow membantah berita tersebut.
Artinya lawatan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington pada 30-31 Januari masih tetap terjadwal. Semakin mesranya poros Washington-Beijing membuka peluang bagi terciptanya damai dagang.
Harapan tersebut akan membuat pelaku pasar berbunga-bunga. Ditopang berseminya arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia, investor bisa melihat peluang untuk bermain di aset-aset berisiko di negara berkembang. Jika ini terjadi, maka tentu menjadi berita bahagia bagi IHSG dan rupiah.
Sentimen ketiga adalah sengkarut Brexit yang masih kusut. Perkembangan terbaru, Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mewacanakan voting di parlemen untuk memutuskan apakah Inggris perlu referendum Brexit atau tidak. Artinya, Corbyn melempar opsi pemungutan suara kedua bagi rakyat Inggris apakah Brexit mau diteruskan atau tidak.
"Sudah saatnya opsi alternatif dari Partai Buruh menjadi perhatian utama. Semua opsi kita taruh di atas meja, termasuk pemungutan suara rakyat," tegas Corbyn, mengutip Reuters.
Brexit yang masih gelap bisa membuat Inggris tidak akan menerima kompensasi apa-apa dari perpisahan dengan Uni Eropa (No Deal Brexit). Apabila ini sampai terjadi, maka dampaknya akan sangat dahsyat bagi Negeri Ratu Elizabeth. Arus perdagangan dan investasi akan terhambat.
"No Deal Brexit jelas adalah skenario terburuk," tegas Lagarde.
Investor patut memantau perkembangan dari London terkait Brexit. Sebab isu ini adalah sebuah hal besar yang bisa mempengaruhi perekonomian global.
Sentimen keempat adalah harga minyak, yang masih terus turun. Pada pukul 05:29 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 1,99% dan light sweet amblas 1,27%.
Jika koreksi harga minyak terus terjadi, seperti kemarin, maka akan menjadi sentimen positif bagi rupiah. Biaya impor minyak bisa ditekan sehingga mengurangi defisit transaksi berjalan. Rupiah jadi memiliki ruang untuk bermanuver.
Sentimen kelima adalah masih tingginya kekhawatiran pelaku pasar terhadap perlambatan ekonomi global. Proyeksi IMF menjadi pemicunya, yang kemudian diperkuat oleh data lain.
Misalnya di AS, penjualan rumah bukan baru (existing) pada Desember 2018 tercatat 4,99 juta unit. Turun 6,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dan menyentuh titik terendah sejak November 2015.
Kemarin, proyeksi IMF sudah menyebabkan 'kekacauan' di pasar keuangan global. Apabila kekhawatiran itu masih tersisa atau bahkan semakin besar, maka tekanan di pasar keuangan Asia bakal berlanjut.
Semua karena IMF...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data neraca perdagangan Jepang periode Desember 2018 (06:50 WIB).
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Zona Euro periode Januari 2019 (22:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) | Rilis Laporan Keuangan Tahun 2018 | - |
PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO) | RUPSLB | 14:00 WIB |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Desember 2018 YoY) | 3,13% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Desember 2018) | US$ 120,7 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular