
Newsletter
Wall Street Lolos dari 'Maut', IHSG Bagaimana?
Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 December 2018 06:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih betah di zona merah pada perdagangan kemarin, Kamis (6/12/2018). Dibuka melemah 0,62%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu memperbaiki posisinya walaupun masih melemah. IHSG menutup perdagangan koreksi 0,29% ke level 6.115,49.
Seluruh indeks saham kawasan Asia kompak melemah. Namun, pelemahan IHSG merupakan yang paling tipis, menjadikannya indeks saham dengan performa terbaik di kawasan, bersama dengan indeks KLCI (Malaysia) yang juga turun 0,29%.
Indeks Nikkei turun 1,91%, indeks Shanghai turun 1,68%, indeks Hang Seng turun 2,47%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,55%, indeks SET (Thailand) turun 1,11%, indeks PSEi (Filipina) turun 1,25%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 1,69%.
Sementara itu, dibuka melemah 0,28%, nilai tukar rupiah sempat melemah lebih dari 1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Meski demikian, pada akhir perdagangan pelemahannya menipis menjadi 0,87% ke level Rp 14.515/US$.
Berbanding terbalik dengan IHSG, nilai tukar rupiah kembali memegang predikat sebagai mata uang Asia dengan performa terburuk kemarin. Meski mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan greenback, tetapi rupiah menjadi yang terlemah. Dengan begitu, rupiah sudah menjadi mata uang paling lemah di Asia selama tiga hari beruntun.
Hingga pukul 16.13 WIB kemarin, yuan China melemah 0,5%, rupee India melemah 0,69%, won Korea Selatan melemah 0,61%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,18%, dolar Singapura terdepresiasi 0,29%, baht Thailand melemah 0,34%, dan dolar Taiwan terdepresiasi 0,2%.
Hanya yen Jepang dan dolar Hongkong yang masih perkasa terhadap dolar AS, dengan penguatan masing-masing sebesar 0,45% dan 0,01%.
Pasar keuangan Asia ditinggalkan investor seiring dengan dengan pasar obligasi AS yang masih mengindikasikan terjadinya resesi. Hingga sore kemarin, spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor tiga dan lima tahun melebar menjadi 3 bps.
Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam tiga resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun terjadi rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Alhasil, pelaku pasar dibuat berhamburan mencari instrumen safe haven guna mengamankan dananya. Greenback pun menjadi primadona pada perdagangan kemarin.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Beralih ke Negeri Paman Sam, Wall Street bisa dibilang lolos dari maut. Tiga indeks saham utama di AS ditutup bervariasi: Dow Jones turun 0,32%, S&P 500 melemah 0,15%, sementara Nasdaq Composite justru menguat 0,42%.
Walaupun mayoritas melemah, koreksinya jauh lebih tipis dibandingkan saat perdagangan intra-day. Dow Jones misalnya, sempat anjlok hingga lebih dari 780 poin.
Sama dengan bursa saham Asia, pergerakan di pasar obligasi AS membuat saham-saham di sana dilepas secara masif oleh investor.
Beruntung, ada angin segar yang menghampiri Wall Street.
Wall Street Journal melaporkan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International. Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut sempat dilontarkan oleh sang gubernur, Jerome Powell, serta wakilnya, Richard Clarida.
Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.
Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.
Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.
Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.
Belum diketatkan lebih lanjut saja, tekanan sudah menghampiri perekonomian AS. Untuk apa lagi melakukan normalisasi yang terlalu agresif? The Fed nampaknya mulai menyadari hal ini. Normalisasi yang tak kelewat agresif nampak menjadi opsi terbaik saat ini.
BERLANJUT KE HALAMAN TIGA
Untuk hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya adalah Wall Street yang bergerak bervariasi cenderung melemah. Biasanya, hawa negatif dari Wall Street akan terasa juga di perdagangan bursa Asia.
Apalagi, pergerakan pasar obligasi AS belum mendukung bagi investor untuk melakukan aksi beli di pasar saham. Pada pukul 5:10 WIB, spread yield obligasi AS tenor tiga dan lima tahun adalah sebesar 2 bps alias masih terjadi inversi.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu saja. Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor tiga dan lima tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Saat ini, nilainya tersisa 48 bps saja. Posisi saat ini juga menipis dibandingkan posisi per 4 Desember yang sebesar 50 bps.
Persepsi mengenai resesi di AS masih akan lekat menempel di benak pelaku pasar Asia. Pasar keuangan tentu berpotensi mengalami tekanan jual seperti kemarin.
Apalagi, dari sisi perang dagang AS-China belum ada kabar gembira. Yang ada, hubungan kedua negara malah semakin tegang. Kanada dikabarkan telah menahan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver. Dirinya kini menghadapi kemungkinan ekstradisi ke AS atas dugaan melanggar sanksi AS terhadap Iran.
“Baru-baru ini, CFO kami, Meng Wanzhou, ditahan oleh Otoritas Kanada atas nama AS yang ingin mengekstradisi Meng Wanzhou untuk menghadapi tuntutan hukum yang tidak dijelaskan di Distrik Timur New York, saat ia sedang menunggu penerbangan lanjutan di Kanada,” tulis Huawei dalam sebuah pernyataan.
“Perusahaan hanya mendapat sedikit informasi terkait tuntutan hukum itu dan tidak mengetahui kesalahan Meng. Perusahaan yakin sistem hukum Kanada dan AS pada akhirnya akan memberi keputusan yang adil,” tambah Huawei.
Sebagai informasi, pemerintah Negeri Paman Sam telah menuntut Huawei paling tidak sejak 2016 atas dugaan mengirim produk asal AS ke Iran dan negara-negara lain. AS mengklaim hal itu merupakan pelangaran terhadap sanksi ekspor yang telah ditetapkan negaranya.
Tak pelak, hal ini memicu kecaman dari pihak China. Kemarin, kedutaan China di Kanada mengecam Kanada dan AS perihal penangkapan Wanzhou. Mereka menuntut agar petinggi Huawei itu segera dibebaskan.
"Polisi Kanada, atas permintaan AS, menangkap seorang warga China yang tidak melanggar hukum AS atau Kanada," kata kedutaan itu dalam pernyataan singkat di situsnya.
"China telah membuat pernyataan ke AS dan Kanada, menuntut mereka segera memperbaiki perilaku salah mereka dan mengembalikan kebebasan Meng Wanzhou,” tambah kedutaan.
Kini risiko terjadinya deadlock pada negosiasi dagang AS-China justru semakin besar.
BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT
Pasca-melemah tiga hari beruturut-turut, mungkin hari ini waktunya rupiah untuk bersinar. Hingga pukul 5:47 WIB hari ini, Jumat, indeks dolar AS melemah sebesar 0,31%.
Dolar AS dipukul mundur seiring dengan adanya peluang bahwa The Fed tak akan terlalu injak gas dalam melakukan normalisasi suku bunga acuan.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 6 Desember 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada tahun 2019 (dengan asumsi ada kenaikan pada bulan ini) hanya sebesar 3,9%, jauh di bawah posisi 1 bulan lalu yang berada di level 20,5%.
Sepanjang tahun ini, dolar AS mendapatkan bensin dari normalisasi suku bunga acuan The Fed. Kala kini pelaku pasar meragukan bahwa normalisasi secara agresif akan berlanjut, dolar AS menjadi tak lagi menarik di mata mereka.
Ada kemungkinan rupiah mengakhiri perdagangan pekan ini dengan senyuman.
Apalagi, harga minyak mentah juga mendukung bagi mata uang Garuda. Hingga pukul 5:54 WIB, harga minyak WTI melemah 2,21% ke level US$ 51,76/barel, sementara brent juga melemah 2,21% ke level US$ 60,2/barel.
Harga minyak anjlok setelah Menteri Energi Arab Saudi mengatakan pemotongan suplai 1 juta barel per hari akan cukup bagi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya.
Kerajaan kaya minyak itu awalnya mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari. Namun, Menteri Energi Khalid al-Falih mengatakan kepada wartawan hari Kamis pagi bahwa pemangkasan 1 juta barel sudah cukup, dilansir dari CNBC International.
Keputusan mengenai besaran pemotongan produksi akan diumumkan setelah OPEC berbicang dengan Rusia pada hari ini.
Harga minyak mentah yang rendah akan memunculkan harapan bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan menipis pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Ketika rupiah menguat, pelaku pasar akan memiliki optimisme untuk mengoleksi aset-aset berbasis rupiah seperti saham. Walaupun ada sentimen negatif yang menghantui (indikasi resesi di AS dan perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif), IHSG masih punya amunisi untuk menguat.
BERLANJUT KE HALAMAN LIMA
Simak Agenda Berikut Ini Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Pidato Presiden The Fed New York John Williams (06.30 WIB)
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode November 2018 (tentatif, setelah penutupan perdagangan)
- Rilis data upah rata-rata per jam AS periode November 2018 (20.30 WIB)
- Rilis data penciptaan lapangan kerja non-pertanian AS periode November 2018 (20.30 WIB)
- Rilis data tingkat pengangguran AS periode November 2018 (20.30 WIB)
- Rilis data pendahuluan keyakinan konsumen AS versi University of Michigan periode Desember 2018 (22.00 WIB)
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Seluruh indeks saham kawasan Asia kompak melemah. Namun, pelemahan IHSG merupakan yang paling tipis, menjadikannya indeks saham dengan performa terbaik di kawasan, bersama dengan indeks KLCI (Malaysia) yang juga turun 0,29%.
Indeks Nikkei turun 1,91%, indeks Shanghai turun 1,68%, indeks Hang Seng turun 2,47%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,55%, indeks SET (Thailand) turun 1,11%, indeks PSEi (Filipina) turun 1,25%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 1,69%.
Sementara itu, dibuka melemah 0,28%, nilai tukar rupiah sempat melemah lebih dari 1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Meski demikian, pada akhir perdagangan pelemahannya menipis menjadi 0,87% ke level Rp 14.515/US$.
Berbanding terbalik dengan IHSG, nilai tukar rupiah kembali memegang predikat sebagai mata uang Asia dengan performa terburuk kemarin. Meski mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan greenback, tetapi rupiah menjadi yang terlemah. Dengan begitu, rupiah sudah menjadi mata uang paling lemah di Asia selama tiga hari beruntun.
Hingga pukul 16.13 WIB kemarin, yuan China melemah 0,5%, rupee India melemah 0,69%, won Korea Selatan melemah 0,61%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,18%, dolar Singapura terdepresiasi 0,29%, baht Thailand melemah 0,34%, dan dolar Taiwan terdepresiasi 0,2%.
Hanya yen Jepang dan dolar Hongkong yang masih perkasa terhadap dolar AS, dengan penguatan masing-masing sebesar 0,45% dan 0,01%.
Pasar keuangan Asia ditinggalkan investor seiring dengan dengan pasar obligasi AS yang masih mengindikasikan terjadinya resesi. Hingga sore kemarin, spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor tiga dan lima tahun melebar menjadi 3 bps.
Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam tiga resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun terjadi rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Alhasil, pelaku pasar dibuat berhamburan mencari instrumen safe haven guna mengamankan dananya. Greenback pun menjadi primadona pada perdagangan kemarin.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Beralih ke Negeri Paman Sam, Wall Street bisa dibilang lolos dari maut. Tiga indeks saham utama di AS ditutup bervariasi: Dow Jones turun 0,32%, S&P 500 melemah 0,15%, sementara Nasdaq Composite justru menguat 0,42%.
Walaupun mayoritas melemah, koreksinya jauh lebih tipis dibandingkan saat perdagangan intra-day. Dow Jones misalnya, sempat anjlok hingga lebih dari 780 poin.
Sama dengan bursa saham Asia, pergerakan di pasar obligasi AS membuat saham-saham di sana dilepas secara masif oleh investor.
Beruntung, ada angin segar yang menghampiri Wall Street.
Wall Street Journal melaporkan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International. Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut sempat dilontarkan oleh sang gubernur, Jerome Powell, serta wakilnya, Richard Clarida.
Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.
Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.
Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.
Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.
Belum diketatkan lebih lanjut saja, tekanan sudah menghampiri perekonomian AS. Untuk apa lagi melakukan normalisasi yang terlalu agresif? The Fed nampaknya mulai menyadari hal ini. Normalisasi yang tak kelewat agresif nampak menjadi opsi terbaik saat ini.
BERLANJUT KE HALAMAN TIGA
Untuk hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya adalah Wall Street yang bergerak bervariasi cenderung melemah. Biasanya, hawa negatif dari Wall Street akan terasa juga di perdagangan bursa Asia.
Apalagi, pergerakan pasar obligasi AS belum mendukung bagi investor untuk melakukan aksi beli di pasar saham. Pada pukul 5:10 WIB, spread yield obligasi AS tenor tiga dan lima tahun adalah sebesar 2 bps alias masih terjadi inversi.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu saja. Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor tiga dan lima tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Saat ini, nilainya tersisa 48 bps saja. Posisi saat ini juga menipis dibandingkan posisi per 4 Desember yang sebesar 50 bps.
Persepsi mengenai resesi di AS masih akan lekat menempel di benak pelaku pasar Asia. Pasar keuangan tentu berpotensi mengalami tekanan jual seperti kemarin.
Apalagi, dari sisi perang dagang AS-China belum ada kabar gembira. Yang ada, hubungan kedua negara malah semakin tegang. Kanada dikabarkan telah menahan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver. Dirinya kini menghadapi kemungkinan ekstradisi ke AS atas dugaan melanggar sanksi AS terhadap Iran.
“Baru-baru ini, CFO kami, Meng Wanzhou, ditahan oleh Otoritas Kanada atas nama AS yang ingin mengekstradisi Meng Wanzhou untuk menghadapi tuntutan hukum yang tidak dijelaskan di Distrik Timur New York, saat ia sedang menunggu penerbangan lanjutan di Kanada,” tulis Huawei dalam sebuah pernyataan.
“Perusahaan hanya mendapat sedikit informasi terkait tuntutan hukum itu dan tidak mengetahui kesalahan Meng. Perusahaan yakin sistem hukum Kanada dan AS pada akhirnya akan memberi keputusan yang adil,” tambah Huawei.
Sebagai informasi, pemerintah Negeri Paman Sam telah menuntut Huawei paling tidak sejak 2016 atas dugaan mengirim produk asal AS ke Iran dan negara-negara lain. AS mengklaim hal itu merupakan pelangaran terhadap sanksi ekspor yang telah ditetapkan negaranya.
Tak pelak, hal ini memicu kecaman dari pihak China. Kemarin, kedutaan China di Kanada mengecam Kanada dan AS perihal penangkapan Wanzhou. Mereka menuntut agar petinggi Huawei itu segera dibebaskan.
"Polisi Kanada, atas permintaan AS, menangkap seorang warga China yang tidak melanggar hukum AS atau Kanada," kata kedutaan itu dalam pernyataan singkat di situsnya.
"China telah membuat pernyataan ke AS dan Kanada, menuntut mereka segera memperbaiki perilaku salah mereka dan mengembalikan kebebasan Meng Wanzhou,” tambah kedutaan.
Kini risiko terjadinya deadlock pada negosiasi dagang AS-China justru semakin besar.
BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT
Pasca-melemah tiga hari beruturut-turut, mungkin hari ini waktunya rupiah untuk bersinar. Hingga pukul 5:47 WIB hari ini, Jumat, indeks dolar AS melemah sebesar 0,31%.
Dolar AS dipukul mundur seiring dengan adanya peluang bahwa The Fed tak akan terlalu injak gas dalam melakukan normalisasi suku bunga acuan.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 6 Desember 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada tahun 2019 (dengan asumsi ada kenaikan pada bulan ini) hanya sebesar 3,9%, jauh di bawah posisi 1 bulan lalu yang berada di level 20,5%.
Sepanjang tahun ini, dolar AS mendapatkan bensin dari normalisasi suku bunga acuan The Fed. Kala kini pelaku pasar meragukan bahwa normalisasi secara agresif akan berlanjut, dolar AS menjadi tak lagi menarik di mata mereka.
Ada kemungkinan rupiah mengakhiri perdagangan pekan ini dengan senyuman.
Apalagi, harga minyak mentah juga mendukung bagi mata uang Garuda. Hingga pukul 5:54 WIB, harga minyak WTI melemah 2,21% ke level US$ 51,76/barel, sementara brent juga melemah 2,21% ke level US$ 60,2/barel.
Harga minyak anjlok setelah Menteri Energi Arab Saudi mengatakan pemotongan suplai 1 juta barel per hari akan cukup bagi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya.
Kerajaan kaya minyak itu awalnya mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari. Namun, Menteri Energi Khalid al-Falih mengatakan kepada wartawan hari Kamis pagi bahwa pemangkasan 1 juta barel sudah cukup, dilansir dari CNBC International.
Keputusan mengenai besaran pemotongan produksi akan diumumkan setelah OPEC berbicang dengan Rusia pada hari ini.
Harga minyak mentah yang rendah akan memunculkan harapan bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan menipis pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Ketika rupiah menguat, pelaku pasar akan memiliki optimisme untuk mengoleksi aset-aset berbasis rupiah seperti saham. Walaupun ada sentimen negatif yang menghantui (indikasi resesi di AS dan perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif), IHSG masih punya amunisi untuk menguat.
BERLANJUT KE HALAMAN LIMA
Simak Agenda Berikut Ini Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Pidato Presiden The Fed New York John Williams (06.30 WIB)
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode November 2018 (tentatif, setelah penutupan perdagangan)
- Rilis data upah rata-rata per jam AS periode November 2018 (20.30 WIB)
- Rilis data penciptaan lapangan kerja non-pertanian AS periode November 2018 (20.30 WIB)
- Rilis data tingkat pengangguran AS periode November 2018 (20.30 WIB)
- Rilis data pendahuluan keyakinan konsumen AS versi University of Michigan periode Desember 2018 (22.00 WIB)
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular